BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAH DESA DAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAH DESA DAN BADAN PERMUSYAWARATAN
DESA
A.
Konsep Badan
Permusyawaratan Desa
Peran Badan
Permusyawaratan Desa dalam pengawasan dana desa dapat dilihat bagaimana
pembangunan masyarakat desa itu sendiri. Berhasilnya Badan Permusyawaratan Desa
akan dipengaruhi oleh sikap masyarakat terhadapnya. Apabila sikap ini
menguntungkan maka nampaknya masyarakat itu akan bertindak sesuai dengan saran
badan tersebut, sekurang-kurangnya mendengarkannya. Badan Permusyawaratan Desa
harus lebih banyak memperhitungkan, tidak hanya memperhitungkan kebutuhan
masyarakat, adat-istiadat, norma-norma dan kepercayaan saja. Badan
Permusyawaratan Desa harus mengenal seluruh aspek kebudayaan masyarakat
tradisional, yang dalam beberapa hal bertautan antara satu dengan yang lain,
dan perubahan dalam satu aspek kebudayaan itu akan mempengaruhi aspek-aspek
lainnya dan menimbulkan masalah baru.
1.
Pengertian
Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Badan Permusyawaratan Desa adalah sebagai perwujudan demokrasi
dalam penyelengara pemerintah desa menampung, menyalurkan, aspirasi masyarakat
badan permusyawaratan yang terdiri atas pemuka-pemuka masyarakat yang ada di
desa berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, serta melakukan
pengawasan langsung terhadap penyelenggaraan pemerintah desa.
Berdasarkan
ketentuan diatas kedudukan, fungsi, wewenag dan tugas Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sangatlah penting. Sebagai
satu-satunya lembaga perwakilan yang berfungsi sebagai saluran aspirasi utama warga
desa tidak hanya berfungsi sebagai badan legislasi, melainkan sebagai arsitek
perubahan dan pembangunan desa.[26]
2.
Kedudukan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD)
Badan Permusyawaratan Desa berkedudukan sabagai mitra kepala desa
dan penyelenggara pemerintah desa
a.
Anggota Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) adalah wakil dari penduduk desa, berdasarkan
keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat
b.
Anggota Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) terdiri ketua rukun warga, pemangku adat, golongan
profesi, pemuka agama dan tokohatau pemuka mayarakat lainnya
c.
Masa jabatan
anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah 6 (enam) tahun dan dapat
diangkat/diusulkan kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
d.
Jumlah anggota
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berjumlah ganjil, minimal 5 (lima) orang
maksimal 11 (sebelas) orang berdasarkan: Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan
Kemampuan keuangan desa
e.
Peresmian
anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) ditetapkan dengan Keputusan
Bupati/walikota.
f.
Sebelum
memangku jabatannya, anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mengucapkan
sumpah/janji secara bersama-sama di hadapan masyarakat dan dipandu oleh
Bupati/Walikota
g.
Pimpinan BPD
terdiri dari:
1)
Ketua (1 orang)
2)
Wakil Ketua (1
orang)
3)
Sekretaris (1
orang)[27]
3.
Fungsi Badan
Permusyawaratan Desa (BPD)
Pasal 31 Peraturan Mentri dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 Tentang
Badan Permusyawaratan Desa menjelaskan bahwa Badan Permusyawaratan Desa
berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat, di samping itu Badan Permusyawaratan Desa
(BPD) mempunyai fungsi mengawasi pelaksanaan peraturan desa dalam rangka
pemantapan pelaksanaan kinerja pemerintah desa. Dalam rangka melaksanakan
funginya, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai wewenag:
a.
Membahas
rencana peraturan desa bersama kepala desa;
b.
Melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksana peraturan desa dan peraturan kepala desa;
c.
Mengusulkan
pengangkatan dan pemberhentian kepala desa;
d.
Membentuk
panitia pemilihan kepala desa;
e.
Menggali,
menampung, menghimpu, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat dan
f.
Menyusun tata tertib Badan Permusyawaratan
Desa (BPD).
4.
Hak dan
Kewajiban Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Pasal 51 Peraturan Mentri dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 Tentang
Badan Permusyawaratan Desa bahwa Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai
Hak:
a.
Meminta
keterangan kepada pemerintah desa;
b.
Menyatakan
pendapat.
Anggota BPD
mempunyai hak
a.
Mengajukan
rancangan peraturan desa;
b.
Mengajukan
pertanyaan
c.
Menyampaikan
usul dan pendapat
d.
Memilih dan
dipilih dan
e.
Meperoleh
tunjangan
Anggota Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai kewajiban yang harus dilakukan:[28]
a.
Mengamalka
pancasila, melaksanakan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan mentaati segala peraturan perundang-undangan;
b.
Melaksanakan
kehidupan demokrasi dalam penyelengaraan pemerintah desa;
c.
Mempertahankan
dan memelihara hukum nasional serta keutuan Negara Kesatuan Republik Indonesia
d.
Menyerap,
menampung menghimpunan menindaklanjuti aspirasi masyarakat
e.
Memproses
pemilihan kepala desa (membentuk Panitia Pemilihan Kepala Desa, menetapkan
calon Kepala Desa yang berhak dipilih, menetapkan calon Kepala Desa terpilih
dan mengusulkan calon Kepala Desa terpilih kepada Bupati/Walikota untuk
disahkan menjadi Kepala Desa terpilih)
f.
Mendahulukan
kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan;
g.
Menghormati
nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat setempat; dan
h.
Menjaga norma
dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakat.
5.
Larangan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD)
Menurut Pasal 26 Peraturan Mentri dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016
Tentang Badan Permusyawaratan Desa. Pimpinan dan anggota Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) dilarang
a.
Sebagai
pelaksana proyek desa;
b.
Merugikan
kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasikan
warga atau golongan masyarakat lain;
c.
Melakukan
korupsi, kolusi, nepotisme dan menerimah uang, barang dan/atau jasa dari pihak
lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
d.
Menyalagukan
wewenang; dan
e.
Melanggar
sumpah janji jabatan[29]
6.
Rapat Badan
Permusyawaratan Desa (BPD)
Rapat Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dipimpin oleh Pimpinan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD), rapat dinyatakan sah apabila dihadiri
sekurang-kurangnya dihadiri satu per dua dari jumlah anggota Badan
Permusyawaratan Desa (BPD), dan keputusan ditetapkan berdasarkan suara
terbanyak.
Dalam
hal tertentu rapat Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang akan membahas dan
memutuskan kebijakan yang bersifat prinsip dan strategi bagi kepentingan
masyarakat desa, seperti usul pemberhentian kepala desa dan melakukan pinjaman,
Rapat Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dinytatakan sah apabila dihadiri
sekurang-kurangnya dua per tiga dari jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa
(BPD), dan keputusan ditetapkan dengan persetujuan sekurang-kurangnya satu per
dua ditambah satu dari jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang
hadir.[30]
Hasil rapat Badan Permusyawaratan Desa (BPD) ditetapkan dengan
keputuan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan dilengkapi oleh notulen rapat
yang dibuat oleh Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
7.
Tugas BPD
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa mengeser posisi BPD sebagai unsur
penyelenggara desa menjadi lembaga desa, fungsi dan kedudukan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) semakin jelas, yaitu lembaga legislatif desa yang
mengusung mandat untuk menyalurkan aspirasi, merencakan anggaran dan mengawasi
pemerintah desa.[31]
Badan Permusyawaratan Desa bertugas untuk menyelenggarakan
musyawarah desa dengan peserta terdiri kepala desa, perangkat desa kelompok,
dan tokoh masyarakat. Namun secara yuridis tugas Badan Permusyawaratan Desa
(BPD) mengacu kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 43 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa,
sebagai berikut:
a.
Membentuk
panitia pemelihan kepala desa, dalam melaksanakan pemilihan kepala desa, Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) berhak membentuk panitia pemilihan kepala desa
sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten;
b.
Mengusulkan dan
menetapkan calon terpilih kepala desa. Dalam hal ini masyarakat mengetahui
terpilih yang akan mereka pilih dalam waktu pemilihan, diharapkan masyarakat
mengenal watak, karakter serta latar belakang pendidikan dan sosial lainnya
secarah utuh;
c.
Bilamana
kinerja kepala desa telah menyimpang dari ketentuan yang telah digariskan atau
telah habis masa jabatanya, maka kepala desa tersebut oleh Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) diusulkan untuk diberhentikan;
d.
Kepala desa
mengajukan rencana peraturan desa kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan
bersama-sama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk membahas dalam rapat
paripurna, sesuai dengan tata tertib yang dimiliki Badan Permusyawaratan Desa
(BPD). Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan tugas dan wewenangnya ikut serta
untuk menyetujui atau mengesahkan, dan kepala desa, dan keputusan desa setelah
ada persetujuan dari kedua belah pihak;
e.
Kepala desa
mengajukan Rancangan APBdes kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk
disahkan menjadi APBDesa dalam kurun waktu satu tahun anggaran. Karena dengan
anggaran, pemerintah desa dapat berjalan unutk membangun sarana dan prasarana
umum;
f.
Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) menjalankan pengawasan terhadap jalanya roda
pemerintahan desa yang dilaksanakan oleh kepala desa;
g.
Pertimbangan
dan saran-saran dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terdapat pemerintahan
desa dan masyarakat, selalu dijaga agar segala kepercayaan serta dukungan tetap
ada, sehingga kepala desa selalu dan sungguh-sungguh untuk melaksanakan tugas
dengan penuh rasa tanggung jawab;
h.
Segala aspirasi
masyarakat khususnya dalam bidang pembangunan, Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
diharapkan dengan rasa loyalitas mengakui, menampung dan mengayomi masyarakat
dengan rasa penuh tanggung jawab dan kerjasama yang baik.
8.
Hubungan
Kerjasama BPD Dengan Kepala Desa
Hubungan kepala desa desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) itu
dalam menjalankan program desa Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan kepala desa
saling bekerja sama dengan mengadakan rapat atau musyawarah dalam membuat
program desa yaitu tentang pembangunan desa yang akan dilaksanakan agar program
desa berjalan dengan baik. Meeskipn kadang ada beda pendapat tetapi masi bisa
diselesaikan secara musyawarah mencapai mufakat.
Untuk membangun pemerintahan yang demokratis antara kepala desa dan
Badan Permusyawaratan Desa (BPD), keduanya harus ada kerja sama atau harus bersinergi
dengan baik, dan harus mempunyai pikiran yang sejalan antara keduanya
menciptakan suasana yang nyaman dan aman dalam penyelenggaraan pemerintah desa
kuncinya adalah keharmonisan, sinergitas Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
dengan kepala desa, sehingga nantinya kebijakan maupun produk hukum
pemerintahan yang dihasilkan dapat dipertanggung jawabkan bersama untuk
mewujudkan kemajuan dan kualitas warga desa.
