BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAH DESA DAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA


BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAH DESA DAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA
A.           Konsep Badan Permusyawaratan Desa
Peran Badan Permusyawaratan Desa dalam pengawasan dana desa dapat dilihat bagaimana pembangunan masyarakat desa itu sendiri. Berhasilnya Badan Permusyawaratan Desa akan dipengaruhi oleh sikap masyarakat terhadapnya. Apabila sikap ini menguntungkan maka nampaknya masyarakat itu akan bertindak sesuai dengan saran badan tersebut, sekurang-kurangnya mendengarkannya. Badan Permusyawaratan Desa harus lebih banyak memperhitungkan, tidak hanya memperhitungkan kebutuhan masyarakat, adat-istiadat, norma-norma dan kepercayaan saja. Badan Permusyawaratan Desa harus mengenal seluruh aspek kebudayaan masyarakat tradisional, yang dalam beberapa hal bertautan antara satu dengan yang lain, dan perubahan dalam satu aspek kebudayaan itu akan mempengaruhi aspek-aspek lainnya dan menimbulkan masalah baru.
1.             Pengertian Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Badan Permusyawaratan Desa adalah sebagai perwujudan demokrasi dalam penyelengara pemerintah desa menampung, menyalurkan, aspirasi masyarakat badan permusyawaratan yang terdiri atas pemuka-pemuka masyarakat yang ada di desa berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, serta melakukan pengawasan langsung terhadap penyelenggaraan pemerintah desa.
Berdasarkan ketentuan diatas kedudukan, fungsi, wewenag dan tugas Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sangatlah penting. Sebagai satu-satunya lembaga perwakilan yang berfungsi sebagai saluran aspirasi utama warga desa tidak hanya berfungsi sebagai badan legislasi, melainkan sebagai arsitek perubahan dan pembangunan desa.[26]
2.             Kedudukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Badan Permusyawaratan Desa berkedudukan sabagai mitra kepala desa dan penyelenggara pemerintah desa
a.              Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah wakil dari penduduk desa, berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat
b.             Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terdiri ketua rukun warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokohatau pemuka mayarakat lainnya
c.              Masa jabatan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah 6 (enam) tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
d.             Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berjumlah ganjil, minimal 5 (lima) orang maksimal 11 (sebelas) orang berdasarkan: Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kemampuan keuangan desa
e.              Peresmian anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) ditetapkan dengan Keputusan Bupati/walikota.
f.               Sebelum memangku jabatannya, anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama di hadapan masyarakat dan dipandu oleh Bupati/Walikota
g.             Pimpinan BPD terdiri dari:
1)            Ketua (1 orang)
2)            Wakil Ketua (1 orang)
3)            Sekretaris (1 orang)[27]
3.             Fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Pasal 31 Peraturan Mentri dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa menjelaskan bahwa Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, di samping itu Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai fungsi mengawasi pelaksanaan peraturan desa dalam rangka pemantapan pelaksanaan kinerja pemerintah desa. Dalam rangka melaksanakan funginya, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai wewenag:
a.              Membahas rencana peraturan desa bersama kepala desa;
b.             Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksana peraturan desa dan peraturan kepala desa;
c.              Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa;
d.             Membentuk panitia pemilihan kepala desa;
e.              Menggali, menampung, menghimpu, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat dan
f.                Menyusun tata tertib Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
4.             Hak dan Kewajiban Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Pasal 51 Peraturan Mentri dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa bahwa Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai Hak:
a.              Meminta keterangan kepada pemerintah desa;
b.             Menyatakan pendapat.
Anggota BPD mempunyai hak
a.              Mengajukan rancangan peraturan desa;
b.             Mengajukan pertanyaan
c.              Menyampaikan usul dan pendapat
d.             Memilih dan dipilih dan
e.              Meperoleh tunjangan
Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai kewajiban yang harus dilakukan:[28]
a.              Mengamalka pancasila, melaksanakan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-undangan;
b.             Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelengaraan pemerintah desa;
c.              Mempertahankan dan memelihara hukum nasional serta keutuan Negara Kesatuan Republik Indonesia
d.             Menyerap, menampung menghimpunan menindaklanjuti aspirasi masyarakat
e.              Memproses pemilihan kepala desa (membentuk Panitia Pemilihan Kepala Desa, menetapkan calon Kepala Desa yang berhak dipilih, menetapkan calon Kepala Desa terpilih dan mengusulkan calon Kepala Desa terpilih kepada Bupati/Walikota untuk disahkan menjadi Kepala Desa terpilih)
f.               Mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan;
g.             Menghormati nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat setempat; dan
h.             Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakat.
5.             Larangan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Menurut Pasal 26 Peraturan Mentri dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa. Pimpinan dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dilarang
a.              Sebagai pelaksana proyek desa;
b.             Merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat lain;
c.              Melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan menerimah uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
d.             Menyalagukan wewenang; dan
e.              Melanggar sumpah janji jabatan[29]
6.             Rapat Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Rapat Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dipimpin oleh Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), rapat dinyatakan sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya dihadiri satu per dua dari jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan keputusan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak.
Dalam hal tertentu rapat Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang akan membahas dan memutuskan kebijakan yang bersifat prinsip dan strategi bagi kepentingan masyarakat desa, seperti usul pemberhentian kepala desa dan melakukan pinjaman, Rapat Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dinytatakan sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya dua per tiga dari jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan keputusan ditetapkan dengan persetujuan sekurang-kurangnya satu per dua ditambah satu dari jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang hadir.[30]
Hasil rapat Badan Permusyawaratan Desa (BPD) ditetapkan dengan keputuan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan dilengkapi oleh notulen rapat yang dibuat oleh Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
7.             Tugas BPD
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa mengeser posisi BPD sebagai unsur penyelenggara desa menjadi lembaga desa, fungsi dan kedudukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) semakin jelas, yaitu lembaga legislatif desa yang mengusung mandat untuk menyalurkan aspirasi, merencakan anggaran dan mengawasi pemerintah desa.[31]
Badan Permusyawaratan Desa bertugas untuk menyelenggarakan musyawarah desa dengan peserta terdiri kepala desa, perangkat desa kelompok, dan tokoh masyarakat. Namun secara yuridis tugas Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mengacu kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagai berikut:
a.              Membentuk panitia pemelihan kepala desa, dalam melaksanakan pemilihan kepala desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berhak membentuk panitia pemilihan kepala desa sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten;
b.             Mengusulkan dan menetapkan calon terpilih kepala desa. Dalam hal ini masyarakat mengetahui terpilih yang akan mereka pilih dalam waktu pemilihan, diharapkan masyarakat mengenal watak, karakter serta latar belakang pendidikan dan sosial lainnya secarah utuh;
c.              Bilamana kinerja kepala desa telah menyimpang dari ketentuan yang telah digariskan atau telah habis masa jabatanya, maka kepala desa tersebut oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) diusulkan untuk diberhentikan;
d.             Kepala desa mengajukan rencana peraturan desa kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan bersama-sama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk membahas dalam rapat paripurna, sesuai dengan tata tertib yang dimiliki Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan tugas dan wewenangnya ikut serta untuk menyetujui atau mengesahkan, dan kepala desa, dan keputusan desa setelah ada persetujuan dari kedua belah pihak;
e.              Kepala desa mengajukan Rancangan APBdes kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk disahkan menjadi APBDesa dalam kurun waktu satu tahun anggaran. Karena dengan anggaran, pemerintah desa dapat berjalan unutk membangun sarana dan prasarana umum;
f.               Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menjalankan pengawasan terhadap jalanya roda pemerintahan desa yang dilaksanakan oleh kepala desa;
g.             Pertimbangan dan saran-saran dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terdapat pemerintahan desa dan masyarakat, selalu dijaga agar segala kepercayaan serta dukungan tetap ada, sehingga kepala desa selalu dan sungguh-sungguh untuk melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab;
h.             Segala aspirasi masyarakat khususnya dalam bidang pembangunan, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) diharapkan dengan rasa loyalitas mengakui, menampung dan mengayomi masyarakat dengan rasa penuh tanggung jawab dan kerjasama yang baik.
8.             Hubungan Kerjasama BPD Dengan Kepala Desa
Hubungan kepala desa desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) itu dalam menjalankan program desa Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan kepala desa saling bekerja sama dengan mengadakan rapat atau musyawarah dalam membuat program desa yaitu tentang pembangunan desa yang akan dilaksanakan agar program desa berjalan dengan baik. Meeskipn kadang ada beda pendapat tetapi masi bisa diselesaikan secara musyawarah mencapai mufakat.
Untuk membangun pemerintahan yang demokratis antara kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), keduanya harus ada kerja sama atau harus bersinergi dengan baik, dan harus mempunyai pikiran yang sejalan antara keduanya menciptakan suasana yang nyaman dan aman dalam penyelenggaraan pemerintah desa kuncinya adalah keharmonisan, sinergitas Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan kepala desa, sehingga nantinya kebijakan maupun produk hukum pemerintahan yang dihasilkan dapat dipertanggung jawabkan bersama untuk mewujudkan kemajuan dan kualitas warga desa.
Jika dilihat dari kedudukannya, kepala desa selaku pemerintah dan BPD memiliki kedudukan yang sama, yakni sama-sama merupakan kelembangaan desa. Undang-undang desa tidak membagi atau memisahkan kedudukan keduanya pada suatu hirarki. Ini artinya, keduanya memang memiliki kedudukan yang sama, namun dengan fungsi yang berbeda.
Bila kepala desa berfungsi sebagai pemimpin masyarakat dan kepanjangan tangan negara yang dekat dengan masyarakat, maka Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berfungsi untuk menyiapkan kebijakan pemerintahan desa bersama kepala desa. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) harus mempunyai visi dan misi yang sama dengan kepala desa sehingga Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tidak dapat menjatuhkan kepala desa yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat desa.[32]
Adapun hubungan antara kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD):
a.              Kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memprakarsai perubahan status desa menjadi kelurahan melalui musyawarah desa (Pasal 27 huruf c Undang-undang Desa);
b.             Kepala desa memberikan laporan penyelenggaraan pemrintahan secara tertulis kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) (Pasal 27 huruf c Undang-undang Desa);
