SUSUNAN MASYARAKAT HUKUM ADAT maftuh mahfudz
SUSUNAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
1. Susunan Masyarakat Hukum Adat
a. Faktor Genealogis
(keturunan)
Masyarakat hukum adat yang
strukturnya bersifat genealogis (menurut azas kedarahan (keturunan) ialah
masyarakat hukum adat yang anggota-anggotanya merasa terikat dalam suatu
ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka semua berasal satu keturunan
yang sama. Dengan kata-kata lain: seseorang menjadi anggota masyarakat hukum
adat yang bersangkutan karena ia menjadi atau menganggap diri keturunan dari
seorang ayah-asal (nenek-moyang laki-laki) tunggal – melalui garis keturunan
laki-laki – atau dari seorang ibu-asal (nenek moyang perempuan) tunggal-
melalui garis keturunan perempuan – dan dengan demikian menjadilah semua
anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan itu suatu kesatuan dan tunduk pada
peraturan-peraturan hukum (adat) yang sama.
Dalam masyarakat hukum adat yang
ditentukan oleh faktor genealogis ini, kita mengenal tiga macam (type) pertalian
keturunan, yaitu:
1. Pertalian keturunan menurut garis
laki-laki – hal ini terdapat dalam masyarakat hukum adat orang Batak, orang
Bali, orang Ambon.
2. Pertalian keturunan menurut garis
perempuan – hal ini terdapat dalam masyarakat hukum adat orang Minangkabau,
orang Kerinci, orang Semendo.
3. Masyarakat hukum adat keibu-bapaan
yang dalam bahasa Indonesia disebut rumpun yang merupakan kesatuan yang menjadi
gabungan dari sejumlah gezin-gezin di Kalimantan.
b. Faktor territorial
Masyarakat hukum adat yang strukturnya
bersifat teritorial yaitu masyarakat hukum adat yang disusun berazaskan
lingkungan daerah, adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya merasa
bersatu, dan oleh sebab itu merasa bersama-sama merupakan kesatuan masyarakat
hukum adat yang bersangkutan, karena ada ikatan antara mereka masing-masing
dengan tanah tempat tinggal mereka. Landasan yang mempersatukan para anggota
masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial adalah ikatan antara
orang – yaitu anggota masing-masing masyarakat tersebut – dengan tanah yang
didiami sejak kelahirannnya, yang didiami oleh orang tuanya, yang didiami oleh
neneknya, yang dialami oleh nenek moyangnya, secara turun-temurun ikatan dengan
tanah menjadi inti azas teritorial itu.
Teranglah, meninggalkan tempat
tinggal bersama – lingkungan daerah – untuk sementara waktu, tidaklah membawa
hilangnya keangotaan masyarakat, dan, sebaliknya, orang asing (orang yang
berasal dan datang dari luar lingkungan-daerah) tidak dengan begitu saja
diterima dan diangkat menurut hukum adat menjadi anggota masyarakat hukum adat,
yaitu menjadi teman segolongan, teman hidup sedesa, seraya mempunyai hak dan
kewajiban sebagai anggota sepenuhnya (misalnya, berhak ikut-serta dalam rukun
desa) Supaya dapat menjadi anggota penuh masyarakat hukum adat, maka orang
asing berstatus pendatang.
Ada tiga jenis masyarakat hukum adat
yang strukturnya bersifat teritorial:
1. Masyarakat hukum desa
2. Masyarakat hukum wilayah
(persekutuan desa)
3. Masyarakat hukum serikat desa
(perserikatan desa)
1. Masyarakat hukum desa
Masyarakat hukum desa adalah
segolongan atau sekumpulan orang yang hidup bersama berazaskan pandangan hidup,
cara hidup, dan sistim kepercayaan yang sama, yang menetap pada suatu tempat
kediaman bersama dan yang, oleh sebab itu, merupakan suatu kesatuan suatu
tata-susunan, yang tertentu, baik keluar maupun kedalam. Masyarakat hukum desa
ini melingkupi pula kesatuan-kesatuan yang kecil yang terletak diluar wilayah
desa yang sebenarnya, yang lazim disebut teratak atau dukuh, tetapi yang juga tunduk
pada penjabat kekuasaan desa dan, oleh sebab itu, baginya juga merupakan pusat
kediaman. Contoh-contoh adalah desa-desa di Jawa dan Bali.