Jika dilihat dari kedudukannya, kepala desa selaku pemerintah dan
BPD memiliki kedudukan yang sama, yakni sama-sama merupakan kelembangaan desa.
Undang-undang desa tidak membagi atau memisahkan kedudukan keduanya pada suatu
hirarki. Ini artinya, keduanya memang memiliki kedudukan yang sama, namun
dengan fungsi yang berbeda.
Bila kepala desa berfungsi sebagai pemimpin masyarakat dan
kepanjangan tangan negara yang dekat dengan masyarakat, maka Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) berfungsi untuk menyiapkan kebijakan pemerintahan
desa bersama kepala desa. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) harus mempunyai visi
dan misi yang sama dengan kepala desa sehingga Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
tidak dapat menjatuhkan kepala desa yang dipilih secara demokratis oleh
masyarakat desa.[32]
Adapun hubungan antara kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa
(BPD):
a.
Kepala desa dan
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memprakarsai perubahan status desa menjadi
kelurahan melalui musyawarah desa (Pasal 27 huruf c Undang-undang Desa);
b.
Kepala desa
memberikan laporan penyelenggaraan pemrintahan secara tertulis kepada Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) (Pasal 27 huruf c Undang-undang Desa);
c.
Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) memberitahukan kepada kepala desa mengenai akan
berakhirnya masa jabatan kepala desa secara tertulis 6 (enam) bulan sebelum
masa jabatannya berakhir (Pasal 32 ayat 1 Undang-undang Desa);
d.
Kepala desa
mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan
memusyawarah-kannya bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) (Pasal 73 ayat 2
Undang-undang);
e.
Kepala desa dan
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) membahas bersama pengelolahan kekayaan milik
desa (Pasal 77 ayat 3 Undang-undang Desa).
9.
Mekanisme
Pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
a.
Persiapan
1)
Sosialisasi
pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) kepada masyarakat (Penetapan
jumlah Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di suatu desa ditetapkan dengan
Peraturan Desa)
2)
Apabilah di
desa bersangkutan belum mempunyai Peraturan desa tentang Penetapan Jumlah
anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), maka pemerintah desa dan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) wajib membuat peraturan desa dimaksud terlebih
dahulu sebelum membentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) baru di desa
bersangkutan, dalam sekurang kurangnya memuat:
a)
Penetapan
jumlah Badan Permusyawaratan Desa dengan kententuan jumlah anggota Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) tiap desa ditetapkan dengan jumlah ganjil paling sedikit 5 (lima)
orang dan paling banyak 11 (sebelas) orang, dengan memperhatikan luas wilayah,
jumlah penduduk dan kemampuan keuangan desa;
b)
Kedudukan,
funsi, wewenag, hak dan kewajiban
c)
Mekanisme
pembentukan Badan Permusyawaratan Desa
d)
Pemberhentian
e)
Penggantian
3)
Kepala desa
mengadakan rapat guna membentuk panitia Musyawarah Pembentukan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) yang dihadiri oleh:
a)
Perangkat desa
b)
Tokoh-tokoh
masyarakat dari masing-masing RT/RW
c)
Kepala desa
membentuk panitia Musyawarah Pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
dengan dengan keputusan kepala desa yang terdiri dari ketua, Wakil ketua,
Sekretaris, Bendahara dan Anggota.
d)
Jumlah anggota
panitia Musyawarah disesuaikan dengan kebutuhan.
e)
Panitian
Musyawarah mempunyai tugas;
1.
Membuat
penetapan kuota jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berdasarkan keterwakilan
wilayah yang berdasarkan musyawarah mufakat;
2.
Melakukan
penelitian administrasi calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD);
3.
Menetapkan
calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terpilih dan mengusulkan
pelantikan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) kepada Bupati melalui
Camat.
f)
Kuota anggota
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tingkat desa ditetapkan oleh panitia
g)
Panitia
Musyawrah mengadakan rapat guna: [33]
1.
Menyusun jadwal
waktu pelaksanaan pendaftaran dan musyawarah pembentukan dan penetapan Anggota
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) pada tiap dusun
2.
Membuat
penetapan kuota jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan
keterwakilan wilayah yang berdasarkan musyawara mufakat, selanjutnya ditetapkan
dengan keputusan panitia Musyawarah.
b.
Penjaringan
1)
Panitia
Musyawarah membuka pendaftaran Calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
2)
Calon anggota
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dapat berasal dari ketua rukun warga, golongan
profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainya, serta tokoh
pemuda setempat dengan syarat-syarat:
a)
Bertakwa kepada
tuhan yang Maha Esa;
b)
Setia kepada
pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
c)
Berpendidikan
paling rendah tamat Sekolah Lanjut Tingkat Pertama atau sederjat.
d)
Berusia paling
rendah 25 (dua puluh limah) tahun dan paling tinggi 56 (lima puluh enam) pada
saat ditetapkan;
e)
Bersedia dicalonkan
menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD);
3)
Belum pernah
menjabat sebagai anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) selama sepuluh tahun
atau dua kali masa jabatan baik dalam sebutan badan perwakilan desa maupun
badan perwakilan desa;
4)
Penduduk desa
setempat yang dibuktikan dengan pemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) desa
bersangkutan atau memiliki tanda bukti yang sah sebagai penduduk desa
bersangkutan;
5)
Dalam hal
keterwakilan dusun, calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan
Penduduk dusun yang bersangkutan;
6)
Tidak pernah
dihukum karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman paling singkat
lima tahun.
7)
Dalam tahap
penjaringan, tidak dibatasi jumlah bakal calon anggota Badan Permusyawaratan
Desa (BPD)
8)
Dalam tahap
penjarinagan tersebut, Calon Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
menandatangi blangko surat pernyataan bersedia dicalonkan menjadi Anggota Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) yang disiapkan oleh panitia Musyawarah.
9)
Melakukan
penelitian administrasi calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
10)
Penetapan Calon
anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
11)
Panitia
Musyawarah melaksanakan musyawarah pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
di masing-masing dusun dengan menhadirkan:
a)
Kepala dusun
b)
Ketua RW
c)
5 orang utusan
dari masing-masing RT yang terdiri dari ketua RT, organisasi profesi, tokoh
masyarakat, tokoh agama dari masing- masing wilayah RT/RW di dusun yang
bersangkutan
d)
Calon Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) dari dusun bersangkutan
12)
Musyawarah
tingkat dusun dilaksanakan untuk memilih dan menetapkan calon anggota Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) terpilih yang akan mewakili wilayah dusun sesuai
denagn jumla kuota dusun yang bersangkutan.
13)
Pembentukan
anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dilaksanakan dengan cara musyawarah
mufakat.
14)
Apabilah tidak
terjadi kemufakatan dalam musyawarah maka pembentukan anggota Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) dilaksanakan dengan cara pemungutan suara voting
oleh peserta rapat musyawarah.
15)
Pelaksanaan
pemungutan suara voting, diatur sebagai berikut;
a)
Masing-masing
peserta musyawarah yang hadir sesuai daftar undangan yang telah disusun
sebagaimana dimaksud pada ayat 2, memiliki satu hak suara.
b)
Pemungutan
suara dilakuka secara terbuka
16)
Hasil
musyawarah dusun disusun berdasarkan peringakatan perolehan suara, calon
anggota yang memperoleh peringkat suara terbanyak sesuai dengan quota
diusulkan menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), sedangkan peringkat
berikutnya menjadi daftar tunggu penggatian antar waktu. Yang selanjutnya
dituangkan dalam Berita Acara Rapat Musyawarah Pencalonan Anggota BPD Tingkat
Dusun yang ditandatangi oleh ketua panitia musyawarah atau anggota Panitia
Musyawarah yang bertugas didusun bersangkutan, kepala dusun, dan calon anggota
Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
17)
Berita Acara
Rapat Musyawarah tersebut, memuat antara lain:
a)
Waktu dan
tempat penyelengaraan rapat musyawarah;
b)
Jumlah peserta
dan daftar hadir
c)
Jumlah dan
identitas calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terpilih yang akan
diusulkan ke tingkat desa
d)
Hasil peringkat
perolehan suarah calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD).[34]
c.
Penetapan,
Pengesahan dan Pelantikan
1)
Paling lambat
dua hari kalender setelah seluruh dusun melaksanakan musyawarah pembentukan Badan
Permusyawaratan Desa ketua panitia musyawarah melaporkan hasil musyawarah
pembentukan Badan Permusyawaratan Desa kepada kepala desa disertai dengan
kelengkapan persyaratan administrasi.
2)
Kepala desa
mengusulkan pengesahan dan penetapan calon anggota Badan Permusyawaratan Desa
(BPD) terpilih kepada bupati melalui camat
3)
Paling lambat
15 hari kalender sejak diterimanya usulan pengesahan dan penetapan calon
anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terpilih yang dituangkan dalam Keputusan
Bupati
4)
Pelantikan
calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terpilih dilaksanakan oleh
Bupati atau pejabat yang ditunjuk oleh Bupati
10.
Dasar Hukum BPD
Peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar dan acuan dalam
penyusunan teknis pelaksanaan pengawasan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
antara lain:
a.
Peraturan
Mentri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 Tentang Badan permusyawaratan Desa
b.
Undang-Undang
No 6 Tahun 2014 tentang Desa
c.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
d.
Undang-Undang
No 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah
e.
Peraturan
Bupati Brebes Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Keuangan Desa
f.
Peraturan Desa
Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Anggaran Pendapatan Desa (APBDes)
g.
Peraturab
Bupati Brebes Nomor 004 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pembagian dan Penetapan
Rincian Dana Desa Setiap Desa Di Kabpaten Brebes Tahun Anggaran 2018.
B.
Konsep
Pengawasan[35]
1.
Pengertian
Pengawasan
Pengawasan
merupakan salah satu fungsi yang sangat signifikan dalam pencapaian manajemen
organisasi dan memanajemen potensi. Baik potensi yang berkaitan dengan produksi
maupun sumber daya yang ada. Pengawasan yang merupakan salah satu perencanaan
strategis dan perencanaan strategis merupakan puncak dari suatu pemikiran untuk
merumuskan sebuah tujuan yang akan dicapai oleh organisasi dan juga
merencanakan berbagai sumber daya yang ditetapkan organisasi dan usaha
pencapaian tujuan strategis.