c.              Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memberitahukan kepada kepala desa mengenai akan berakhirnya masa jabatan kepala desa secara tertulis 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir (Pasal 32 ayat 1 Undang-undang Desa);
d.             Kepala desa mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan memusyawarah-kannya bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) (Pasal 73 ayat 2 Undang-undang);
e.              Kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) membahas bersama pengelolahan kekayaan milik desa (Pasal 77 ayat 3 Undang-undang Desa).
9.             Mekanisme Pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
a.              Persiapan
1)            Sosialisasi pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) kepada masyarakat (Penetapan jumlah Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di suatu desa ditetapkan dengan Peraturan Desa)
2)            Apabilah di desa bersangkutan belum mempunyai Peraturan desa tentang Penetapan Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), maka pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) wajib membuat peraturan desa dimaksud terlebih dahulu sebelum membentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) baru di desa bersangkutan, dalam sekurang kurangnya memuat:
a)             Penetapan jumlah Badan Permusyawaratan Desa dengan kententuan jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tiap desa ditetapkan dengan jumlah ganjil paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 11 (sebelas) orang, dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk dan kemampuan keuangan desa;
b)             Kedudukan, funsi, wewenag, hak dan kewajiban
c)             Mekanisme pembentukan Badan Permusyawaratan Desa
d)             Pemberhentian
e)             Penggantian
3)            Kepala desa mengadakan rapat guna membentuk panitia Musyawarah Pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang dihadiri oleh:
a)             Perangkat desa
b)             Tokoh-tokoh masyarakat dari masing-masing RT/RW
c)             Kepala desa membentuk panitia Musyawarah Pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan dengan keputusan kepala desa yang terdiri dari ketua, Wakil ketua, Sekretaris, Bendahara dan Anggota.
d)             Jumlah anggota panitia Musyawarah disesuaikan dengan kebutuhan.
e)             Panitian Musyawarah mempunyai tugas;
1.             Membuat penetapan kuota jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berdasarkan keterwakilan wilayah yang berdasarkan musyawarah mufakat;
2.             Melakukan penelitian administrasi calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD);
3.             Menetapkan calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terpilih dan mengusulkan pelantikan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) kepada Bupati melalui Camat.
f)              Kuota anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tingkat desa ditetapkan oleh panitia
g)             Panitia Musyawrah mengadakan rapat guna: [33]
1.             Menyusun jadwal waktu pelaksanaan pendaftaran dan musyawarah pembentukan dan penetapan Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) pada tiap dusun
2.             Membuat penetapan kuota jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang berdasarkan musyawara mufakat, selanjutnya ditetapkan dengan keputusan panitia Musyawarah.
b.             Penjaringan
1)            Panitia Musyawarah membuka pendaftaran Calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
2)            Calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dapat berasal dari ketua rukun warga, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainya, serta tokoh pemuda setempat dengan syarat-syarat:
a)              Bertakwa kepada tuhan yang Maha Esa;
b)              Setia kepada pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
c)              Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Lanjut Tingkat Pertama atau sederjat.
d)              Berusia paling rendah 25 (dua puluh limah) tahun dan paling tinggi 56 (lima puluh enam) pada saat ditetapkan;
e)              Bersedia dicalonkan menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD);
3)             Belum pernah menjabat sebagai anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) selama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan baik dalam sebutan badan perwakilan desa maupun badan perwakilan desa;
4)             Penduduk desa setempat yang dibuktikan dengan pemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) desa bersangkutan atau memiliki tanda bukti yang sah sebagai penduduk desa bersangkutan;
5)             Dalam hal keterwakilan dusun, calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan Penduduk dusun yang bersangkutan;
6)             Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman paling singkat lima tahun.
7)             Dalam tahap penjaringan, tidak dibatasi jumlah bakal calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
8)             Dalam tahap penjarinagan tersebut, Calon Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menandatangi blangko surat pernyataan bersedia dicalonkan menjadi Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang disiapkan oleh panitia Musyawarah.
9)             Melakukan penelitian administrasi calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
10)             Penetapan Calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
11)             Panitia Musyawarah melaksanakan musyawarah pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di masing-masing dusun dengan menhadirkan:
a)             Kepala dusun
b)             Ketua RW
c)             5 orang utusan dari masing-masing RT yang terdiri dari ketua RT, organisasi profesi, tokoh masyarakat, tokoh agama dari masing- masing wilayah RT/RW di dusun yang bersangkutan
d)             Calon Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dari dusun bersangkutan
12)             Musyawarah tingkat dusun dilaksanakan untuk memilih dan menetapkan calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terpilih yang akan mewakili wilayah dusun sesuai denagn jumla kuota dusun yang bersangkutan.
13)             Pembentukan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dilaksanakan dengan cara musyawarah mufakat.
14)             Apabilah tidak terjadi kemufakatan dalam musyawarah maka pembentukan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dilaksanakan dengan cara pemungutan suara voting oleh peserta rapat musyawarah.
15)             Pelaksanaan pemungutan suara voting, diatur sebagai berikut;
a)             Masing-masing peserta musyawarah yang hadir sesuai daftar undangan yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada ayat 2, memiliki satu hak suara.
b)             Pemungutan suara dilakuka secara terbuka
16)             Hasil musyawarah dusun disusun berdasarkan peringakatan perolehan suara, calon anggota yang memperoleh peringkat suara terbanyak sesuai dengan quota diusulkan menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), sedangkan peringkat berikutnya menjadi daftar tunggu penggatian antar waktu. Yang selanjutnya dituangkan dalam Berita Acara Rapat Musyawarah Pencalonan Anggota BPD Tingkat Dusun yang ditandatangi oleh ketua panitia musyawarah atau anggota Panitia Musyawarah yang bertugas didusun bersangkutan, kepala dusun, dan calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
17)             Berita Acara Rapat Musyawarah tersebut, memuat antara lain:
a)             Waktu dan tempat penyelengaraan rapat musyawarah;
b)             Jumlah peserta dan daftar hadir
c)             Jumlah dan identitas calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terpilih yang akan diusulkan ke tingkat desa
d)             Hasil peringkat perolehan suarah calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD).[34]
c.              Penetapan, Pengesahan dan Pelantikan
1)            Paling lambat dua hari kalender setelah seluruh dusun melaksanakan musyawarah pembentukan Badan Permusyawaratan Desa ketua panitia musyawarah melaporkan hasil musyawarah pembentukan Badan Permusyawaratan Desa kepada kepala desa disertai dengan kelengkapan persyaratan administrasi.
2)            Kepala desa mengusulkan pengesahan dan penetapan calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terpilih kepada bupati melalui camat
3)            Paling lambat 15 hari kalender sejak diterimanya usulan pengesahan dan penetapan calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terpilih yang dituangkan dalam Keputusan Bupati
4)            Pelantikan calon anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terpilih dilaksanakan oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk oleh Bupati
10.         Dasar Hukum BPD
Peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan teknis pelaksanaan pengawasan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) antara lain:
a.              Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 Tentang Badan permusyawaratan Desa
b.             Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa
c.              Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
d.             Undang-Undang No 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
e.              Peraturan Bupati Brebes Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Keuangan Desa
f.               Peraturan Desa Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Anggaran Pendapatan Desa (APBDes)
g.             Peraturab Bupati Brebes Nomor 004 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pembagian dan Penetapan Rincian Dana Desa Setiap Desa Di Kabpaten Brebes Tahun Anggaran 2018.
B.            Konsep Pengawasan[35]
1.             Pengertian Pengawasan
Pengawasan merupakan salah satu fungsi yang sangat signifikan dalam pencapaian manajemen organisasi dan memanajemen potensi. Baik potensi yang berkaitan dengan produksi maupun sumber daya yang ada. Pengawasan yang merupakan salah satu perencanaan strategis dan perencanaan strategis merupakan puncak dari suatu pemikiran untuk merumuskan sebuah tujuan yang akan dicapai oleh organisasi dan juga merencanakan berbagai sumber daya yang ditetapkan organisasi dan usaha pencapaian tujuan strategis.
Pengawasan yang dapat dilaksanakan oleh lembaga terhadap pemerintahan dapat terlaksana dengan baik apabila terdapat kerja sama di antara kedua belah pihak yang bersangkutan, namun suatu kesalahan yang dilaksanakan oleh pemerintah dirasa wajar dalam suatu kegiatan yang berada di luar rencana awal. Akan tetapi kesalahan yang terjadi dilakukan perbaikan dan tidak menjadikan kesalahan tersebut sebagai alasan.
Pengakuan secara yuridis terhadap kewenangan BPD terhadap pengawasan desa tidak akan banyak artinya apabila tidak didukung dengan pemberian sumber-sumber pembiayaan serta upaya pemberdayaan secara konseptual dan berkesinambungan. Sebab pada dasarya pembiayaan akan mengikuti fungsi fungsi yang dijalankan (money follow function). Sedangkan upaya pemberdayaan masyarakat dan pemerintah Desa perlu dilakukan secara kasus demi kasus berdasarkan karakteristik desa.
Dalam pencapaian tujuan mensejahterakan masyarakat desa, masing-masing unsur pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa dapat menjalankan fungsinya dengan mendapat dukungan dari masyarakat setempat. Oleh karena itu, hubungan yang bersifat kemitraan antara Badan Permusyawaratan Desa dengan pemerintah desa dalam pembangunan desa harus didasari pada filosofi antara lain:
a.              adanya kedudukan yang sejajar diantara yang bermitra;
b.             adanya kepentingan bersama yang ingin dicapai;
c.              adanya prinsip saling menghormati;
d.             adanya niat baik untuk membantu dan saling mengingatkan.[36]
2.             Tujuan Pengawasan
Tujuan dilakukannya pengawasan adalah untuk mengetahui dan memahami kenyataan yang sebenarnya tentang objek pengawasan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak, sebagai bahan untuk melakukan perbaikan diwaktu akan datang. Pada dasarnya pengawasan harus dapat mengukur apa yang harus dicapai, menilai pelaksanaan serta mengadakan tindakan perbaikan dan penyesuaian yang dianggap perlu.
3.             Fungsi Pengawasan
Fungsi pengawasan diperlukan untuk memastikan apakah yang telah direncanakan dan diorganisasikan berjalan sebagaimana mestinya, maka fungsi pengawasan itu juga melakukan proses untuk mengoreksi kegiatan yang sudah berjalan agar dapat tetap tercapai apa yang telah direncanakan.
Dalam kamus Bahasa Indonesia istilah Pengawasan berasal dari kata awas yang artimya memperhatikan baik-baik, dalam arti melihat sesuatu dengan cermat dan seksama, tidak ada lagi kegiatan kecuali memberi laporan berdasarkan kenyataan yang sebenarmya dari apa yang di awasi.[37]