2. Masyarakat hukum wilayah
Masyarakat hukum wilayah adalah
suatu kesatuan sosial yang teritorial yang melingkupi beberapa masyarakat hukum
desa yang masing-masingnya tetap merupakan kesatuan-kesatuan yang berdiri
tersendiri. Biarpun masing-masing masyarakat hukum desa yang tergabung dalam
masyarakat hukum wilayah itu mempunyai tata susunan dan pengurus sendiri-sendiri,
masih juga masyarakat hukum desa tersebut merupakan bagian yang tak terpisah
dari keseluruhan, yaitu merupakan bagian yang tak terpisah dari masyarakat,
hukum wilayah sebagai kesatuan sosial teritorial yang lebih tinggi. Dengan
kata-kata lain: masyarakat hukum desa itu merupakan masyarakat hukum bawahan
yang juga memiliki harta benda, menguasai hutan dan rimba yang terletak
diantara masing-masing kesatuan yang tergabung dalam masyarakat hukum wilayah
dan tanah, baik yang tergabung dalam masyarakat hukum wilayah dan tanah, baik
yang ditanami maupun yang ditinggalkan atau belum dikerjakan. Contoh-contoh
adalah kuria di Angkola dan Mandailing – kuria sebagai masyarakat hukum wilayah
melingkupi beberapa huta –, marga di Sumatera Selatan – marga sebagai masyarakat
hukum wilayah melingkupi beberapa dusun.
3. Masyarakat hukum serikat desa
Masyarakat hukum serikat desa adalah
suatu kesatuan sosial yang teritorial, yang melulu dibentuk atas dasar
kerjasama diberbagai-bagai lapangan demi kepentingan bersama masyarakat hukum
desa yang tergabung dalam masyarakat hukum serikat desa itu. kerjasama itu
dimungkinkan karena kebetulan berdekatan letaknya masyarakat hukum desa yang
bersama-sama membentuk masyarakat hukum serikat desa itu.
c. Faktor territorial-geneologi
Kesatuan kemasyarakatan yang
anggotanya selain berdasarkan faktor keturunan juga oleh wilayah yaitu
bertempat tinggal di daerah yang sama. Untuk manjadi anggota persekutuan hukum
Genealogis – Teritorial ini wajid dipenuhi dua syarat sekaligus yaitu:
1.
Harus masuk dalam kesatuan
Genealogis dan
2. Harus berdiam di dalam daerah
persekutuan yang bersangkutan
Susunan masyarakat yang demikian ini
terdapat antara lain :
-
Mentawai (Uma)
-
Tapanuli (Kuria dan Huta)
-
Minagkabau (Nagari)
-
Palembang (Marga dan Dusun)
-
Maluku (Negorij)
2.
Masyarakat unilateral
a. Masyarakat Matrilineal
Yaitu struktur
masyarakat dimana orang menarik garis hukum dengan menggabungkan diri dengan
orang lain melalui garis perempuan. Contohnya perkawinan semendo. Ciri-ciri
perkawinan semendo adalah endogami dan matrilokal.
·
Endogami, berarti bahwa menurut hukum adat
perkawianan yang ideal dalam sistem perkawinan semendo adalah apabila jodoh
diambil dikalangan sukunya sendiri.
·
Matrilokal, mengandung arti bahwa menurut
hukum adat semendo, tempat tinggal bersama dalam perkawinan adalah ditempat
tinggal istri.
Contoh
masyarakat perkawinan semendo adalah masyarakat Minangkabau.
b. Masyarakat Patrilineal
Yaitu susunan
masyarakat dimana orang menarik garis hukum dalam hubungan diri dengan orang
lain melalui garis laki-laki. Contohnya kawin jujur. Ciri-ciri perkawinan jujur
adalah eksogami dan patrilokal.
·
Eksogami,
menurut hukum adat perkawinan jujur, perkawinan yang ideal adalah apabila jodoh
diambil dari luar marganya sendiri.
·
Patrilokal, menurut hukum adat perkawinan
jujur, tempat tinggal bersama dalam perkawinan adalah tempat tinggalnya
suami.
Contoh
: masyarakat Gayo, Batak, Bali, serta Sumatra Selatan.
C. Masyarakat Patrilineal Beralih-Alih
Yaitu struktur
masyarakat dimana orang menarik agris hukum dengan menghubungkan diri dengan
orang lain beralih-alih antara perempuan dengan garis laki-laki, tergantung
pada bentuk perkawinan yang dipilih oleh orang tuanya.