Pengawasan
yang dapat dilaksanakan oleh lembaga terhadap pemerintahan dapat terlaksana
dengan baik apabila terdapat kerja sama di antara kedua belah pihak yang
bersangkutan, namun suatu kesalahan yang dilaksanakan oleh pemerintah dirasa
wajar dalam suatu kegiatan yang berada di luar rencana awal. Akan tetapi
kesalahan yang terjadi dilakukan perbaikan dan tidak menjadikan kesalahan
tersebut sebagai alasan.
Pengakuan secara yuridis terhadap kewenangan BPD terhadap
pengawasan desa tidak akan banyak artinya apabila tidak didukung dengan
pemberian sumber-sumber pembiayaan serta upaya pemberdayaan secara konseptual
dan berkesinambungan. Sebab pada dasarya pembiayaan akan mengikuti fungsi
fungsi yang dijalankan (money follow
function). Sedangkan upaya pemberdayaan masyarakat dan pemerintah Desa
perlu dilakukan secara kasus demi kasus berdasarkan karakteristik desa.
Dalam pencapaian tujuan mensejahterakan masyarakat desa,
masing-masing unsur pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa dapat
menjalankan fungsinya dengan mendapat dukungan dari masyarakat setempat. Oleh
karena itu, hubungan yang bersifat kemitraan antara Badan Permusyawaratan Desa
dengan pemerintah desa dalam pembangunan desa harus didasari pada filosofi
antara lain:
a.
adanya
kedudukan yang sejajar diantara yang bermitra;
b.
adanya
kepentingan bersama yang ingin dicapai;
c.
adanya prinsip
saling menghormati;
d.
adanya niat
baik untuk membantu dan saling mengingatkan.[36]
2.
Tujuan
Pengawasan
Tujuan dilakukannya pengawasan adalah untuk mengetahui dan memahami
kenyataan yang sebenarnya tentang objek pengawasan, apakah sesuai dengan yang
semestinya atau tidak, sebagai bahan untuk melakukan perbaikan diwaktu akan
datang. Pada dasarnya pengawasan harus dapat mengukur apa yang harus dicapai,
menilai pelaksanaan serta mengadakan tindakan perbaikan dan penyesuaian yang
dianggap perlu.
3.
Fungsi
Pengawasan
Fungsi pengawasan diperlukan untuk memastikan apakah yang telah
direncanakan dan diorganisasikan berjalan sebagaimana mestinya, maka fungsi
pengawasan itu juga melakukan proses untuk mengoreksi kegiatan yang sudah
berjalan agar dapat tetap tercapai apa yang telah direncanakan.
Dalam kamus Bahasa Indonesia istilah Pengawasan berasal dari kata
awas yang artimya memperhatikan baik-baik, dalam arti melihat sesuatu dengan
cermat dan seksama, tidak ada lagi kegiatan kecuali memberi laporan
berdasarkan kenyataan yang sebenarmya dari apa yang di awasi.[37]
Pengawasan adalah sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh kepastian
apakah suatu pelaksanaan pekerjaan atau kegiatan itu dilaksanakan sesuai dengan
rencana, aturan-aturan dan tujuan yang telah di tetapkan. Jika memperhatikan
lebih jauh, yang menjadi pokok permasalahan dari pengawasan yang dimaksud adalah
suatu rencana yang telah di gariskan terlebih dahulu apakah dilaksanakan sesuai
dengan rencana semula dan apakah tujuannya sudah tercapai.
Penyelenggaran pengawasan dapat dilakukan berdasarkan jenis-jenis
pengawasan yaitu: pengawasan dari segi waktunya pengawasan dari segi sifatnya.
Pengawasan di tinjau dari segi waktunya dibagi dalam 2(dua) kategori yaitu
sebagai berikut:[38]
a.
pengawasan a-priori
atau pengawasan preventif yaitu pengawasn yang dilakuakan oleh aparatur
pemerintah yang lebih tinggi terhadap keputusan keputusan dari aparatur
aparatur yang lebih rendah. Pengawasan dilakukan sebelum dikeluarkannya suatu
keputusan atau ketetapan administrasi Negara atau peraturan lainnya dengan cara
pengesahan terhadap ketetapan atau peraturan tersebut. Apabila ketetapan atau
peraturan tersebut belum di sah kan maka ketetapan atau peraturan tersebut
belum mempunyai kekuatan hukum.
b.
Pengawasan a-pasteriori
atau pengawasan represif yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparatur
pemerintahan yang lebih tinggi terhadap keputusan aparatur pemerintah yang
lebih rendah. Pengawasan dilakukan setelah dikeluarkannya keputusan atau
ketetapan pemerintah atau sudah terjadinya tindakan pemerintah.
Tindakan dalam
pengawasan resensif dapat berakibat pencabutan apabila ketetapan pemerintah
tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi.
Dalam keadaan yang mendesak tindakan dapat dilakukan dengan cara menangguhkan
ketetapan yang telah dikeluarkan sebelum dilakukan pencabutan.
M. Manullang
mengatakan bahwa tujuan utama diadakannya pengawasan adalah “mengusahakan agar
apa yang direncanakan menjadi kenyataan”.[39]
Sedangkan
tujuan pengawasan menurut Sukarno adalah sebagai berikut:[40]
a.
Untuk
mengetahui apakah sesuatu berjalan sesuai dengan rencana yang digariskan;
b.
Untuk
mengetahui apakah segala sesuatu dilaksanakan sesuai dengan intruksi serta
asas-asas yang telah di instruksikan
c.
Untuk
mengetahui kesulitan-kesulitan, kelemahan-kelemahan dalam bekerja;
d.
Untuk
mengetahui segala sesuatu apakah berjalan dengan efesien
e.
Untuk mencari
jaln keluar, bila ternyata dijumpai kesulitan-kesulitan, kelemahan-kelemahan
atau kegagalan-kegagalan kea rah perbaikan
Pengawasan
bukan lah hal yang mudah dilakukan, akan tetapi suatu pekerjaan yang memerlukan
kecakapan, ketelitian, kepandaian, pengalaman, bahkan harus disertai wibawa
yang tinggi, hal ini mengukur tingkat efektivitas kerja dari para aparatur
pemerintah.
4.
Jenis
Pengawasan
Dalam suatu organisasi dikenal beberapa jenis pengawasan yang
sering dilakukan sebagai mana mestinya. Yaitu sebagai berikut:
a.
Pengawasan dari
dalam organisasi (internal control) Pengawasan dari dalam artinya, bahwa
pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan dari dalam organisasi, dalam
hal ini pengawasan BPD terhadap pelaksanaan tugas BPD yang bertindak atas nama
masyarakat di Desa.
b.
Pengawasan luar
organisasi (eksternal control) Pengawasan yang dilakukan oleh unit
pengawas dari luar organisasi yang bartindak atas nama organisasi.
c.
Pengawasan Preventif
Pengawasan yang dilakukan sebelum kegiatan dilaksanakan atau dikerjakan
yang bertujuan untuk mencegah kesalahan atau penyimpangan di dalam melakukan
kegiatan organisasi. Dalam hal ini misalnya menentukan peraturan-peraturan
sesuai dengan prosedur, hubungan dan tata kerja atau menentukan pedoman kerja sesuai
dengan peraturan atau kebutuhan yang telah ditentukan.
d.
Pengawasan
Reprensif Pengawasan yang dilakukan setelah adanya pelaksanaan pekerjaan dengan
cara menilai dan memberikan pelaksanaan pelayanan dan rencana yang telah
ditetapkan, kemudian diambil tindakan agar pelaksanaan pekerjaan selanjutnya
dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.
e.
Pengawasan
Melekat Merupakan serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian yang
terus-menerus, dilakukan atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif
dan reprensif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif
dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
f.
Pengawasan
fungsional Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga/aparat pengawasan yang
dibentuk atau ditunjuk khusus untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara
independen terhadap obyek yang diawasi. Pengawasan fungsional tersebut
dilakukan oleh lembaga/badan/unit yang mempunyai tugas dan fungsis melakukan
pengawasan fungsional melalui audit, investigasi, dan penilaian untuk menjamin
agar penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan rencana dan ketentuan
perundangundangan yang berlaku.
g.
Pengawasan
masyarakat merupakan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat yang dilakukan
antara lain dalam bentuk pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh lembaga
perwakilan rakyat, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi non pemerintah,
serta pengaduan dan pemberian informasi baik secara langsung maupun melalui
media masa atau opini publik mengenai pelayanan terhadap masyarakat dan
penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam hal pengawasan yang
dilaksanakan oleh Badan Permusyawaratan Desa, menyangkut dengan
pertanggungjawaban Kepala Desa kepada pemerintahan atasannya melalui BPD, maka
diperlukan format pertanggungjawaban yang dapat dinilai oleh BPD. Agar supaya
tidak terjadi polemik dan menimbulkan persoalan baru antara Kepala Desa dengan
Badan Permusyawaratan Desa tentang pertanggungjawaban tersebut, maka materinya
perlu dinyatakan terperinci dan dimuat dalam peraturan daerah Kabupaten.
5.
Konsep
Pengawasan dalam Pemerintahan Desa
Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
adalah badan perwakilan yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat didesa yang
mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
Pemerintahan Desa.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Pemerintahan Desa seperti pengwasan
implementasi Peratuan Desa, anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDesa)
serta meminta pertanyaan kepada Kepala Desa dalam melaksanakan fungsinya
sebagai Kepala Desa.
6.
Prosedur
Pengawasan
Berdasarkan Pasal 52 Peraturan
Mentri dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa.Prosedur
pengawasan Badan Permusyawaratan Desa kepada Pemerintahan Desa adalah sebagai
berikut:
a.
Meminta
Pertanggungjawaban Kepala Desa dalam melaksanakan Penyelenggaraan Pemerintahan
Desa.
b.
Mengajukan
pertanyaan, maksudnya adalah pertanyaan yang diajukan anggota BPD sebagai Badan
Legislatif desa terhadap pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
c.
Meminta
keterangan kepada Kepala Desa terhadap proses penyeleggaraan Pemerintahan Desa.
d.
Meminta laporan
pertanggungjawaban kepala desa 1 (satu) kali dalam satu tahun.
7.
Pengawasan Dana
Desa
Untuk skala Desa, Undang-Undang Desa menegaskan hak Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) untuk mengawasi dan meminta keterangan tentang
penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa, termasuk didalamnya
adalah aliran penggunaan Dana Desa. Pengawasan dana desa dilakukan dalam dalam
konteks pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa, yang wajib
berakuntabilitas desa sebagai sebuah penyelenggaraan pemerintahan desa termasuk
keuangan desa.[41]
Musyawarah Desa yang diselenggarakan BPD menjadi forum resmi untuk
melakukan pengawasan berbasis kepentingan Desa. Dalam prosedur pengawasan dana
desa terbagi menjadi 3 (Tiga) tahap yakni Tahap pra penyaluran, tahap
penyaluran dan penggunaan, dan tahap pasca penyaluran.