Pengawasan adalah sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh kepastian apakah suatu pelaksanaan pekerjaan atau kegiatan itu dilaksanakan sesuai dengan rencana, aturan-aturan dan tujuan yang telah di tetapkan. Jika memperhatikan lebih jauh, yang menjadi pokok permasalahan dari pengawasan yang dimaksud adalah suatu rencana yang telah di gariskan terlebih dahulu apakah dilaksanakan sesuai dengan rencana semula dan apakah tujuannya sudah tercapai.
Penyelenggaran pengawasan dapat dilakukan berdasarkan jenis-jenis pengawasan yaitu: pengawasan dari segi waktunya pengawasan dari segi sifatnya. Pengawasan di tinjau dari segi waktunya dibagi dalam 2(dua) kategori yaitu sebagai berikut:[38]
a.              pengawasan a-priori atau pengawasan preventif yaitu pengawasn yang dilakuakan oleh aparatur pemerintah yang lebih tinggi terhadap keputusan keputusan dari aparatur aparatur yang lebih rendah. Pengawasan dilakukan sebelum dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan administrasi Negara atau peraturan lainnya dengan cara pengesahan terhadap ketetapan atau peraturan tersebut. Apabila ketetapan atau peraturan tersebut belum di sah kan maka ketetapan atau peraturan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum.
b.             Pengawasan a-pasteriori atau pengawasan represif yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan yang lebih tinggi terhadap keputusan aparatur pemerintah yang lebih rendah. Pengawasan dilakukan setelah dikeluarkannya keputusan atau ketetapan pemerintah atau sudah terjadinya tindakan pemerintah.
Tindakan dalam pengawasan resensif dapat berakibat pencabutan apabila ketetapan pemerintah tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi. Dalam keadaan yang mendesak tindakan dapat dilakukan dengan cara menangguhkan ketetapan yang telah dikeluarkan sebelum dilakukan pencabutan.
M. Manullang mengatakan bahwa tujuan utama diadakannya pengawasan adalah “mengusahakan agar apa yang direncanakan menjadi kenyataan”.[39]
Sedangkan tujuan pengawasan menurut Sukarno adalah sebagai berikut:[40]
a.              Untuk mengetahui apakah sesuatu berjalan sesuai dengan rencana yang digariskan;
b.             Untuk mengetahui apakah segala sesuatu dilaksanakan sesuai dengan intruksi serta asas-asas yang telah di instruksikan
c.              Untuk mengetahui kesulitan-kesulitan, kelemahan-kelemahan dalam bekerja;
d.             Untuk mengetahui segala sesuatu apakah berjalan dengan efesien
e.              Untuk mencari jaln keluar, bila ternyata dijumpai kesulitan-kesulitan, kelemahan-kelemahan atau kegagalan-kegagalan kea rah perbaikan
Pengawasan bukan lah hal yang mudah dilakukan, akan tetapi suatu pekerjaan yang memerlukan kecakapan, ketelitian, kepandaian, pengalaman, bahkan harus disertai wibawa yang tinggi, hal ini mengukur tingkat efektivitas kerja dari para aparatur pemerintah.
4.             Jenis Pengawasan
Dalam suatu organisasi dikenal beberapa jenis pengawasan yang sering dilakukan sebagai mana mestinya. Yaitu sebagai berikut:
a.              Pengawasan dari dalam organisasi (internal control) Pengawasan dari dalam artinya, bahwa pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan dari dalam organisasi, dalam hal ini pengawasan BPD terhadap pelaksanaan tugas BPD yang bertindak atas nama masyarakat di Desa.
b.             Pengawasan luar organisasi (eksternal control) Pengawasan yang dilakukan oleh unit pengawas dari luar organisasi yang bartindak atas nama organisasi.
c.              Pengawasan Preventif Pengawasan yang dilakukan sebelum kegiatan dilaksanakan atau dikerjakan yang bertujuan untuk mencegah kesalahan atau penyimpangan di dalam melakukan kegiatan organisasi. Dalam hal ini misalnya menentukan peraturan-peraturan sesuai dengan prosedur, hubungan dan tata kerja atau menentukan pedoman kerja sesuai dengan peraturan atau kebutuhan yang telah ditentukan.
d.             Pengawasan Reprensif Pengawasan yang dilakukan setelah adanya pelaksanaan pekerjaan dengan cara menilai dan memberikan pelaksanaan pelayanan dan rencana yang telah ditetapkan, kemudian diambil tindakan agar pelaksanaan pekerjaan selanjutnya dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.
e.              Pengawasan Melekat Merupakan serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian yang terus-menerus, dilakukan atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif dan reprensif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f.               Pengawasan fungsional Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga/aparat pengawasan yang dibentuk atau ditunjuk khusus untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara independen terhadap obyek yang diawasi. Pengawasan fungsional tersebut dilakukan oleh lembaga/badan/unit yang mempunyai tugas dan fungsis melakukan pengawasan fungsional melalui audit, investigasi, dan penilaian untuk menjamin agar penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan rencana dan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
g.             Pengawasan masyarakat merupakan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat yang dilakukan antara lain dalam bentuk pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi non pemerintah, serta pengaduan dan pemberian informasi baik secara langsung maupun melalui media masa atau opini publik mengenai pelayanan terhadap masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam hal pengawasan yang dilaksanakan oleh Badan Permusyawaratan Desa, menyangkut dengan pertanggungjawaban Kepala Desa kepada pemerintahan atasannya melalui BPD, maka diperlukan format pertanggungjawaban yang dapat dinilai oleh BPD. Agar supaya tidak terjadi polemik dan menimbulkan persoalan baru antara Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa tentang pertanggungjawaban tersebut, maka materinya perlu dinyatakan terperinci dan dimuat dalam peraturan daerah Kabupaten.
5.             Konsep Pengawasan dalam Pemerintahan Desa
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah badan perwakilan yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat didesa yang mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Pemerintahan Desa seperti pengwasan implementasi Peratuan Desa, anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDesa) serta meminta pertanyaan kepada Kepala Desa dalam melaksanakan fungsinya sebagai Kepala Desa.
6.             Prosedur Pengawasan
Berdasarkan Pasal 52 Peraturan Mentri dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa.Prosedur pengawasan Badan Permusyawaratan Desa kepada Pemerintahan Desa adalah sebagai berikut:
a.              Meminta Pertanggungjawaban Kepala Desa dalam melaksanakan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
b.             Mengajukan pertanyaan, maksudnya adalah pertanyaan yang diajukan anggota BPD sebagai Badan Legislatif desa terhadap pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
c.              Meminta keterangan kepada Kepala Desa terhadap proses penyeleggaraan Pemerintahan Desa.
d.             Meminta laporan pertanggungjawaban kepala desa 1 (satu) kali dalam satu tahun.
7.             Pengawasan Dana Desa

Untuk skala Desa, Undang-Undang Desa menegaskan hak Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa, termasuk didalamnya adalah aliran penggunaan Dana Desa. Pengawasan dana desa dilakukan dalam dalam konteks pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa, yang wajib berakuntabilitas desa sebagai sebuah penyelenggaraan pemerintahan desa termasuk keuangan desa.[41]