Apabila orang tua kawin semento maka anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan menarik garis hubungan melalui orang tuanya yang perempuan, begitu juga hukum seterusnya keatas akan beralih-alih tergantung pada bentuk perkawinan yang dilakukan orang tuanya.
Apabila orang tua kawin semento maka anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan menarik garis hubungan melalui orang tuanya yang perempuan, begitu juga hukum seterusnya keatas akan beralih-alih tergantung pada bentuk perkawinan yang dilakukan orang tuanya.
Contoh
: masyarakat Rejang lebong dan Lampung pepadon.
D. Masyarakat Bilateral/Parental
Yaitu
struktur masyarakat dimana orang menari garis hukum dan hubungan diri dengan
orang lain melalui garis laki-laki maupun perempuan.
Pada masyarakat terstruktur secara bilateral tidak ada bentuk perkawinan khusus, begitu juga tentang tempat tinggal bersama dalam perkawinan, tidak ada ketentuan yang jelas.
Pada masyarakat terstruktur secara bilateral tidak ada bentuk perkawinan khusus, begitu juga tentang tempat tinggal bersama dalam perkawinan, tidak ada ketentuan yang jelas.
Contoh
: Aceh, Jawa, Sunda, Makasar dan Bugis.
3. Sistem Hukum Adat
Sistem hukum adat bersendi atas
dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang sudah barang tentu berlainan dengan
alam pikiran yang menguasai hukum Barat. Dan untuk dapat memahami serta sadar
akan hukum adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di
dalam masyarakat Indonesia.
Hukum adat memiliki corak-corak
sebagai berikut:
a. Mempunyai sifat kebersamaan atau
komunal yang kuat, artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam
ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan ini meliputi seluruh lapangan
hukum adat.
b. Mempunyai corak religio-magis
yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia.
c. Hukum adat diliputi oleh pikiran
penataan serba konkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan
berulang-ulangnya perhubungan hidup yang konkrit.
d. Hukum adat mempunyai sifat yang
visual, artinya perhubungan hukum dianggap hanya terjadi, oleh karena
ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat.
Antara sistem hukum adat dan sistem
hukum Barat terdapat beberapa perbedaan yang fundamental, seperti:
Hukum Barat mengenal “zakelijke
rechten” dan “persoonlijke rechten”. “Zakelijke rechten” adalah hak atas benda
yang bersifat “zakelijk”, artinya berlaku terhadap tiap orang, jadi merupakan
hak mutlak/absolut. “Persoonlijke rechten” adalah hak atas sesuatu objek yang
hanya berlaku terhadap sesuatu orang lain tertentu, jadi merupakan hak relatif.
Hukum adat tidak mengenal pembagian hak dalam dua golongan seperti di atas.
Hak-hak menurut sistem hukum adat perlindungannya ada di tangan hakim.
Lalu, hukum Barat mengenal perbedaan
antara hukum publik dan hukum privat. Hukum adat tidak mengenal perbedaan ini.
Perbedaan-perbedaan fundamental dalam sistem ini, pada hakikatnya disebabkan
karena corak serta sifat yang berlainan antara hukum adat dan hukum Barat dan
pandangan hidup yang mendukung kedua macam hukum itu juga jauh berlainan.
Bahasa Hukum
Hukum Barat telah memiliki
istilah-istilah hukum teknis yang dibina berabad-abad oleh para ahli hukum,
para hakim dan oleh pembentuk undang-undang. Hukum adat, pembinaan bahasa hukum
ini justru masih merupakan suatu masalah yang sangat meminta perhatian khusus
pada para ahli hukum Indonesia.
Baik Van Vollenhoven dan Ter Haar,
mengemukakan dengan jelas betapa pentingnya soal bahasa-hukum adat bagi
pelajaran serta pengertian sistem hukum adat dan bagi perkembangan ilmu
pengetahuan hukum adat selanjutnya.