Tahap pra penyaluran terdapat 4 (Empat) akpek penting yakni:
a.
Perangkat
Pengelolaan Dana Desa
b.
Regulasi dan
dokumen terkait Dana Desa.
c.
Kesesuaian
perhitungan Dana Desa
d.
Kesesuaian
proses penyusunan perencanaan Dana Desa
Dalam tahap penyaluran dan
penggunaan terdapat 3 aspek penting yakni:
a.
Aspek Keuangan
Dalam Penggunaan Dana Desa.
1)
Ketepatan waktu
penyaluran Dana Desa dari Rekening Kas Umum Daerah ke Rekening Kas Desa
2)
Kesesuaian
pemanfaatan Dana Desa dengan ketentuan perundang-undangan.
b.
Aspek Pengadaan
Barang/Jasa dalam Penggunaan Dana Desa
c.
Aspek
Kehandalan
Dalam tahap pasca penyaluran terdapat 2 aspek penting yakni:
a.
Penatausahaan,
Pelaporan dan Pertanggung jawaban Penggunaan Dana Desa
b.
Penilaian
Manfaat (outcome) Dana Desa bagi Kesejahteraan Masyarakat
Secara umum masyarakat juga
mempunyai hak untuk melakukan pengawasan secara partisipatif terhadap
penggunaan dana desa, antara lain melakukan pengawasan secara partisipatif
terhadap pelaksanaan pembangunan Desa dengan cara membandingkan dengan isi
Peraturan Desa yang telah diterbitkan.[42]
C.
Konsep
Pendampingan
Pendamping desa adalah seseorang yang berupaya mengembangkan
kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan,
sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber
daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang
sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa.
Terbitnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(selanjutnya disebut Undang-undang Desa), Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
(selanjutnya disingkat dengan PP 43/2015) dan Permendesa PDTT No. 3 Tahun 2015
tentang Pendampingan Desa (selanjutnya disebut Permendesa 3/2015), pola
pendampingan Desa mengalami perubahan paradigmatis. Dalam praksis kebijakan
pemberdayaan masyarakat sebelum ditetapkannya Undan-undang Desa, kader-kader
penggerak di Desa cenderung dibentuk melalui penugasan dari supradesa, menjadi
bagian dari prasyarat proyek, serta bekerja didasarkan atas skema “petunjuk
teknis” yang rinci. Desa baru paska Undang-undang Desa dicirikan oleh adanya
perubahan pola pendampingan desa yaitu dari semula berkarakter “kontrol dan
mobilisasi-partisipasi”, berubah menjadi fasilitasi gerapan pembaharuan desa
sebagai komunitas yang mandiri. Berlandaskan asas regoknisi dan subsidiaritas,
pendampingan desa mengutamakan kesadaran politik warga desa untuk terlibat
aktif dalam urusan di desanya secara sukarela sehingga arah gerak kehidupan di
desa merupakan akualitas kepentingan bersama yang dirumuskan secara musyawarah
mufakat dalam semangat gotong royong.[43]
Pendampingan Desa dilaksanakan oleh pendamping yang terdiri atas:
1.
Tenaga
pendamping professional (Badan Permusyawaratan Desa serta pendamping Desa
berkedudukan di kecamatan, pendamping Teknis berkedudukan di Kabupaten, dan
Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat berkedudukan di Pusat dan Provinsi).
2.
Kader
Pemberdayaan Masyarakat Desa (Kelompok Tani, Kelompok Nelayan, Kelompok
Pengerajin, Kelompok Perempuan, Kelompok pemerhati dan Perlindungan Anak,
Kelompok Masyarakat Miskin dan Kelompok-kelompok masyarakat lain sesuai dengan
kondisi sosial budaya masyarakat desa.
3.
Pihak ketiga
(Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi, Organisasi Kemasyarakatan,
Perusahaan).
Menurut
pasal 24 Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa, Kompetensi pendamping desa
sekurang-kurangnya memenuhi unsur kualifikasi antara lain:
1.
Memiliki
pengetahuan dan kemampuan dalam pemberdayaan masyarakat;
2.
Memiliki
pengalaman dalam pengorganisasian masyarakat Desa;
3.
Mampu melakukan
pendampingan usaha ekonomi masyarakat Desa;
4.
Mampu melakukan
teknik fasilitasi kelompok-kelompok masyarakat Desa dalam musyawarah Desa;
dan/atau
5.
Memiliki
kepekaan terhadap kebiasaan, adat istiadat dan nilai-nilai budaya masyarakat
Desa.
Kompetensi
pendamping teknis memenuhi unsur kualifikasi sebagai berikut:
1.
Memiliki
pengetahuan dan kemampuan dalam mengorganisasi pelaksanaan program dan kegiatan
sektoral;
2.
Memiliki
pengalaman dalam pemberdayaan masyarakat dan pengorganisasian masyarakat;
3.
Pengalaman
dalam melakukan fasilitasi kerja sama antarlembaga kemasyarakatan; dan/atau
4.
Mampu melakukan
analisis kebijakan terhadap implementasi program di wilayahnya.
Kompetensi
Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat sekurang-kurangnya memenuhi unsur
kualifikasi antara lain:
1.
Memiliki
pengalaman dalam pengendalian dan manajemen program pemberdayaan masyarakat;
2.
Peningkatan
kapasitas dan pelatihan pemberdayaan masyarakat; dan
3.
Analisis
kebijakan pemberdayaan masyarakat.
Pendampingan
yang lebih kokoh dan berkelanjutan jika dilakukan dari dalam secara emansipatif
oleh aktor-aktor lokal. Pendampingan secara fasilitatif dibutuhkan untuk
katalisasi dan akselerasi. Namun proses ini harus berbatas, tidak boleh
berlangsung berkelanjutan bertahun-tahun, sebab akan menimbulkan ketergantungan
yang tidak produktif. Selama proses pendampingan, pendekatan fasilitatif itu
harus mampu menumbuhkan kader-kader lokal yang piawai tentang ihwal Desa, dan
mereka lah yang akan melanjutkan pendampingan secara emansipatoris.[44]
Pendampingan melakukan intervensi secara utuh terhadap sistem Desa
sebagai bagian dari membangun village driven development. Beragam aktor
Desa serta isu-isu pemerintahan dan pembangunan Desa bukanlah segmentasi yang
berdiri sendiri, tetapi semuanya terikat dan terkonsolidasi dalam sistem Desa.
Sistem Desa yang dimaksud adalah kewenangan Desa, tata pemerintahan
Desa, serta perencanaan dan penganggaran dana desa yang semuanya mengarah pada
pembangunan Desa untuk kesejahteraan warga.
Pendampingan Badan Permusyawaratan Desa dalam Tahapan Pembuatan
Peraturan Desa[45] yang
selanjutnya untkuk menjadikan kewenangan-kewenangan desa menjadi regulasi maka
perlu dilalui tahapan-tahapn sebagai sebauh alur. Tahapan-tahapn tersebut
sebagaimana yang dibeberkan secara rinci dalam Permendagri Nomor 111 Tahun.
2014 tentang Pedoman Tehnis Peraturan Desa. Adapun tahapan pembuatan Peraturan
Desa meliputi:
a.
Perencanaan
Rancangan Peraturan Bersama Kepala Desa ditetapkan bersama oleh dua
Kepala Desa atau lebih setelah mendapatkan rekomendasi dari musyawarah desa.
b.
Penyusunan
Rancangan Peraturan Bersama Kepala Desa dilakukan oleh Kepala Desa
pemrakarsa. Dan rancangan peraturan yang telah disusun tersebut terlebih dahulu
wajib dikonsultasikan kepada masyarakat desa masing-masing dan camat untuk
mendapatkan masukan.
c.
Pembahasan,
Penetapan dan Pengundangan
Pembahasan rancangan Peraturan dilakukan oleh dua Kepala Desa atau
lebih untuk ditetapkan dan diundangkan dalam Berita Desa.
d.
Penyebarluasan
Sosialisasi Peraturan Bersama Kepala Desa kepada masyarakat Desa.
Fokus
pendamping desa adalah memperkuat proses kaderisasi bagi Kader Pemberdayaan
Masyarakat Desa (KPMD), dengan tidak tertutup peluang untuk melakukan
kaderisasi terhadap komponen masyarakat lainnya. Legalitas Kader Pemberdayaan
Masyarakat Desa tertuang dalam ketentuan dalam Pasal 4 Peraturan Mentri desa Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor. 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa.
Pasal tersebut menetapkan bahwa pendampingan Desa dilaksanakan oleh pendamping
yang terdiri atas: tenaga pendamping professional, Kader Pemberdayaan Masyarakat
Desa (KPMD); dan/atau, pihak ketiga. Dengan demikian pendamping desa yang
dipilih dari warga desa setempat, untuk bekerja mendampingi beragam kegiatan di
desanya secara mandiri.[46]
D.
Pengertian Dan
Kewenangan Desa
a.
Pengertian Desa
Berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Desa
adalah suatu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada
diwilayah Kabupaten.
Berdasarkan Peraturan Pemerintahan Nomor 72 Tahun 2005, desa
dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal usul desa dan
kondisi sosial budaya Masyarakat setempat. Desa dianggap sebagai sumber nilai
luhur yang memiliki karakteristik seperti gotong royong, musyawarah mufakat dan
kekeluargaan sehingga menimbulkan berbagai semboyan.
Desa menurut Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang
Desa mengartikan bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal
usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa mengartikan bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal
usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara etimologi kata Desa berasal dari bahasa Sansekerta,
deca yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dari
perspektif geografis, Desa atau village diartikan sebagai “a groups of
hauses or shops in a country area, smaller than a town”. Desa adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk
mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hak asal-usul dan adat
istiadat yang diakui dalam pemerintahan nasional dan berada di daerah
Kabupaten.
deca yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dari
perspektif geografis, Desa atau village diartikan sebagai “a groups of
hauses or shops in a country area, smaller than a town”. Desa adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk
mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hak asal-usul dan adat
istiadat yang diakui dalam pemerintahan nasional dan berada di daerah
Kabupaten.