Musyawarah Desa yang diselenggarakan BPD menjadi forum resmi untuk melakukan pengawasan berbasis kepentingan Desa. Dalam prosedur pengawasan dana desa terbagi menjadi 3 (Tiga) tahap yakni Tahap pra penyaluran, tahap penyaluran dan penggunaan, dan tahap pasca penyaluran.
Tahap pra penyaluran terdapat 4 (Empat) akpek penting yakni:
a.              Perangkat Pengelolaan Dana Desa
b.             Regulasi dan dokumen terkait Dana Desa.
c.              Kesesuaian perhitungan Dana Desa
d.             Kesesuaian proses penyusunan perencanaan Dana Desa
Dalam tahap penyaluran dan penggunaan terdapat 3 aspek penting yakni:
a.              Aspek Keuangan Dalam Penggunaan Dana Desa.
1)            Ketepatan waktu penyaluran Dana Desa dari Rekening Kas Umum Daerah ke Rekening Kas Desa
2)            Kesesuaian pemanfaatan Dana Desa dengan ketentuan perundang-undangan.
b.             Aspek Pengadaan Barang/Jasa dalam Penggunaan Dana Desa
c.              Aspek Kehandalan
Dalam tahap pasca penyaluran terdapat 2 aspek penting yakni:
a.              Penatausahaan, Pelaporan dan Pertanggung jawaban Penggunaan Dana Desa
b.             Penilaian Manfaat (outcome) Dana Desa bagi Kesejahteraan Masyarakat
Secara umum masyarakat juga mempunyai hak untuk melakukan pengawasan secara partisipatif terhadap penggunaan dana desa, antara lain melakukan pengawasan secara partisipatif terhadap pelaksanaan pembangunan Desa dengan cara membandingkan dengan isi Peraturan Desa yang telah diterbitkan.[42]

C.           Konsep Pendampingan
Pendamping desa adalah seseorang yang berupaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa.
Terbitnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut Undang-undang Desa), Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disingkat dengan PP 43/2015) dan Permendesa PDTT No. 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa (selanjutnya disebut Permendesa 3/2015), pola pendampingan Desa mengalami perubahan paradigmatis. Dalam praksis kebijakan pemberdayaan masyarakat sebelum ditetapkannya Undan-undang Desa, kader-kader penggerak di Desa cenderung dibentuk melalui penugasan dari supradesa, menjadi bagian dari prasyarat proyek, serta bekerja didasarkan atas skema “petunjuk teknis” yang rinci. Desa baru paska Undang-undang Desa dicirikan oleh adanya perubahan pola pendampingan desa yaitu dari semula berkarakter “kontrol dan mobilisasi-partisipasi”, berubah menjadi fasilitasi gerapan pembaharuan desa sebagai komunitas yang mandiri. Berlandaskan asas regoknisi dan subsidiaritas, pendampingan desa mengutamakan kesadaran politik warga desa untuk terlibat aktif dalam urusan di desanya secara sukarela sehingga arah gerak kehidupan di desa merupakan akualitas kepentingan bersama yang dirumuskan secara musyawarah mufakat dalam semangat gotong royong.[43]

Pendampingan Desa dilaksanakan oleh pendamping yang terdiri atas:
1.             Tenaga pendamping professional (Badan Permusyawaratan Desa serta pendamping Desa berkedudukan di kecamatan, pendamping Teknis berkedudukan di Kabupaten, dan Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat berkedudukan di Pusat dan Provinsi).
2.             Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (Kelompok Tani, Kelompok Nelayan, Kelompok Pengerajin, Kelompok Perempuan, Kelompok pemerhati dan Perlindungan Anak, Kelompok Masyarakat Miskin dan Kelompok-kelompok masyarakat lain sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat desa.
3.             Pihak ketiga (Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi, Organisasi Kemasyarakatan, Perusahaan).
Menurut pasal 24 Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa, Kompetensi pendamping desa sekurang-kurangnya memenuhi unsur kualifikasi antara lain:
1.             Memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam pemberdayaan masyarakat;
2.             Memiliki pengalaman dalam pengorganisasian masyarakat Desa;
3.             Mampu melakukan pendampingan usaha ekonomi masyarakat Desa;
4.             Mampu melakukan teknik fasilitasi kelompok-kelompok masyarakat Desa dalam musyawarah Desa; dan/atau
5.             Memiliki kepekaan terhadap kebiasaan, adat istiadat dan nilai-nilai budaya masyarakat Desa.
Kompetensi pendamping teknis memenuhi unsur kualifikasi sebagai berikut:
1.             Memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam mengorganisasi pelaksanaan program dan kegiatan sektoral;
2.             Memiliki pengalaman dalam pemberdayaan masyarakat dan pengorganisasian masyarakat;
3.             Pengalaman dalam melakukan fasilitasi kerja sama antarlembaga kemasyarakatan; dan/atau
4.             Mampu melakukan analisis kebijakan terhadap implementasi program di wilayahnya.
Kompetensi Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat sekurang-kurangnya memenuhi unsur kualifikasi antara lain:
1.             Memiliki pengalaman dalam pengendalian dan manajemen program pemberdayaan masyarakat;
2.             Peningkatan kapasitas dan pelatihan pemberdayaan masyarakat; dan
3.             Analisis kebijakan pemberdayaan masyarakat.
Pendampingan yang lebih kokoh dan berkelanjutan jika dilakukan dari dalam secara emansipatif oleh aktor-aktor lokal. Pendampingan secara fasilitatif dibutuhkan untuk katalisasi dan akselerasi. Namun proses ini harus berbatas, tidak boleh berlangsung berkelanjutan bertahun-tahun, sebab akan menimbulkan ketergantungan yang tidak produktif. Selama proses pendampingan, pendekatan fasilitatif itu harus mampu menumbuhkan kader-kader lokal yang piawai tentang ihwal Desa, dan mereka lah yang akan melanjutkan pendampingan secara emansipatoris.[44]

Pendampingan melakukan intervensi secara utuh terhadap sistem Desa sebagai bagian dari membangun village driven development. Beragam aktor Desa serta isu-isu pemerintahan dan pembangunan Desa bukanlah segmentasi yang berdiri sendiri, tetapi semuanya terikat dan terkonsolidasi dalam sistem Desa.
Sistem Desa yang dimaksud adalah kewenangan Desa, tata pemerintahan Desa, serta perencanaan dan penganggaran dana desa yang semuanya mengarah pada pembangunan Desa untuk kesejahteraan warga.
Pendampingan Badan Permusyawaratan Desa dalam Tahapan Pembuatan Peraturan Desa[45] yang selanjutnya untkuk menjadikan kewenangan-kewenangan desa menjadi regulasi maka perlu dilalui tahapan-tahapn sebagai sebauh alur. Tahapan-tahapn tersebut sebagaimana yang dibeberkan secara rinci dalam Permendagri Nomor 111 Tahun. 2014 tentang Pedoman Tehnis Peraturan Desa. Adapun tahapan pembuatan Peraturan Desa meliputi:
a.              Perencanaan
Rancangan Peraturan Bersama Kepala Desa ditetapkan bersama oleh dua Kepala Desa atau lebih setelah mendapatkan rekomendasi dari musyawarah desa.
b.             Penyusunan
Rancangan Peraturan Bersama Kepala Desa dilakukan oleh Kepala Desa pemrakarsa. Dan rancangan peraturan yang telah disusun tersebut terlebih dahulu wajib dikonsultasikan kepada masyarakat desa masing-masing dan camat untuk mendapatkan masukan.
c.              Pembahasan, Penetapan dan Pengundangan
Pembahasan rancangan Peraturan dilakukan oleh dua Kepala Desa atau lebih untuk ditetapkan dan diundangkan dalam Berita Desa.
d.             Penyebarluasan
Sosialisasi Peraturan Bersama Kepala Desa kepada masyarakat Desa.
Fokus pendamping desa adalah memperkuat proses kaderisasi bagi Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), dengan tidak tertutup peluang untuk melakukan kaderisasi terhadap komponen masyarakat lainnya. Legalitas Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa tertuang dalam ketentuan dalam Pasal 4 Peraturan Mentri desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor. 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa. Pasal tersebut menetapkan bahwa pendampingan Desa dilaksanakan oleh pendamping yang terdiri atas: tenaga pendamping professional, Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD); dan/atau, pihak ketiga. Dengan demikian pendamping desa yang dipilih dari warga desa setempat, untuk bekerja mendampingi beragam kegiatan di desanya secara mandiri.[46]