Desa adalah wilayah yang saling mengenal hidup bergotongroyong,
adat istiadat yang sama, mempunyai tata cara sendiri dalam mengatur kehidupan
kemasyarakatan. Di samping itu, umumnya wilayah desa terdiri atas daerah
pertanian, sehingga sebagian besar mata pencariannya adalah seorang petani.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah disebut bahwa desa ialah suatu
wilayah yang ditempatih sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan
berhak menyelenggarakan rumah tanggahnya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.[47]
Menurut Landis Desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang
penduduknya kurang dari 2500 orang, Untuk tujuan analisa sosial-psikologi, desa
didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan yang
akrab dan serba informal diantara sesama warganya. Sedangkan untuk tujuan
analisa ekonomi, Desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya
tergantung kepada pertanian.[48]
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 pembetukan Desa
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.
Batas usia Desa
induk paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung
sejak pembentukan;
sejak pembentukan;
2.
Jumlah penduduk
sebagaimana diatur pada pasal 8 ayat (3)
3.
Wilayah kerja
yang memiliki akses transportasi antar wilayah;
4.
Sosial budaya
yang dapat menciptakan kerukunan hidup
bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat Desa;
bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat Desa;
5.
Memiliki
potensi yang meliputi sumber daya alam, sumber
daya manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung;
daya manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung;
6.
Batas wilayah
Desa yang dinyatakan dalam bentuk peta Desa yang telah ditetapkan dalam
peraturan Bupati/Walikota;
7.
Sarana dan
prasarana bagi Pemerintahan Desa dan pelayanan publik dan tersedianya dana
operasional, penghasilan tetap dan tunjangan lainnya bagi perangkat Pemerintah
Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Landasan hukum yang menjadi latar belakang pembentukan suatu Desa,
ada hal lain yang harus dilengkapi juga yaitu unsur-unsur Desa. Dalam hal ini,
yang dimaksud dengan unsur-unsur Desa adalah komponen-komponen pembentuk Desa
sebagai satuan ketatanegaraan.
Komponen- komponen tersebut adalah:
1.
Wilayah Desa,
merupakan wilayah yang menjadi bagian dari wilayah kecamatan
2.
Penduduk atau
masyarakat Desa, yaitu mereka yang bertempat tinggal di Desa selama beberapa
waktu secara berturut-turut.
3.
Pemerintahan,
adalah suatu system tentang pemerintah sendiri dalam arti dipilih sendiri oleh
penduduk desa yang nantinya akan bertanggung jawab kepada rakyat Desa.
4.
Otonomi, adalah
sebagai pengatur dan pengurus rumah tangga sendiri[49]
Desa memiliki wewenang sesuai dengan yang tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa:
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa:
1.
Kewenangan
berdasarkan hak asal usul;
2.
Kewenangan
lokal berskala Desa;
3.
Kewenangan yang
ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
4.
Kewenangan lain
yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b.
Kewenangan Desa[50]
Dengan dua azas utama “rekognisi” dan “subdidiaritas”
Undang-undang Desa mempunyai semangat revolusioner, berbeda dengan azas “desentralisasi”
dan “residualitas”. Dengan mendasarkan pada azas desentralisasi dan
residualitas desa hanya menjadi bagian dari daerah, sebab desentralisasi hanya
berhenti di kabupaten/kota. Disamping itu, desa hanya menerima pelimpahan
sebagian kewenangan dari kabupaten/kota. Sehingga desa hanya menerima sisa-sisa
lebihan daerah, baik sisa kewenangan maupun sisa keuangan dalam bentuk Alokasi
Dana Desa.
Kombinasi antara azas rekognisi dan subsidiaritas Desa menghasilkan
definisi desa yang berbeda dengan definisi-definisi sebelumnya. Desa didefinisikan
sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan.
Dengan
definisi dan makna itu, Undang-undang Desa telah menempatkan desa sebagai
organisasi campuran (hybrid) antara
masyarakat berpemerintahan (self
governing community) dengan
pemerintahan lokal (local self government).
Dengan begitu, sistem pemerintahan di desa
berbentuk pemerintahan masyarakat atau pemerintahan berbasis masyarakat
dengan segala kewenangannya (authority).
Desa juga tidak lagi identik dengan pemerintah desa dan kepala desa, melainkan
pemerintahan desa yang sekaligus pemerintahan masyarakat yang membentuk
kesatuan entitas hukum. Artinya, masyarakat juga mempunyai kewenangan dalam
mengatur desa sebagaimana pemerintahan desa.[51]
Kewenangan merupakan elemen penting sebagai hak yang dimiliki oleh
sebuah desa untuk dapat mengatur rumah tangganya sendiri. Dari pemahaman ini
jelas bahwa dalam membahas kewenangan tidak hanya semata-mata memperhatikan
kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa namun harus juga memperhatikan subjek
yang menjalankan dan yang menerima kekuasaan. Kewenangan harus memperhatikan
apakah kewenangan itu bisa diterima oleh subjek yang menjalankan atau tidak.
Dalam pengelompokannya, kewenangan yang dimiliki desa meliputi:
kewenangan dibidang penyelenggaraan pemerintahan desa, kewenangan dibidang
pelaksanaan pembangunan desa, kewenangan dibidang pembinaan kemasyarakatan
desa, dan kewenangan dibidang pemberdayaan masyarakat desa yang berdasarkan
prakarsa masyarakat, atau yang berdasarkan hak asal usul dan yang berdasarkan
adat istiadat desa.
Dalam Pasal 19 dan 103 UU Desa disebutkan, Desa dan Desa Adat
mempunyai empat kewenangan, meliputi:
1.
Kewenangan
berdasarkan hak asal usul. Hal ini bebeda dengan perundang-undangan sebelumnya
yang menyebutkan bahwa urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal
usul desa.
2.
Kewenangan
lokal berskala Desa dimana desa mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan
mengurus desanya. Berbeda dengan perundang-undangan sebelumnya yang
menyebutkan, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/ kota yang
diserahkan pengaturannya kepada desa.
3.
Kewenangan yang
ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah
kabupaten/kota.
4.
Kewenangan lain
yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari empat kewenangan tersebut, pada dua kewenangan pertama yaitu
kewenangan asal usul dan kewenangan lokal berskala desa, terdapat beberapa
prinsip penting yang dimiliki desa. Dimana kewenangan yang dimiliki oleh desa
tersebut bukan-lah kewenangan sisa (residu)
yang dilimpahkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana pernah diatur dalam
Unadang-undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan
Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa. Melainkan, sesuai
dengan asas rekognisi dan subsidiaritas. Dan kedua jenis kewenangan tersebut
diakui dan ditetapkan langsung oleh undang-undang dan dijabarkan oleh peraturan
pemerintah.
Kewenangan berdasarkan hak asal usul merupakan kewenangan warisan
yang masih hidup dan atas prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai
dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Sedangkan kewenangan lokal berskala
Desa merupakan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh
Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan prakasa masyarakat Desa.
Kedua kewenangan ini merupakan harapan menjadikan desa berdaulat, mandiri, dan
berkepribadian.
Dengan kedua kewenangan ini Desa mempunyai hak “mengatur” dan
“mengurus”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Undang-undang Desa, Desa maupun
Desa Adat mempunyai kewenangan mengeluarkan dan menjalankan peraturan, tentang
apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sehingga mengikat kepada pihak-pihak
yang berkepentingan, dan menjalankan aturan tersebut. Atau bertanggungjawab
merencanakan, menganggarkan dan menjalankan kegiatan pembangunan atau
pelayanan, serta menyelesaikan masalah yang muncul.
E.
Pemerintah Desa
Dan Musyawarah Desa
1.
Musyawarah Desa[52]
Pemerintah Desa merupakan bagian dari pemerintah nasional,
yang penyelenggaraanya ditujukan kepada Desa. Pemerintahan Desa adalah suatu proses dimana usaha-usaha masyarakat Desa yang bersangkutan dipadukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
yang penyelenggaraanya ditujukan kepada Desa. Pemerintahan Desa adalah suatu proses dimana usaha-usaha masyarakat Desa yang bersangkutan dipadukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Disamping kewenangan dan hak yang dimiliki Kepala Desa, dalam
konteks Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pemerintah Desa adalah kepala Desa yang dibantu oleh perangkat Desa lainnya dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam menjalankan tugasnya. Pada pasal 26 ayat (2) menyatakan, bahwa dalam melaksanakan tugas Kepala Desa berwenang:
konteks Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pemerintah Desa adalah kepala Desa yang dibantu oleh perangkat Desa lainnya dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam menjalankan tugasnya. Pada pasal 26 ayat (2) menyatakan, bahwa dalam melaksanakan tugas Kepala Desa berwenang:
a.
Memimpin
penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b.
Mengangkat dan
memberhentikan perangkat Desa;
c.
Memegang
kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa;
d.
Menetapkan
Peraturan Desa;
e.
Menetapkan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
f.
Membina
kehidupan masyarakat Desa;
g.
Membina
ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
h.
Membina dan
meningkatkan perekonomian Desa serta mengintegrasikannya agar mencapai
perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa;
i.
Mengembangkan
sumber pendapatan Desa;
j.
Mengusulkan dan
menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa;
k.
Mengembangkan
kehidupan sosial budaya masyarakat Desa;
l.
Memanfaatkan
teknologi tepat guna;
m.
Mengoordinasikan
pembangunan Desa secara partisipatif;
n.
Mewakili Desa
didalam dan diluar pengadilan atau menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
o.
Melaksanakan
wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh Kepala Desa, maka secara
hukum memiliki tanggung jawab yang besar, oleh karena itu untuk efektif harus
ada pendelegasian kewenangan kepada para pembantunya atau memberikan mandat.
Oleh karena itu dalam melaksanakan kewenangan Kepala Desa diberikan sebagaimana
ditegaskan pada pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, dalam
melaksanakan tugas Kepala Desa berhak:
a.
Mengusulkan
struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa;
b.
Mengajukan
rancangan dan menetapkan Peraturan Desa;
c.
Menerima
penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah,
serta mendapat jaminan kesehatan;
d.
Mendapatkan
pelindungan hukum atas kebijakan yang dilaksanakan
e.
Memberikan
mandat pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya kepada perangkat Desa.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 pada pasal 26 ayat (4) dalam
melaksanakan tugas Kepala Desa berkewajiban:
a.
Memegang teguh
dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
b.
Meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Desa;
c.
Memelihara
ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
d.
Menaati dan
menegakkan peraturan perundang-undangan;
e.
Melaksanakan
kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender;
f.
Melaksanakan
prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif
dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme;
g.
Menjalin kerja
sama dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan di Desa;
h.
Menyelenggarakan
administrasi Pemerintahan Desa yang baik;
i.
Mengelola
Keuangan dan Aset Desa;
j.
Melaksanakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa;
k.
Menyelesaikan
perselisihan masyarakat di Desa;
l.
Mengembangkan
perekonomian masyarakat Desa;
m.
Membina dan
melestarikan nilai sosial budaya masyarakat Desa;
n.
Memberdayakan
masyarakat dan lembaga kemasyarakatan di Desa;
o.
Mengembangkan
potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup;
p.
Memberikan
informasi kepada masyarakat Desa.
2.
Musyawarah Desa[53]
Pasal 54 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa,
menyatakan Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh
Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk
memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Desa.
Hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa
itu antara lain; penataan Desa, perencanaan Desa, kerja sama Desa, rencana
investasi yang masuk ke Desa, pembentukan Badan Usaha Milik Desa, penambahan
dan pelepasan aset Desa serta kejadian luar biasa.
Selanjutnya, Permen Desa PDTT nomor 2 tahun 2015 tersebut juga
menyaratkan penyelenggaraan Musyawarah Desa dilaksanakan secara partisipatif,
demokratis, transparan dan akuntabel dengan berdasarkan kepada hak dan
kewajiban masyarakat.
Penyelenggaraan Musyawarah Desa (Musdes) dilakukan dengan mendorong
partisipatif atau melibatkan seluruh unsur masyarakat baik itu tokoh agama,
tokoh masyarakat, perwakilan petani, nelayan, perempuan maupun masyarakat
miskin. Setiap orang dijamin kebebasan menyatakan pendapatnya, serta
mendapatkan perlakuan yang sama. Penyelenggaran Musdes dilakukan secara
transparan, setiap informasi disampaikan secara terbuka dan hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Terminologi Kepala Desa sebagaimana dijelaskan dalam UU Desa cukup
jelas mengatakan “Kepala Desa sebagai pemimpin masyarakat”. Term tersebut
memiliki arti Kepala Desa bukan hanya milik sebagian kelompok, keluarga ataupun
dinasty tertentu tapi kepala Desa adalah milik seluruh masyarakat Desa. Dalam
penyelenggaraan Musdes kepala Desa harus senantiasa mengakomodir dan
memperjuangkan aspirasi masyarakatnya salah satunya dengan melibatkan mereka secara
penuh dalam forum Musdes.
Badan Permusyawarat Desa (BPD) sebagai pimpinan rapat, hal ini
sebagaimana diatur dalam Permen Desa, PDT dan Transmingrasi Nomor 2 tahun 2015
tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah
Desa. Selain memimpin penyelenggaran Musyawarah Desa, Ketua BPD bertugas
menetapkan panitia, mengundang peserta Musdes, serta menandatangi berita acara
Musyawarah Desa. Undang-undang Desa mensyaratkan pelaksanaan Musyawarah Desa
berlansung secara partisipatif, demokratis, transparan dan akuntabel. Beberapa
tipe kepemimpinan yang ada di Desa akan bertindak sebagaimana berikut:
1.
Partisipatif
Musyawarah Desa yang diharapkan
sebagaimana amanat Undang-undang Desa adalah adanya pelibatan masyarakat
secara keseluruhan, bagi pemimpin dengan tipe kepemimpinan regresif partisipasi
masyarakat dalam Musdes tidak diharapkan, bahkan pemimpin tipe ini cenderung
menolak menyelenggarakan Musyawarah Desa. Kepemimpinan konservatif-involutif
akan melaksanakan Musyawarah Desa sesuai tata tertib atau aturan yang ada,
daftar peserta akan diseleksi terlebih dahulu dipilih dari sekian calon peserta
Musdes yang dapat dikendalikannya. Sedangkan kepemimpinan inovatif-progresif
dalam peleksanaan Musdes akan melibatkan setiap unsur masyarakat, tokoh agama,
tokok masyarakat, perwakilan perempua, hingga perwakilan masyarakat miskin
dalam Musyawarah Desa.
2.
Demokratis
Setiap orang dijamin kebebasan
berpendapat serta mendapatkan perlakuan yang sama dalam forum Musdes. Pada
kepemimpinan regresif biasanya tidak mengingginkan pendapat, masukan dari orang
lain bila ada masyarakat yang kritis cenderung akan di intimidasi. Kepemimpinan
konservatif-involutif, cenderung akan melakukan seleksi siapa yang diinginkan
pendapatnya, masukan terutama dari atasan akan lebih diperhatikan, dalam forum
Musdes pendapat atau masukan cenderung di setting atau diatur terlebih dahulu
agar dapat menguntungkan dirinya. Pada kepemimpinan inovatif-progresif, Setiap
orang akan dijamin kebebasan berpendapatnya dan mendapatkan perlakuan yang
sama, serta akan melindunginya dari ancaman dan intimidasi.
3.
Transparan
Peserta Musdes mendapatkan informasi
secara lengkap dan benar perihal hal-hal bersifat strategis yang akan dibahas.
Pada kepemimpinan regresif cenderung menolak untuk transparan, tidak akan
memberikan informasi apapun kepada masyarakatnya meskipun menyangkut
kepentingan masyarakatnya sendiri. Sedangkan kepemimpinan
konservatif-involutif, transparansi akan dilakukan terbatas, informasi hanya
diberikan kepada pengikut atau pendukungnya saja. Tipe kepemimpinan
inovatif-progresif akan membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakatnya,
semakin luas serta lengkap informasi yang disampaikan kepada masyarakat
dianggap akan dekat dengan kesuksesan program Desa.
4.
Akuntabel
Hasil-hasil Musyawarah desa berikut tindaklanjutnya harus dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat Desa. Kepemimpinan regresif cenderung tidak akan menyampaikan
keputusan musyawarah Desa, termasuk menolak mempertanggungjawabkan kinerjanya
kepada masyarakat. Pada kepemimpinan konservatif-involutif, Hasil musyawarah
Desa maupun tindak lanjutnya hanya akan disampaikan kepada pengikutnya saja.
Sedangkan kepemimpinan inovatif-progresif, Hasil Musyawarah Desa serta tindak
lanjut keputusan musyawarah akan disampaikan kepada masyarakat dan dilakukan
setiap saat.
Musyawarah Desa merupakan forum tertinggi di Desa yang berfungsi
untuk mengambil keputusan atas hal-hal yang bersifat strategis. Menempatkan
Musyawarah Desa sebagai bagian dari kerangka kerja demokratisasi dimaksudkan
untuk mengedepankan Musyawarah Desa yang menjadi mekanisme utama pengambilan
keputusan Desa. Dengan demikian, perhatian khusus terhadap Musyawarah Desa
merupakan bagian integral terhadap kerangka kerja demokratisasi Desa.
Undang-undang Desa mendefinisikan musyawarah Desa sebagai berikut:
“Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah
musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur
masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk
menyepakati hal yang bersifat strategis”. (Pasal 54 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa).
Selain dihadiri oleh peserta, Musyawarah Desa juga dihadiri oleh
undangan dan Pendamping (Pasal 20 Peraturan Mentri Desa Pembanunan Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi Nomor. 2 tahun 2015). Pendamping hadir atas undangan Ketua
Badan Permusyawaratan Desa. Pendamping yang hadir dalam musyawarah Desa berasal
dari:
1.
Satuan Kerja
Perangkat Daerah Kabupaten/Kota
2.
Camat
3.
Tenaga Pendamping
Profesional, dan/atau
4.
Pihak ketiga.
Empat unsur tersebut, khususnya Tenaga Pendamping Profesional, memiliki
tanggung jawab dalam memastikan kualitas demokratis dalam penyelenggaraan
musyawarah Desa.[54]
Musyawarah
desa merupakan forum musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa (BPD),
Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan
Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis, bisa
terkait tentang penataan Desa, perencanaan Desa, rencana investasi yang masuk
ke Desa, pembentukan Badan Usaha Milik Desa, dan beberapa yang lainnya dengan
prinsip partisipatif, demokratis, dan transparan.[55]
Dan untuk mendapatkan bisa menghasilkan keputusan-keputusan yang
sesuai harapan maka dibutuhkan peran aktif tiga unsur desa meliputi:
1.
Peran
Pemerintah desa, baik kepala desa maupun perangkatnya yang bisa melakukan:
a.
Mengelola
sumberdaya desa untuk kebutuhan masyarakat.
b.
Merumuskan
dengan baik kebutuhan masyarakat dan membuat perencanaan desa yang baik dengan ketentuan
skala prioritas.
c.
Meningkatkan
kemampuan mengimplementasikan peraturan Undang-undang Desa secara baik dan
turunannya.
d.
Mengelola
keuangan desa dengan prinsip partisipatif, transparan dan akuntabel.
2.
Peran BPD harus
bisa meningkatkan kemampuan dalam menyusun perencanaan desa bersama
pemerintahan desa. Hal itu bisa dilakukan dengan:
a.
Memperkuat
partisipasi dengan mengajak warga dalam aktif kegiatan pembangunan
b.
Menumbuhkan
inisiatif warga dalam turut serta mengembangkan program pemberdayaan desa.
c.
Melakukan
komunikasi yang baik dengan masyarakat. Kurang baiknya komunikasi akan
mengakibatkan keputusan yang diambil oleh BPD tidak sesuai dengan keinginan
masyarakat. BPD akan mengambil keputusan yang sepihak tanpa memikirkan kemauan
masyarakat yang sebenarnya. Peningkatan pola hubungan komunikasi antara anggota
BPD dan masyarakat seharusnya harus dilakukan secara intensif dan koordininatif
dengan terjun langsung ke tengah masyarakat guna mendengar secara langsung
keluhan masyarakat.
d.
Melaksanakan
nilai-nilai permusyawaratan, permufakatan proses kekeluargaan, dan
kegotong-royongan dalam pengambilan keputusan perihal kebijakan publik.
3.
Peran
masyarakat secara aktif partisipasitif.
Disini masyarakat mempunyai hak untuk mengusulkan atau memberikan
masukan kepada Kepala Desa dan BPD dalam proses penyusunan regulasi.
Partisipasi masyarakat yang bisa dilakukan adalah:
a.
Partisipasi
dalam proses pembuatan, yang hal itu bisa dilakukan melalui BPD atau ke Kepala
Desa.
b.
Mendapatkan
informasi secara lengkap dan benar perihal hal-hal bersifat strategis yang akan
dibahas. Hal itu bisa dilakukan dengan memperkuat kapasitas masyarakat,
termasuk keikutsertaan masyarakat dalam kerjasama, pengawasan, kemampuan
kreatif dan inovatif, serta kemampuan teknis.
c.
Mengawasi
kegiatan penyelenggaraan Musdes maupun tindaklanjut hasil keputusannya.
d.