D.           Pengertian Dan Kewenangan Desa
a.              Pengertian Desa
Berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Desa adalah suatu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada diwilayah Kabupaten.
Berdasarkan Peraturan Pemerintahan Nomor 72 Tahun 2005, desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal usul desa dan kondisi sosial budaya Masyarakat setempat. Desa dianggap sebagai sumber nilai luhur yang memiliki karakteristik seperti gotong royong, musyawarah mufakat dan kekeluargaan sehingga menimbulkan berbagai semboyan.
Desa menurut Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang
Desa mengartikan bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal
usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara etimologi kata Desa berasal dari bahasa Sansekerta,
deca yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dari
perspektif geografis, Desa atau village diartikan sebagai “a groups of
hauses or shops in a country area, smaller than a town”.
Desa adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk
mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hak asal-usul dan adat
istiadat yang diakui dalam pemerintahan nasional dan berada di daerah
Kabupaten.
Desa adalah wilayah yang saling mengenal hidup bergotongroyong, adat istiadat yang sama, mempunyai tata cara sendiri dalam mengatur kehidupan kemasyarakatan. Di samping itu, umumnya wilayah desa terdiri atas daerah pertanian, sehingga sebagian besar mata pencariannya adalah seorang petani. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah disebut bahwa desa ialah suatu wilayah yang ditempatih sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tanggahnya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[47]
Menurut Landis Desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya kurang dari 2500 orang, Untuk tujuan analisa sosial-psikologi, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan yang akrab dan serba informal diantara sesama warganya. Sedangkan untuk tujuan analisa ekonomi, Desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya tergantung kepada pertanian.[48]
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 pembetukan Desa
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.             Batas usia Desa induk paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung
sejak pembentukan;
2.             Jumlah penduduk sebagaimana diatur pada pasal 8 ayat (3)
3.             Wilayah kerja yang memiliki akses transportasi antar wilayah;
4.             Sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan hidup
bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat Desa;
5.             Memiliki potensi yang meliputi sumber daya alam, sumber
daya manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung;
6.             Batas wilayah Desa yang dinyatakan dalam bentuk peta Desa yang telah ditetapkan dalam peraturan Bupati/Walikota;
7.             Sarana dan prasarana bagi Pemerintahan Desa dan pelayanan publik dan tersedianya dana operasional, penghasilan tetap dan tunjangan lainnya bagi perangkat Pemerintah Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Landasan hukum yang menjadi latar belakang pembentukan suatu Desa, ada hal lain yang harus dilengkapi juga yaitu unsur-unsur Desa. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan unsur-unsur Desa adalah komponen-komponen pembentuk Desa sebagai satuan ketatanegaraan.
Komponen- komponen tersebut adalah:
1.             Wilayah Desa, merupakan wilayah yang menjadi bagian dari wilayah kecamatan
2.             Penduduk atau masyarakat Desa, yaitu mereka yang bertempat tinggal di Desa selama beberapa waktu secara berturut-turut.
3.             Pemerintahan, adalah suatu system tentang pemerintah sendiri dalam arti dipilih sendiri oleh penduduk desa yang nantinya akan bertanggung jawab kepada rakyat Desa.
4.             Otonomi, adalah sebagai pengatur dan pengurus rumah tangga sendiri[49]
Desa memiliki wewenang sesuai dengan yang tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa:
1.             Kewenangan berdasarkan hak asal usul;
2.             Kewenangan lokal berskala Desa;
3.             Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
4.             Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b.             Kewenangan Desa[50]
Dengan dua azas utama “rekognisi” dan “subdidiaritas” Undang-undang Desa mempunyai semangat revolusioner, berbeda dengan azas “desentralisasi” dan “residualitas”. Dengan mendasarkan pada azas desentralisasi dan residualitas desa hanya menjadi bagian dari daerah, sebab desentralisasi hanya berhenti di kabupaten/kota. Disamping itu, desa hanya menerima pelimpahan sebagian kewenangan dari kabupaten/kota. Sehingga desa hanya menerima sisa-sisa lebihan daerah, baik sisa kewenangan maupun sisa keuangan dalam bentuk Alokasi Dana Desa.
Kombinasi antara azas rekognisi dan subsidiaritas Desa menghasilkan definisi desa yang berbeda dengan definisi-definisi sebelumnya. Desa didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan.
Dengan definisi dan makna itu, Undang-undang Desa telah menempatkan desa sebagai organisasi campuran (hybrid) antara masyarakat berpemerintahan (self governing community) dengan pemerintahan lokal (local self government). Dengan begitu, sistem pemerintahan di desa berbentuk pemerintahan masyarakat atau pemerintahan berbasis masyarakat dengan segala kewenangannya (authority). Desa juga tidak lagi identik dengan pemerintah desa dan kepala desa, melainkan pemerintahan desa yang sekaligus pemerintahan masyarakat yang membentuk kesatuan entitas hukum. Artinya, masyarakat juga mempunyai kewenangan dalam mengatur desa sebagaimana pemerintahan desa.[51]

Kewenangan merupakan elemen penting sebagai hak yang dimiliki oleh sebuah desa untuk dapat mengatur rumah tangganya sendiri. Dari pemahaman ini jelas bahwa dalam membahas kewenangan tidak hanya semata-mata memperhatikan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa namun harus juga memperhatikan subjek yang menjalankan dan yang menerima kekuasaan. Kewenangan harus memperhatikan apakah kewenangan itu bisa diterima oleh subjek yang menjalankan atau tidak.
Dalam pengelompokannya, kewenangan yang dimiliki desa meliputi: kewenangan dibidang penyelenggaraan pemerintahan desa, kewenangan dibidang pelaksanaan pembangunan desa, kewenangan dibidang pembinaan kemasyarakatan desa, dan kewenangan dibidang pemberdayaan masyarakat desa yang berdasarkan prakarsa masyarakat, atau yang berdasarkan hak asal usul dan yang berdasarkan adat istiadat desa.
Dalam Pasal 19 dan 103 UU Desa disebutkan, Desa dan Desa Adat mempunyai empat kewenangan, meliputi:
1.             Kewenangan berdasarkan hak asal usul. Hal ini bebeda dengan perundang-undangan sebelumnya yang menyebutkan bahwa urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa.
2.             Kewenangan lokal berskala Desa dimana desa mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus desanya. Berbeda dengan perundang-undangan sebelumnya yang menyebutkan, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/ kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa.
3.             Kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota.
4.             Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari empat kewenangan tersebut, pada dua kewenangan pertama yaitu kewenangan asal usul dan kewenangan lokal berskala desa, terdapat beberapa prinsip penting yang dimiliki desa. Dimana kewenangan yang dimiliki oleh desa tersebut bukan-lah kewenangan sisa (residu) yang dilimpahkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana pernah diatur dalam Unadang-undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa. Melainkan, sesuai dengan asas rekognisi dan subsidiaritas. Dan kedua jenis kewenangan tersebut diakui dan ditetapkan langsung oleh undang-undang dan dijabarkan oleh peraturan pemerintah.
Kewenangan berdasarkan hak asal usul merupakan kewenangan warisan yang masih hidup dan atas prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Sedangkan kewenangan lokal berskala Desa merupakan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan prakasa masyarakat Desa. Kedua kewenangan ini merupakan harapan menjadikan desa berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.
Dengan kedua kewenangan ini Desa mempunyai hak “mengatur” dan “mengurus”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Undang-undang Desa, Desa maupun Desa Adat mempunyai kewenangan mengeluarkan dan menjalankan peraturan, tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sehingga mengikat kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan menjalankan aturan tersebut. Atau bertanggungjawab merencanakan, menganggarkan dan menjalankan kegiatan pembangunan atau pelayanan, serta menyelesaikan masalah yang muncul.

E.            Pemerintah Desa Dan Musyawarah Desa
1.             Musyawarah Desa[52]
Pemerintah Desa merupakan bagian dari pemerintah nasional,
yang penyelenggaraanya ditujukan kepada Desa. Pemerintahan Desa adalah suatu proses dimana usaha-usaha masyarakat Desa yang bersangkutan dipadukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Disamping kewenangan dan hak yang dimiliki Kepala Desa, dalam
konteks Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pemerintah Desa adalah kepala Desa yang dibantu oleh perangkat Desa lainnya dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam menjalankan tugasnya. Pada pasal 26 ayat (2) menyatakan, bahwa dalam melaksanakan tugas Kepala Desa berwenang:
a.              Memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b.             Mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa;
c.              Memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa;
d.             Menetapkan Peraturan Desa;
e.              Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
f.               Membina kehidupan masyarakat Desa;
g.             Membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
h.             Membina dan meningkatkan perekonomian Desa serta mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa;
i.               Mengembangkan sumber pendapatan Desa;
j.               Mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
k.             Mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa;
l.               Memanfaatkan teknologi tepat guna;
m.           Mengoordinasikan pembangunan Desa secara partisipatif;
n.             Mewakili Desa didalam dan diluar pengadilan atau menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
o.             Melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh Kepala Desa, maka secara hukum memiliki tanggung jawab yang besar, oleh karena itu untuk efektif harus ada pendelegasian kewenangan kepada para pembantunya atau memberikan mandat. Oleh karena itu dalam melaksanakan kewenangan Kepala Desa diberikan sebagaimana ditegaskan pada pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, dalam melaksanakan tugas Kepala Desa berhak:
a.              Mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa;
b.             Mengajukan rancangan dan menetapkan Peraturan Desa;
c.              Menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan;
d.             Mendapatkan pelindungan hukum atas kebijakan yang dilaksanakan
e.              Memberikan mandat pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya kepada perangkat Desa.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 pada pasal 26 ayat (4) dalam melaksanakan tugas Kepala Desa berkewajiban:
a.              Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.             Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
c.              Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
d.             Menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan;
e.              Melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender;
f.               Melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme;
g.             Menjalin kerja sama dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan di Desa;
h.             Menyelenggarakan administrasi Pemerintahan Desa yang baik;
i.               Mengelola Keuangan dan Aset Desa;
j.               Melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa;
k.             Menyelesaikan perselisihan masyarakat di Desa;
l.               Mengembangkan perekonomian masyarakat Desa;
m.           Membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat Desa;
n.             Memberdayakan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan di Desa;
o.             Mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup;
p.             Memberikan informasi kepada masyarakat Desa.