Mendorong
gerakan swadaya gotong royong dalam penyusunan regulasi. Dalam hal ini
masyarakat harus memperhatikan sejauh mana regulasi yang dibahas memberi
manfaat kepada masyarakat desa sebagai subjek regulasi.
e.
Mempersiapkan
diri untuk berdaya dalam menyampaikan aspirasi, pandangan dan kepentingan
berkaitan hal-hal yang bersifat strategis.
f.
Mendorong
terciptanya kegiatan penyelenggaraan Musdes secara partisipatif, demokratis,
transparan dan akuntabel.
g.
Dan sebagai
langkah evaluasi, masyarakat dituntut memberi koreksi dan rekomendasi terkait
efektifitas regulasi tersebut.
F.
Dana Desa
Dana
Desa Adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) yang diperuntuhkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan Pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.[56]
Pemerintah
menganggarkan Dana Desa secara nasional dalam APBN setiap tahun. Alokasi
anggaran untuk Dana Desa ditetapkan sebesar 10% dari total Dana Transfer ke
Daerah dan akan dipenuhi secara bertahap sesuai dengan kemampuan APBN. Dalam
masa Transisi, sebelum Dana Desa dipenuhi melalui realokasi dari belanja pusat
dari program dana desa dipenuhi melalui realokasi dari belanja pusat dari
program yang berbasis desa. Kementerian/lembaga mengajukan anggaran untuk
program yang berbasis desa kepada menteri untuk ditetapkan sebagai sumber dana
desa.
Didalam
pelaksanaan dana desa, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor
60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN sebagaimana dirubah
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentan dana desa yang bersumber dari
APBN.[57]
Penggunaan
dana desa diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49 Tahun 2016 tentang
Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana
Desa pada pasal 21 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93 tahun 2015, dana desa
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan,
pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. Dana desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan.
Penggunaan dana desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan Proritas penggunaan dana desa yang ditetapkan oleh
menteri desa pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi. Pada pasal 22
dinyatakan bahwa pelaksanaan kegiatan yang dibiayai oleh dana desa berpedoman
pada pedoman umum penggunaan dana desa sebagaimana dimaksud pada pasal 21 ayat
(4) dan pedoman teknis yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota.
Penggunaan ADD merupakan bagian dari pelaksanaan APBDes dan
penggunaannya diprioritaskan guna mendukung penyelenggaraan kewenangan desa dan
dapat dialokasikan guna mendukung bidang kegiatan meliputi:[58]
1.
Penelenggaraan
Pemerintahan Desa
2.
Penyelenggaraan
Pembangunan Desa
3.
Pembinaan Kemasyarakatan
Desa
4.
Pemberdayaan
masyarakat Desa
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga yang melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan perencanaan serta pengelolaan dan
penggunaan Alokasi Dana Desa (ADD), yaitu membantu dalam memasyarakatkan tujuan,
prinsip dan kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) kepada masyarakat, memberikan
pengawasan langsung maupun tidak langsung terhadap perencanaan dan pelaksanaan
Alokasi Dana Desa (ADD), memberikan saran-saran terhadap perencanaan dan
pelaksanaan Alokasi Dana Desa (ADD), memastikan adanya keterpaduan dan mencegah
terjadinya tumpang tindih kegiatan pelaksanaan Alokasi Dana Desa (ADD) dan
membangun kerja sama yang sinergis dengan Kepala Desa.[59]
Kepala Desa bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan Desa,
termasuk didalamnya adalah yang bersumber dari dana desa. Disamping dana desa
yang bersumber dari APBN, terdapat 6 (enam) sumber pendapatan atau keuangan
Desa lainnya, yaitu:[60]
1.
Pendapatan Asli
Desa (PADesa)
2.
Alokasi Dana
Desa (ADD)
3.
Dana Bagi Hasil
Pajak
4.
Retribusi Daerah
yang bersumber dari APBD, Bantuan keuangan pemerintah (pusat-daerah)
5.
Hibah Pihak
Ketiga
6.
Pendapatan
lain-lain yang Sah
Kepala Desa tidak berhak menentukan skala prioritas dan tidak
mengambil keputusan. Kepala Desa dan perangkat Desa berkewajiban menyampaikan
informasi dan data-data terkait dengan sumber-sumber pendapatan atau keuangan
Desa, arah dan kebijakan dari visi dan misi Kepala Desa, kegiatan dari
pemerintah pusat-daerah dan informasi lain yang relevan dengan pembangunan Desa.
G.
Alokasi Dana Desa
Desa memiliki posisi yang sangat strategis, sehingga di perlukan adanya
perhatian yang seimbang terhadap penyelenggaraan otonomi daerah. Indikasi keberhasilan
pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan keberhasilan Pemerintah dalam
pelaksanaan otonomi Desa. Oleh karena itu upaya untuk memperkuat Pemerintahan
yang ada di Desa merupakan langkah yang harus segera diwujudkan baik pemerintah
propinsi maupun oleh pemerintah kabupaten.
Menurut Widjaja Dalam rangka meningkatkan pemberdyaan,
kesejahteraan dan pemerataan pembangunan yang ada di pedesaan melalui dana
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten, propinsi dan pusat
perlu merealisasikan dalam APBD masing-masing sebesar 10 Perseratus untuk Dana
Alokasi Desa. Dengan mengalokasikan Dana Alokasi Sebasar 10 Perseratus ini
diharapkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan di Desa dapat menjadi
kenyataan. Terciptanya pemerataan Pembangunan khusunya di pedesaan.[61]
Alokasi Dana Desa (ADD) merupakan primbangan dana Pemerintah
kabupaten/kota kepada pemerintah Desa yang bersumber dari keuangan Pemerintah Pusat
dalam rangka Pemberdayaan masyarakat.
Konsep Tentang Dana perimbangan Desa sendiri bukan merupakan suatu
gagagsan ekonomi semata, melainkan suatu gagasan untuk memberikan dukungan bagi
pengembangan proses politik dan proses reform di desa. Distruksi Politik dimasa
lalu, tentunya memerlukan suatu proses rehabilitasi yang memadai. Sumber daya
desa yang terkuras keluar, perlu di kembalikan dari prinsip pemerataan yang
hilang, perlu pula segera diwujudkan agar tidak terus menerus menjadi slogan
politik.[62]
Dengan diberikannya Otonomi kepada Desa maka diberikan pula
Anggaran untuk mengelola daerahnya yang disebut Alokasi Dana Desa (ADD).
Alokasi Dana Desa (ADD) adalah Dana yang dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten
untuk Desa, yang bersumber dari bagian Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah yang diterima oleh Kabupaten. Adapun tujuan dari Alokasi Dana Desa (ADD)
ini adalah untuk:
1.
Meningkatkan
penyelenggaraan pemerintahan desa dalam melaksanakan pelayanan pemerintahan,
pembangunan, dan kemasyarakatan sesuai kewenangannya.
2.
Meningkatkan
kemampuan lembaga kemasyarakatan di desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian
pembangunan secara partisipatif sesuai dengan potensi desas
3.
Meningkatkan
pemerataan pendapatan, kesempatan bekerja dan kesempatan berusaha bagi
masyarakat desa;
4.
Mendorong
peningkatan swadaya gotong royong masyarakat desa.
Penetapan alokasi dana desa dilakukan secara dua tahap, yaitu
pengalokasian dana desa setiap Kabupaten/Kota oleh Pemerintah Pusat, dan
pengalokasian dana desa setiap Desa oleh Bupati/Walikota.
1.
Pengalokasian
dana desa setiap Kabupaten/Kota
Dana desa setiap kabupaten/kota dihitung berdasarkan jumlah desa.
Dana desa dialokasikan secara berkeadilan berdasarkan:
a.
Alokasi dasar Yang dimaksud dengan
alokasi dasar adalah alokasi minimal dana desa yang diterima kabupaten/kota
berdasarkan perhitungan tertentu, antara lain perhitungan yang dibagi secara
merata kepada setiap desa.
b.
Alokasi yang dihitung dengan
memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan geografis desa setiap
kabupaten/kota. Tingkat kesulitan geografis ditunjukan oleh indeks kemahalan
konstruksi. Data jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan indeks
kemahalan konstruksi bersumber dari kementerian yang berwenang dan/atau lembaga
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang statistik.[63]
2.
Pengalokasian
Dana Desa Setiap Desa
Alokasi yang dihitung dengan
memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan
goegrafis setiap desa.[64]
Tingakat kesulitan geografis ditunjukkan
oleh indeks kesulitan geografis desa yang ditentukan oleh faktor yang terdiri
atas:
a.
Ketersediaan
prasarana pelayanan dasar;
b.
Kondisi
infrastruktur; dan
c.
Aksesibilitas/transportasi
3.
Penggunaan Dana
Desa
Dana
desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembagunan,
pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan dana desa diprioritaskan untuk
membiayai pembagunan dan pemberdayaan masyarakat. Pada prinsipnya dana desa dialokasikan
dalam APBN untuk membiayai kewenangan yang menjadi tanggung jawab desa. Namun,
untuk membiayai kewenangan yang menjadi tanggung jawab desa[65]
Pengalokasian
anggaran dana desa Dukuhmaja dalam APBN dilakukan secara bertahap, yang
dilasanakan sebagai berikut:
a.
Pencairan Periode 2018 Tahap I
Sebesar Rp.255.457.800; (20%)
b.
Pencairan Periode 2018 Tahap II
Sebesar Rp.510.915.600; (40%)
c.
Sisa Periode 2018 Sebesar
Rp.510.915.600; (40%).[66]
Namun untuk mengoptimalkan penggunaan dana desa sebagaimana
diamanatkan dalam undang-undang, penggunaan dana desa diprioritaskan untuk
membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, antara lain pembangunan
pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Dalam rangka
pengentasan masyarakat miskin, dana desa juga dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan primer pangan, sandang dan papan masyarakat. Penggunaan dana desa
untuk kegiatan yang tidak prioritas dapat dilakukan sepanjang kegiatan
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat telah terpenuhi.
4.
Tata Kelola
Keuangan Desa[67]
Pengaturan pengelolaan anggaran daerah yang mengacu pada ketentuan
Pasal 3 (Tiga) Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuanga Negara, menjelaskan
sebagai brikut:
“Keuangan
negara dikelola secara tetib, taat pada peraturan perundang-undangan, efesien,
ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas
keadilan dan kepatutan”.
Peraturan Perundang-undangan secara limitatif meletakkan siklus pengolahan
keuangan daerah yang dimulai dari: Perencanaan, Pembahasan, Pengesahan,
Penatausahaan, Pengawasan, dan Pertanggungjawaban.
Beberapa asas
penting dalam pengelolaan keuangan desa yang harus dilakasanakan dan menjadi
bagian penting dari disiplin anggaran yaitu:
a.
Asas Tahunan,
yaitu asas yang membatasi masa berlakunya anggaran untuk (1) satu tahun
tertentu.
b.
Asas Kesatuan,
yaitu asas yang menghendaki agar semua pendapatan dan belanja daerah disajikan
dalam satu dokumen anggaran.
c.
Asas
Universalitas, Asas yang mengharuskan agar setiap transaksi keuangan di
tampilkan secara utuh dalam satu dokumen anggaran.
d.
Asas
Spesialitas, yaitu asas yang mengaharuskan agar kredit anggaran yang disediakan
terperinci secara jelas peruntukannya.
e.
Asas
Akuntailitas, yaitu asas yang mewajibkan pertanggungjawaban dalam pengolahan
keuangan.
f.
Asas
Propesionalitas, yaitu asas yag mewajibkan anggaran dikelola secara
propesional.
g.
Asas
Proporsionalitas, yaitu asas yang mewajibkan anggaran dikelola secara
proporsional.
h.
Asas
Transparansi, yaitu asas yang mewajibkan adanya keterbukaan.
i.
Asas
Pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri, anggaran
harus dapat di audit oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
j.
Asas
Partisipatif, yaitu melibatkan masyarakat dalam pengelolaan dan pelaksanaan
pembangan desa.
5.
Pedoman
Penyusunan Dan Pelaksanaan Anggaran
Dengan
diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun1999 Tentang Pemerintah Daerah dan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Pertimbangan Keuanan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah mulai tanggal 1 Januari 2001, Mentri Dalam Negeri
dan Otonomi Daerah memberikan petunjuk yang dapat dipedomani dalam penyusunan
dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan belanja Daerah (APBD).[68]
Anggaran Desa pada hakikatnya merupakan salah satu alat untuk
meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan
Otonomi Daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab.[69]
Atas dasar acuan tersebut penyusunan APBDes hendaknya mengacu pada
norma dan perinsip anggaran sebagai berikut:[70]
a.
Trasnparansi
dan Akuntabilitas
Transparansi tentang anggaran daerah merupakan salah satu
persyaatan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggungjawab.[71]
b.
Disiplin
Anggaran
Pendapaan yang drencanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional
yang dapat dicapai pada setiap poin merupakan batas tertinggi pengeluaran
belanja.
c.
Keadilan
Anggaran
Pembiayaan pemerintah daerah dilakukan melalui mekanisme pajak dan
retribusi yang di pikul oleh segenap lapisan masyarakat. Untuk itu pemerintah wajib
mengalokasikan penggunaannya secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh
kelompok tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan.
d.
Efesiensi Dan
Efektifitas Anggaran
Dana yang
tersedia harus di manfaatkan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan
pelayanaan dan kesejahteraan masyarakat.
[26]
Abdullah Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Denagan Pemlihan Kepala Daerah
secara Langsung (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 5.
[27]
Bambang Trisantono Soemantri, Pedoman Penyelenggara Pemerintahan Desa
(Bandung: Fokus Media, 2011), hlm. 13.
[28]
Endara Taliziduhu, Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa (Jakarta: Bumu
Aksara, 1991), hlm.35.
[29] Op.Cit.
Bambang Trisantono Soemantri, hlm.14.
[30] Op.Cit.
Endara Taliziduhu, hlm.35.
[31]
Yusran Lapananda, Hukum Pengelolah Keuangan Desa, (Jakarta: Wahana
Semesta Intermedia, 2016), hlm. 71.
[32]
Pudjiwati Sajokyo, Sosiologi Pedesaan (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1996), hlm.56.
[33] Haw
Widjaja, Pemerintah Desa dan Administrasi Desa (Jakarta: Rajawali pers,
2002), hlm.14.
[34] Ibid.
Haw Widjaja. Pemerintah Desa dan Administrasi Desa, hlm. 14-16.
[35]
Wahyu Sulistiani, Pengawasan Masyarakat, (Jakarta: Pilar Media, 2017),
hlm. 60-67.
[36]Sadu
Wasistiono dan Irawan Tohir, Prospek
Pengembangan Desa, (Bandung: Fokus Media, 2007), hlm. 36.
[37]Sujamto,
Aspek Aspek Pengawasan Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1989),
hlm.159.
[38] http://repository.unpas.ac.id/31671/. Di
Akses 30 Oktober 2017 06:34. Dikutip Jum’at 26 Juli 2019. Pukul 19:54 WIB.
[39] M.
Manullang. Op.Cit., hlm 173.
[40]Sukarno
K. Dasar-Dasar Manajemen, (Jakarta: Miswar,1992), hlm. 115.
[41]
Bagian Pemerintahan Desa Sekretariat Daerah Kabupaten Brebes Tahun 2018 Pedoman
pelaksanaan Alokasi Dana Desa (ADD) Tahun Anggaran 2018, hlm. 27.
[42]
Masyarakat berhak mendapatkan informasi tentang pelaksanaankegiatan yang
menggunakan dana desa. Badan Permuyawaratan Desa harus menjamin hak masyarakat
dalam mengakses informasi pengggunaan dana desa, terutama penggunaan dana desa
untuk kegiatan pelayanan publik dan pelayanan sosial dasar di Desa.
[43]
Didin Abdullah Ghozali, Kader Desa, (Jakrta: Kementrian Des Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. 2015), hlm. 10
[44]Mochammad
Zain Mustakim, Kepemimpinan Desa, (Jakarta: Kementrian Desa Pembangunan
Daerah Tertinggal, Dan Trsansmigrasi Republik Indonesia, 2015), hlm.27.
[45] Ibid.
M. Silahudin, Kewenangan Desa Dan Regulasi Desa. hlm.27.
[47]Talizdhu
Ndara. Dimensi-Dimensi pemerintahan Desa (Jakarta: PT Bumi Akara, 1991),
hlm. 4.
[48]Landis,
Pengantar Sosiologi Desa dan pertanian, (Jakarta: Raja Grafindo, 2012),
hlm. 12-13.
[49]Otonomi
daerah yang diterapkan membantu pemerintah Desa dalam melakukan improvisasi
kinerja dan program-program yang telah di tentukan bisa dijalankan dengan
maksimal. Otonomi tersebut memberi peranan seutuhnya pada pemerintah Desa dalam
mengatur rumah tangga sendiri dengan tetap berpegang teguh pada kearifan lokal
yang dimiliki masyarakat tersebut, karena masyarakat adalah unsur yang paling
mendasar terciptanya Desa yang merupakan pemerintahan yang paling terkecil.
[50] Op.Cit.
Mochammad Zain Mustakim, Kepemimpinan Desa, hlm.11-14.
[51] Ibid.
Mochammad Zain Mustakim, Kepemimpinan Desa, hlm.15.
[52]
Sutoro Eko. Kepemimpinan Desa. (Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2015), hlm. 47.
[53] Opc.Cit.
Mochammad Zain Mustakim, Kepemimpinan Desa, Kementrian Desa Pembangunan
Daerah Tertinggal, Dan Trsansmigrasi Republik Indonesia, (Jakarta: 2015),
hlm.16-20.
[54]Naeni
Amanullah, Demokratisasi Desa, (Jakarta: Kementrian Desa Pembangunan
Daerah Tertinggal, Dan Trsansmigrasi Republik Indonesia,2015), hlm.36.
[56]Yusran
Lapananda, Hukum Pengelolahan Kuangan Desa (Jakarta: Wahana Semesta
Intermedia, 2016), hlm. 83. Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
2016 Tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja
Negara. Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa dana desa digunakan
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan,
pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Namun, dana desa
diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Dana
desa merupakan salah satu sumber pendapatan desa dalam APBDes sehingga dana
desa merupakan bagian dari pengelolaan keuangan desa.
[57]Hernol
Ferry Makawimbang, Kompilasi Peraturan Perundang-undangan tentang Desa
sistem Pengelolahan dana desa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hlm.8.
[58]Bagian
Pemerintahan Desa Sekretariat Daerah Kabupaten Brebes Tahun 2018, Pedoman
pelaksanaan Alokasi Dana Desa (ADD) Tahun Anggaran 2018, hlm. 4.
[59] Ibid.
Bagian Pemerintahan Desa Sekretariat Daerah Kabupaten Brebes Tahun 2018 Pedoman
pelaksanaan Alokasi Dana Desa (ADD) Tahun Anggaran 2018. Hlm 27.
[60]
Keuangan Desa termasuk didalamnya Dana Desa dikelola oleh Tim Pelaksana Teknis
Pengelola Keuangan Desa yaitu perangkat Desa yang terdiri dari Kepala Desa,
Sekretaris Desa, Kepala Urusan, dan Bendahara Desa, yang masing-masing memiliki
kewenangan, tugas dan tanggungjawab yang berbeda, sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2015 tentang Pengelolaan
Keuangan Desa. Hal ini dilakukan guna menjamin pengendalian keuangan Desa
tidak berada dalam satu tangan tetapi berada dalam satu tim, dengan sistem
kelola yang diharapkan dapat menjamin dari terjadinya penyimpangan.
[62]Sutoro
Eko. Regulasi Baru, Desa Baru. (Jakarta: Kementerian Desa Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2015), hlm.110.
[63] Op.cit.
Yusran Lapananda, hlm. 84.
[64] Ibid.
Yusran Lapananda, hlm. 85.
[65] Ibid.Yusran
Lapananda, hlm. 88.
[66]Permohonan
Pencairan Tahap II Tahun Anggaran 2018 Nomor 141.2/4/VIII/2018 Desa Dukuhmaja.
[67]Hendra
Karianga, Carut Marut Pengelolaan Keuangan daerah Di Era Otonomi Daerah
Persepektif Hukum dan politik, (Depok: Kencana, 2017), hlm. 33-35.
[68]Haw
Widjaja, Otonomi daerah Dan daerah Otonom (Jakarta: Rajawali pers,
2000), hlm.67.
[69]APBD
harus bena-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi
dan keanekaragaman daerah.
[70] Ibid.
Haw widjaja. Otonomi Daerah Dan Daerah Otonom, hlm. 68. Op.cit.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Bentuk Pelaksanaan dan
Konsultasi Pengelolaan Keuangan Desa, hlm. 35.
[71]
Mengingat anggaran daerah merupakan salah satu sarana evaluasi pencapaian
kinerja dan tanggung jawab pemerintah mensejahterakan masyarakat, maka APBD
harus memberikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran dan hasil dan
manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang di
anggarkan selain itu setiap dana pertanggung jawabanya haarus dapat di
pertanggung jawabkan.
Comments
Post a Comment