2.             Musyawarah Desa[53]
Pasal 54 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa, menyatakan Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa itu antara lain; penataan Desa, perencanaan Desa, kerja sama Desa, rencana investasi yang masuk ke Desa, pembentukan Badan Usaha Milik Desa, penambahan dan pelepasan aset Desa serta kejadian luar biasa.
Selanjutnya, Permen Desa PDTT nomor 2 tahun 2015 tersebut juga menyaratkan penyelenggaraan Musyawarah Desa dilaksanakan secara partisipatif, demokratis, transparan dan akuntabel dengan berdasarkan kepada hak dan kewajiban masyarakat.
Penyelenggaraan Musyawarah Desa (Musdes) dilakukan dengan mendorong partisipatif atau melibatkan seluruh unsur masyarakat baik itu tokoh agama, tokoh masyarakat, perwakilan petani, nelayan, perempuan maupun masyarakat miskin. Setiap orang dijamin kebebasan menyatakan pendapatnya, serta mendapatkan perlakuan yang sama. Penyelenggaran Musdes dilakukan secara transparan, setiap informasi disampaikan secara terbuka dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Terminologi Kepala Desa sebagaimana dijelaskan dalam UU Desa cukup jelas mengatakan “Kepala Desa sebagai pemimpin masyarakat”. Term tersebut memiliki arti Kepala Desa bukan hanya milik sebagian kelompok, keluarga ataupun dinasty tertentu tapi kepala Desa adalah milik seluruh masyarakat Desa. Dalam penyelenggaraan Musdes kepala Desa harus senantiasa mengakomodir dan memperjuangkan aspirasi masyarakatnya salah satunya dengan melibatkan mereka secara penuh dalam forum Musdes.
Badan Permusyawarat Desa (BPD) sebagai pimpinan rapat, hal ini sebagaimana diatur dalam Permen Desa, PDT dan Transmingrasi Nomor 2 tahun 2015 tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa. Selain memimpin penyelenggaran Musyawarah Desa, Ketua BPD bertugas menetapkan panitia, mengundang peserta Musdes, serta menandatangi berita acara Musyawarah Desa. Undang-undang Desa mensyaratkan pelaksanaan Musyawarah Desa berlansung secara partisipatif, demokratis, transparan dan akuntabel. Beberapa tipe kepemimpinan yang ada di Desa akan bertindak sebagaimana berikut:
1.             Partisipatif
Musyawarah Desa yang diharapkan sebagaimana amanat Undang-undang Desa adalah adanya pelibatan masyarakat secara keseluruhan, bagi pemimpin dengan tipe kepemimpinan regresif partisipasi masyarakat dalam Musdes tidak diharapkan, bahkan pemimpin tipe ini cenderung menolak menyelenggarakan Musyawarah Desa. Kepemimpinan konservatif-involutif akan melaksanakan Musyawarah Desa sesuai tata tertib atau aturan yang ada, daftar peserta akan diseleksi terlebih dahulu dipilih dari sekian calon peserta Musdes yang dapat dikendalikannya. Sedangkan kepemimpinan inovatif-progresif dalam peleksanaan Musdes akan melibatkan setiap unsur masyarakat, tokoh agama, tokok masyarakat, perwakilan perempua, hingga perwakilan masyarakat miskin dalam Musyawarah Desa.
2.             Demokratis
Setiap orang dijamin kebebasan berpendapat serta mendapatkan perlakuan yang sama dalam forum Musdes. Pada kepemimpinan regresif biasanya tidak mengingginkan pendapat, masukan dari orang lain bila ada masyarakat yang kritis cenderung akan di intimidasi. Kepemimpinan konservatif-involutif, cenderung akan melakukan seleksi siapa yang diinginkan pendapatnya, masukan terutama dari atasan akan lebih diperhatikan, dalam forum Musdes pendapat atau masukan cenderung di setting atau diatur terlebih dahulu agar dapat menguntungkan dirinya. Pada kepemimpinan inovatif-progresif, Setiap orang akan dijamin kebebasan berpendapatnya dan mendapatkan perlakuan yang sama, serta akan melindunginya dari ancaman dan intimidasi.
3.             Transparan
Peserta Musdes mendapatkan informasi secara lengkap dan benar perihal hal-hal bersifat strategis yang akan dibahas. Pada kepemimpinan regresif cenderung menolak untuk transparan, tidak akan memberikan informasi apapun kepada masyarakatnya meskipun menyangkut kepentingan masyarakatnya sendiri. Sedangkan kepemimpinan konservatif-involutif, transparansi akan dilakukan terbatas, informasi hanya diberikan kepada pengikut atau pendukungnya saja. Tipe kepemimpinan inovatif-progresif akan membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakatnya, semakin luas serta lengkap informasi yang disampaikan kepada masyarakat dianggap akan dekat dengan kesuksesan program Desa.
4.             Akuntabel
Hasil-hasil Musyawarah desa berikut tindaklanjutnya harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat Desa. Kepemimpinan regresif cenderung tidak akan menyampaikan keputusan musyawarah Desa, termasuk menolak mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada masyarakat. Pada kepemimpinan konservatif-involutif, Hasil musyawarah Desa maupun tindak lanjutnya hanya akan disampaikan kepada pengikutnya saja. Sedangkan kepemimpinan inovatif-progresif, Hasil Musyawarah Desa serta tindak lanjut keputusan musyawarah akan disampaikan kepada masyarakat dan dilakukan setiap saat.
Musyawarah Desa merupakan forum tertinggi di Desa yang berfungsi untuk mengambil keputusan atas hal-hal yang bersifat strategis. Menempatkan Musyawarah Desa sebagai bagian dari kerangka kerja demokratisasi dimaksudkan untuk mengedepankan Musyawarah Desa yang menjadi mekanisme utama pengambilan keputusan Desa. Dengan demikian, perhatian khusus terhadap Musyawarah Desa merupakan bagian integral terhadap kerangka kerja demokratisasi Desa. Undang-undang Desa mendefinisikan musyawarah Desa sebagai berikut:
“Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis”. (Pasal 54 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa).
Selain dihadiri oleh peserta, Musyawarah Desa juga dihadiri oleh undangan dan Pendamping (Pasal 20 Peraturan Mentri Desa Pembanunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor. 2 tahun 2015). Pendamping hadir atas undangan Ketua Badan Permusyawaratan Desa. Pendamping yang hadir dalam musyawarah Desa berasal dari:
1.             Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten/Kota
2.             Camat
3.             Tenaga Pendamping Profesional, dan/atau
4.             Pihak ketiga. Empat unsur tersebut, khususnya Tenaga Pendamping Profesional, memiliki tanggung jawab dalam memastikan kualitas demokratis dalam penyelenggaraan musyawarah Desa.[54]
Musyawarah desa merupakan forum musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis, bisa terkait tentang penataan Desa, perencanaan Desa, rencana investasi yang masuk ke Desa, pembentukan Badan Usaha Milik Desa, dan beberapa yang lainnya dengan prinsip partisipatif, demokratis, dan transparan.[55]

Dan untuk mendapatkan bisa menghasilkan keputusan-keputusan yang sesuai harapan maka dibutuhkan peran aktif tiga unsur desa meliputi:
1.             Peran Pemerintah desa, baik kepala desa maupun perangkatnya yang bisa melakukan:
a.             Mengelola sumberdaya desa untuk kebutuhan masyarakat.
b.             Merumuskan dengan baik kebutuhan masyarakat dan membuat perencanaan desa yang baik dengan ketentuan skala prioritas.
c.             Meningkatkan kemampuan mengimplementasikan peraturan Undang-undang Desa secara baik dan turunannya.
d.             Mengelola keuangan desa dengan prinsip partisipatif, transparan dan akuntabel.
2.             Peran BPD harus bisa meningkatkan kemampuan dalam menyusun perencanaan desa bersama pemerintahan desa. Hal itu bisa dilakukan dengan:
a.             Memperkuat partisipasi dengan mengajak warga dalam aktif kegiatan pembangunan
b.             Menumbuhkan inisiatif warga dalam turut serta mengembangkan program pemberdayaan desa.
c.             Melakukan komunikasi yang baik dengan masyarakat. Kurang baiknya komunikasi akan mengakibatkan keputusan yang diambil oleh BPD tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. BPD akan mengambil keputusan yang sepihak tanpa memikirkan kemauan masyarakat yang sebenarnya. Peningkatan pola hubungan komunikasi antara anggota BPD dan masyarakat seharusnya harus dilakukan secara intensif dan koordininatif dengan terjun langsung ke tengah masyarakat guna mendengar secara langsung keluhan masyarakat.
d.             Melaksanakan nilai-nilai permusyawaratan, permufakatan proses kekeluargaan, dan kegotong-royongan dalam pengambilan keputusan perihal kebijakan publik.
3.             Peran masyarakat secara aktif partisipasitif.
Disini masyarakat mempunyai hak untuk mengusulkan atau memberikan masukan kepada Kepala Desa dan BPD dalam proses penyusunan regulasi. Partisipasi masyarakat yang bisa dilakukan adalah:
a.             Partisipasi dalam proses pembuatan, yang hal itu bisa dilakukan melalui BPD atau ke Kepala Desa.
b.             Mendapatkan informasi secara lengkap dan benar perihal hal-hal bersifat strategis yang akan dibahas. Hal itu bisa dilakukan dengan memperkuat kapasitas masyarakat, termasuk keikutsertaan masyarakat dalam kerjasama, pengawasan, kemampuan kreatif dan inovatif, serta kemampuan teknis.
c.             Mengawasi kegiatan penyelenggaraan Musdes maupun tindaklanjut hasil keputusannya.
d.             Mendorong gerakan swadaya gotong royong dalam penyusunan regulasi. Dalam hal ini masyarakat harus memperhatikan sejauh mana regulasi yang dibahas memberi manfaat kepada masyarakat desa sebagai subjek regulasi.
e.             Mempersiapkan diri untuk berdaya dalam menyampaikan aspirasi, pandangan dan kepentingan berkaitan hal-hal yang bersifat strategis.
f.              Mendorong terciptanya kegiatan penyelenggaraan Musdes secara partisipatif, demokratis, transparan dan akuntabel.
g.             Dan sebagai langkah evaluasi, masyarakat dituntut memberi koreksi dan rekomendasi terkait efektifitas regulasi tersebut.

F.            Dana Desa
Dana Desa Adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diperuntuhkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan Pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.[56]

Pemerintah menganggarkan Dana Desa secara nasional dalam APBN setiap tahun. Alokasi anggaran untuk Dana Desa ditetapkan sebesar 10% dari total Dana Transfer ke Daerah dan akan dipenuhi secara bertahap sesuai dengan kemampuan APBN. Dalam masa Transisi, sebelum Dana Desa dipenuhi melalui realokasi dari belanja pusat dari program dana desa dipenuhi melalui realokasi dari belanja pusat dari program yang berbasis desa. Kementerian/lembaga mengajukan anggaran untuk program yang berbasis desa kepada menteri untuk ditetapkan sebagai sumber dana desa.
Didalam pelaksanaan dana desa, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN sebagaimana dirubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentan dana desa yang bersumber dari APBN.[57]

Penggunaan dana desa diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa pada pasal 21 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93 tahun 2015, dana desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. Dana desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan.
Penggunaan dana desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan Proritas penggunaan dana desa yang ditetapkan oleh menteri desa pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi. Pada pasal 22 dinyatakan bahwa pelaksanaan kegiatan yang dibiayai oleh dana desa berpedoman pada pedoman umum penggunaan dana desa sebagaimana dimaksud pada pasal 21 ayat (4) dan pedoman teknis yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota.
Penggunaan ADD merupakan bagian dari pelaksanaan APBDes dan penggunaannya diprioritaskan guna mendukung penyelenggaraan kewenangan desa dan dapat dialokasikan guna mendukung bidang kegiatan meliputi:[58]
1.             Penelenggaraan Pemerintahan Desa
2.             Penyelenggaraan Pembangunan Desa
3.             Pembinaan Kemasyarakatan Desa
4.             Pemberdayaan masyarakat Desa
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga yang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perencanaan serta pengelolaan dan penggunaan Alokasi Dana Desa (ADD), yaitu membantu dalam memasyarakatkan tujuan, prinsip dan kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) kepada masyarakat, memberikan pengawasan langsung maupun tidak langsung terhadap perencanaan dan pelaksanaan Alokasi Dana Desa (ADD), memberikan saran-saran terhadap perencanaan dan pelaksanaan Alokasi Dana Desa (ADD), memastikan adanya keterpaduan dan mencegah terjadinya tumpang tindih kegiatan pelaksanaan Alokasi Dana Desa (ADD) dan membangun kerja sama yang sinergis dengan Kepala Desa.[59]

Kepala Desa bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan Desa, termasuk didalamnya adalah yang bersumber dari dana desa. Disamping dana desa yang bersumber dari APBN, terdapat 6 (enam) sumber pendapatan atau keuangan Desa lainnya, yaitu:[60]
1.             Pendapatan Asli Desa (PADesa)
2.             Alokasi Dana Desa (ADD)
3.             Dana Bagi Hasil Pajak
4.             Retribusi Daerah yang bersumber dari APBD, Bantuan keuangan pemerintah (pusat-daerah)
5.             Hibah Pihak Ketiga
6.             Pendapatan lain-lain yang Sah
Kepala Desa tidak berhak menentukan skala prioritas dan tidak mengambil keputusan. Kepala Desa dan perangkat Desa berkewajiban menyampaikan informasi dan data-data terkait dengan sumber-sumber pendapatan atau keuangan Desa, arah dan kebijakan dari visi dan misi Kepala Desa, kegiatan dari pemerintah pusat-daerah dan informasi lain yang relevan dengan pembangunan Desa.

G.           Alokasi Dana Desa
Desa memiliki posisi yang sangat strategis, sehingga di perlukan adanya perhatian yang seimbang terhadap penyelenggaraan otonomi daerah. Indikasi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan keberhasilan Pemerintah dalam pelaksanaan otonomi Desa. Oleh karena itu upaya untuk memperkuat Pemerintahan yang ada di Desa merupakan langkah yang harus segera diwujudkan baik pemerintah propinsi maupun oleh pemerintah kabupaten.
Menurut Widjaja Dalam rangka meningkatkan pemberdyaan, kesejahteraan dan pemerataan pembangunan yang ada di pedesaan melalui dana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten, propinsi dan pusat perlu merealisasikan dalam APBD masing-masing sebesar 10 Perseratus untuk Dana Alokasi Desa. Dengan mengalokasikan Dana Alokasi Sebasar 10 Perseratus ini diharapkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan di Desa dapat menjadi kenyataan. Terciptanya pemerataan Pembangunan khusunya di pedesaan.[61]

Alokasi Dana Desa (ADD) merupakan primbangan dana Pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah Desa yang bersumber dari keuangan Pemerintah Pusat dalam rangka Pemberdayaan masyarakat.
Konsep Tentang Dana perimbangan Desa sendiri bukan merupakan suatu gagagsan ekonomi semata, melainkan suatu gagasan untuk memberikan dukungan bagi pengembangan proses politik dan proses reform di desa. Distruksi Politik dimasa lalu, tentunya memerlukan suatu proses rehabilitasi yang memadai. Sumber daya desa yang terkuras keluar, perlu di kembalikan dari prinsip pemerataan yang hilang, perlu pula segera diwujudkan agar tidak terus menerus menjadi slogan politik.[62]

Dengan diberikannya Otonomi kepada Desa maka diberikan pula Anggaran untuk mengelola daerahnya yang disebut Alokasi Dana Desa (ADD). Alokasi Dana Desa (ADD) adalah Dana yang dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten untuk Desa, yang bersumber dari bagian Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh Kabupaten. Adapun tujuan dari Alokasi Dana Desa (ADD) ini adalah untuk:
1.             Meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam melaksanakan pelayanan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan sesuai kewenangannya.
2.             Meningkatkan kemampuan lembaga kemasyarakatan di desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan secara partisipatif sesuai dengan potensi desas
3.             Meningkatkan pemerataan pendapatan, kesempatan bekerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat desa;
4.             Mendorong peningkatan swadaya gotong royong masyarakat desa.
Penetapan alokasi dana desa dilakukan secara dua tahap, yaitu pengalokasian dana desa setiap Kabupaten/Kota oleh Pemerintah Pusat, dan pengalokasian dana desa setiap Desa oleh Bupati/Walikota.
1.             Pengalokasian dana desa setiap Kabupaten/Kota
Dana desa setiap kabupaten/kota dihitung berdasarkan jumlah desa. Dana desa dialokasikan secara berkeadilan berdasarkan:
a.              Alokasi dasar Yang dimaksud dengan alokasi dasar adalah alokasi minimal dana desa yang diterima kabupaten/kota berdasarkan perhitungan tertentu, antara lain perhitungan yang dibagi secara merata kepada setiap desa.
b.             Alokasi yang dihitung dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan geografis desa setiap kabupaten/kota. Tingkat kesulitan geografis ditunjukan oleh indeks kemahalan konstruksi. Data jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan indeks kemahalan konstruksi bersumber dari kementerian yang berwenang dan/atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang statistik.[63]

2.             Pengalokasian Dana Desa Setiap Desa
Alokasi yang dihitung dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan goegrafis setiap desa.[64]
Tingakat kesulitan geografis ditunjukkan oleh indeks kesulitan geografis desa yang ditentukan oleh faktor yang terdiri atas:
a.              Ketersediaan prasarana pelayanan dasar;
b.             Kondisi infrastruktur; dan
c.              Aksesibilitas/transportasi
3.             Penggunaan Dana Desa
Dana desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembagunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan dana desa diprioritaskan untuk membiayai pembagunan dan pemberdayaan masyarakat. Pada prinsipnya dana desa dialokasikan dalam APBN untuk membiayai kewenangan yang menjadi tanggung jawab desa. Namun, untuk membiayai kewenangan yang menjadi tanggung jawab desa[65]
Pengalokasian anggaran dana desa Dukuhmaja dalam APBN dilakukan secara bertahap, yang dilasanakan sebagai berikut:
a.              Pencairan Periode 2018 Tahap I Sebesar Rp.255.457.800; (20%)
b.             Pencairan Periode 2018 Tahap II Sebesar Rp.510.915.600; (40%)
c.              Sisa Periode 2018 Sebesar Rp.510.915.600; (40%).[66]

Namun untuk mengoptimalkan penggunaan dana desa sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang, penggunaan dana desa diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, antara lain pembangunan pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Dalam rangka pengentasan masyarakat miskin, dana desa juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer pangan, sandang dan papan masyarakat. Penggunaan dana desa untuk kegiatan yang tidak prioritas dapat dilakukan sepanjang kegiatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat telah terpenuhi.
4.             Tata Kelola Keuangan Desa[67]
Pengaturan pengelolaan anggaran daerah yang mengacu pada ketentuan Pasal 3 (Tiga) Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuanga Negara, menjelaskan sebagai brikut:
“Keuangan negara dikelola secara tetib, taat pada peraturan perundang-undangan, efesien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan”.

Peraturan Perundang-undangan secara limitatif meletakkan siklus pengolahan keuangan daerah yang dimulai dari: Perencanaan, Pembahasan, Pengesahan, Penatausahaan, Pengawasan, dan Pertanggungjawaban.
Beberapa asas penting dalam pengelolaan keuangan desa yang harus dilakasanakan dan menjadi bagian penting dari disiplin anggaran yaitu:
a.              Asas Tahunan, yaitu asas yang membatasi masa berlakunya anggaran untuk (1) satu tahun tertentu.
b.             Asas Kesatuan, yaitu asas yang menghendaki agar semua pendapatan dan belanja daerah disajikan dalam satu dokumen anggaran.
c.              Asas Universalitas, Asas yang mengharuskan agar setiap transaksi keuangan di tampilkan secara utuh dalam satu dokumen anggaran.
d.             Asas Spesialitas, yaitu asas yang mengaharuskan agar kredit anggaran yang disediakan terperinci secara jelas peruntukannya.
e.              Asas Akuntailitas, yaitu asas yang mewajibkan pertanggungjawaban dalam pengolahan keuangan.
f.               Asas Propesionalitas, yaitu asas yag mewajibkan anggaran dikelola secara propesional.
g.             Asas Proporsionalitas, yaitu asas yang mewajibkan anggaran dikelola secara proporsional.
h.             Asas Transparansi, yaitu asas yang mewajibkan adanya keterbukaan.
i.               Asas Pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri, anggaran harus dapat di audit oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
j.               Asas Partisipatif, yaitu melibatkan masyarakat dalam pengelolaan dan pelaksanaan pembangan desa.
5.             Pedoman Penyusunan Dan Pelaksanaan Anggaran
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun1999 Tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Pertimbangan Keuanan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah mulai tanggal 1 Januari 2001, Mentri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah memberikan petunjuk yang dapat dipedomani dalam penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan belanja Daerah (APBD).[68]

Anggaran Desa pada hakikatnya merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan Otonomi Daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab.[69]
Atas dasar acuan tersebut penyusunan APBDes hendaknya mengacu pada norma dan perinsip anggaran sebagai berikut:[70]
a.              Trasnparansi dan Akuntabilitas
Transparansi tentang anggaran daerah merupakan salah satu persyaatan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggungjawab.[71]
b.             Disiplin Anggaran
Pendapaan yang drencanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai pada setiap poin merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja.
c.              Keadilan Anggaran
Pembiayaan pemerintah daerah dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi yang di pikul oleh segenap lapisan masyarakat. Untuk itu pemerintah wajib mengalokasikan penggunaannya secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan.
d.             Efesiensi Dan Efektifitas Anggaran
Dana yang tersedia harus di manfaatkan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanaan dan kesejahteraan masyarakat.



[26] Abdullah Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Denagan Pemlihan Kepala Daerah secara Langsung (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 5.
[27] Bambang Trisantono Soemantri, Pedoman Penyelenggara Pemerintahan Desa (Bandung: Fokus Media, 2011), hlm. 13.
[28] Endara Taliziduhu, Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa (Jakarta: Bumu Aksara, 1991), hlm.35.
[29] Op.Cit. Bambang Trisantono Soemantri, hlm.14.
[30] Op.Cit. Endara Taliziduhu, hlm.35.
[31] Yusran Lapananda, Hukum Pengelolah Keuangan Desa, (Jakarta: Wahana Semesta Intermedia, 2016), hlm. 71.
[32] Pudjiwati Sajokyo, Sosiologi Pedesaan (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996), hlm.56.
[33] Haw Widjaja, Pemerintah Desa dan Administrasi Desa (Jakarta: Rajawali pers, 2002), hlm.14.
[34] Ibid. Haw Widjaja. Pemerintah Desa dan Administrasi Desa, hlm. 14-16.
[35] Wahyu Sulistiani, Pengawasan Masyarakat, (Jakarta: Pilar Media, 2017), hlm. 60-67.
[36]Sadu Wasistiono dan Irawan Tohir, Prospek Pengembangan Desa, (Bandung: Fokus Media, 2007), hlm. 36.
[37]Sujamto, Aspek Aspek Pengawasan Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1989), hlm.159.
[38] http://repository.unpas.ac.id/31671/. Di Akses 30 Oktober 2017 06:34. Dikutip Jum’at 26 Juli 2019. Pukul 19:54 WIB.
[39] M. Manullang. Op.Cit., hlm 173.
[40]Sukarno K. Dasar-Dasar Manajemen, (Jakarta: Miswar,1992), hlm. 115.
[41] Bagian Pemerintahan Desa Sekretariat Daerah Kabupaten Brebes Tahun 2018 Pedoman pelaksanaan Alokasi Dana Desa (ADD) Tahun Anggaran 2018, hlm. 27.
[42] Masyarakat berhak mendapatkan informasi tentang pelaksanaankegiatan yang menggunakan dana desa. Badan Permuyawaratan Desa harus menjamin hak masyarakat dalam mengakses informasi pengggunaan dana desa, terutama penggunaan dana desa untuk kegiatan pelayanan publik dan pelayanan sosial dasar di Desa.
[43] Didin Abdullah Ghozali, Kader Desa, (Jakrta: Kementrian Des Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. 2015), hlm. 10
[44]Mochammad Zain Mustakim, Kepemimpinan Desa, (Jakarta: Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Trsansmigrasi Republik Indonesia, 2015), hlm.27.
[45] Ibid. M. Silahudin, Kewenangan Desa Dan Regulasi Desa. hlm.27.
[46]Op.Cit. Didin Abdullah Ghozali, Kader Desa, hlm. 12
[47]Talizdhu Ndara. Dimensi-Dimensi pemerintahan Desa (Jakarta: PT Bumi Akara, 1991), hlm. 4.
[48]Landis, Pengantar Sosiologi Desa dan pertanian, (Jakarta: Raja Grafindo, 2012), hlm. 12-13.
[49]Otonomi daerah yang diterapkan membantu pemerintah Desa dalam melakukan improvisasi kinerja dan program-program yang telah di tentukan bisa dijalankan dengan maksimal. Otonomi tersebut memberi peranan seutuhnya pada pemerintah Desa dalam mengatur rumah tangga sendiri dengan tetap berpegang teguh pada kearifan lokal yang dimiliki masyarakat tersebut, karena masyarakat adalah unsur yang paling mendasar terciptanya Desa yang merupakan pemerintahan yang paling terkecil.
[50] Op.Cit. Mochammad Zain Mustakim, Kepemimpinan Desa, hlm.11-14.
[51] Ibid. Mochammad Zain Mustakim, Kepemimpinan Desa, hlm.15.
[52] Sutoro Eko. Kepemimpinan Desa. (Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2015), hlm. 47.
[53] Opc.Cit. Mochammad Zain Mustakim, Kepemimpinan Desa, Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Trsansmigrasi Republik Indonesia, (Jakarta: 2015), hlm.16-20.
[54]Naeni Amanullah, Demokratisasi Desa, (Jakarta: Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Trsansmigrasi Republik Indonesia,2015), hlm.36.
[55]Op.Cit. M. Silahudin, Kewenangan Desa Dan Regulasi Desa, hlm. 29-31.
[56]Yusran Lapananda, Hukum Pengelolahan Kuangan Desa (Jakarta: Wahana Semesta Intermedia, 2016), hlm. 83. Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara. Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa dana desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Namun, dana desa diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Dana desa merupakan salah satu sumber pendapatan desa dalam APBDes sehingga dana desa merupakan bagian dari pengelolaan keuangan desa.
[57]Hernol Ferry Makawimbang, Kompilasi Peraturan Perundang-undangan tentang Desa sistem Pengelolahan dana desa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hlm.8.
[58]Bagian Pemerintahan Desa Sekretariat Daerah Kabupaten Brebes Tahun 2018, Pedoman pelaksanaan Alokasi Dana Desa (ADD) Tahun Anggaran 2018, hlm. 4.
[59] Ibid. Bagian Pemerintahan Desa Sekretariat Daerah Kabupaten Brebes Tahun 2018 Pedoman pelaksanaan Alokasi Dana Desa (ADD) Tahun Anggaran 2018. Hlm 27.
[60] Keuangan Desa termasuk didalamnya Dana Desa dikelola oleh Tim Pelaksana Teknis Pengelola Keuangan Desa yaitu perangkat Desa yang terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kepala Urusan, dan Bendahara Desa, yang masing-masing memiliki kewenangan, tugas dan tanggungjawab yang berbeda, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Hal ini dilakukan guna menjamin pengendalian keuangan Desa tidak berada dalam satu tangan tetapi berada dalam satu tim, dengan sistem kelola yang diharapkan dapat menjamin dari terjadinya penyimpangan.
[61]Op.Cit. HAW Widjaja. Pemerintah Desa dan Administrasi Desa, hlm.113.
[62]Sutoro Eko. Regulasi Baru, Desa Baru. (Jakarta: Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2015), hlm.110.
[63] Op.cit. Yusran Lapananda, hlm. 84.
[64] Ibid. Yusran Lapananda, hlm. 85.
[65] Ibid.Yusran Lapananda, hlm. 88.
[66]Permohonan Pencairan Tahap II Tahun Anggaran 2018 Nomor 141.2/4/VIII/2018 Desa Dukuhmaja.
[67]Hendra Karianga, Carut Marut Pengelolaan Keuangan daerah Di Era Otonomi Daerah Persepektif Hukum dan politik, (Depok: Kencana, 2017), hlm. 33-35.
[68]Haw Widjaja, Otonomi daerah Dan daerah Otonom (Jakarta: Rajawali pers, 2000), hlm.67.
[69]APBD harus bena-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
[70] Ibid. Haw widjaja. Otonomi Daerah Dan Daerah Otonom, hlm. 68. Op.cit. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Bentuk Pelaksanaan dan Konsultasi Pengelolaan Keuangan Desa, hlm. 35.
[71] Mengingat anggaran daerah merupakan salah satu sarana evaluasi pencapaian kinerja dan tanggung jawab pemerintah mensejahterakan masyarakat, maka APBD harus memberikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran dan hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang di anggarkan selain itu setiap dana pertanggung jawabanya haarus dapat di pertanggung jawabkan.

Comments

Popular posts from this blog

proposal sound system majelis syifaul qolbi

MENYUSUN MATRIKS PENELITIAN HUKUM

SUSUNAN MASYARAKAT HUKUM ADAT maftuh mahfudz