Bahasa hukum adalah bukan sesuatu
yang dapat diciptakan dalam satu dua hari saja, tetapi harus melalui suatu
proses yang cukup lama. Bahasa rakyat yang bersangkutanlah merupakan
bahasa yang pertama-tama yang sanggup melukiskan perasaan rakyat dimaksud
secara tepat. Dan oleh karena itulah pada zaman kolonial Belanda dahulu
terjemahan istilah-istilah hukum adat dalam bahasa Belanda yang pada zaman itu
orang menganggap seolah-olah isi serta artinya sudah lama, sesungguhnya
merupakan suatu kesalahan, sebab istilah-istilah dalam bahasa asing dimaksud
ternyata tidak dapat melukiskan makna yang terkandung dalam istilah-istilah
bahasa aslinya. Contoh: istilah jual dalam hukum adat disalin dengan verkopen
dalam hukum Belanda. Bahwa penterjemahan istilah hukum adat jual dengan
verkopen dalam hukum Belanda itu tidak benar, tidak tepat sama sekali.
Dalam sistem hukum adat, segala
perbuatan dan keadaan yang bersifat sama disebut dengan istilah yang sama pula.
Misalnya istilah gantungan dipakai untuk menyebut segala keadaan yang belum
bersifat tetap.
Bahasa hukum lahir dan tumbuh
setapak demi setapak. Kata-kata yang terus-menerus dipakai dengan konsekuen
untuk menyebut suatu perbuatan atau keadaan, lambat laun menjadi istilah yang
memiliki isi dan makna tertentu.
Pepatah Adat
Di berbagai lingkaran hukum adat
terdapat pula pepatah adat yang sangat berguna sebagai petunjuk tentang adanya
sesuatu peraturan hukum adat. Prof. Snouck Hurgronje menegaskan bahwa pepatah
adat tidak boleh dianggap sebagai sumber atau dasar hukum adat. Pepatah adat
harus diberi interpretasi yang tepat agar terang maknanya. Pepatah adat memang
baik untuk diketahui dan disebut, akan tetapi pepatah itu tidak boleh dipandang
sebagai pasal-pasal kitab undang-undang pepatah adat tidak memuat peraturan
hukum positif.
Vergouwen menulis bahwa pepatah adat
tidak mempunyai sifat normatif seperti pasal undang-undang. Pepatah itu hanya
mengandung aliran hukum dalam bentuk yang menyolok saja.
Ter Haar berkata bahwa pepatah adat
bukan merupakan sumber hukum adat, melainkan mencerminkan dasar hukum yang
tidak tegas.
Prof. Soepomo menegaskan bahwa
pepatah adat memberi lukisan tentang adanya aliran hukum yang tertentu.
Penyelidikan Hukum Adat
Berlakunya sesuatu peraturan hukum
adat adalah tampak dalam penetapan-penetapan(putusan petugas hukum) yang
artinya dengan putusan di sini adalah perbuatan atau penolakan perbuatan dari
pihak petugas hukum dengan tujuan untuk memelihara atau untuk menegakkan hukum.
Apabila berkehendak melakukan penyelidikan setempat, maka agar memperoleh
bahan-bahan yang tepat serta berharga tentang hukum adat perhatian harus
diarahkan kepada berikut ini:
a. Research
tentang putusan-putusan petugas hukum ditempat yang bersangkutan.
b. Sikap
penduduk dalam hidupnya sehari-hari terhadap hal-hal yang sedang disoroti dan
diinginkan mendapat keterangan dengan melakukan field research itu.
Untuk mendapatkan hasil penyelidikan
sebagaimana mestinya, kenyataan sosial yang merupakan dasar bagi para petugas
hukum untuk menentukan putusan-putusannya, wajib pula diindahkan serta
dipahami. Cara melakukan field research wajib menemui para pejabat desa,
orang-orang tua, orang terkemuka, serta menanyakan fakta-fakta yang telah
dialami atau diketahui sendiri oleh mereka itu.
4.
Macam-macam hukum adat
di Indonesia terdapat banyak
macam-macam hukum adat, mulai dari sabang hingga merauke mempunyai adat dengan
ciri khasnya masing-masing, macam-macam hukum adat itu diantaranya :
Hukum Adat di Papua
Hukum adat di Papua lebih dihormati
daripada hukum nasional, sehingga meskipun suatu peristiwa telah diproses
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, masyarakat akan tetap meminta untuk
memberlakukan hukum adat.
Contoh hukum adat di Papua
yang diberlakukan kepada seseorang yang mengakibatkan seseorang meninggal dunia
dalam kecelakaan lalu lintas adalah diminta untuk mengganti kerugian dengan
uang dan ternak babi. Jumlah yang diminta dalam penggantian kerugian tersebut
relatif besar sehingga bisa dipastikan akan memberatkan pelaku untuk membayar
biaya ganti rugi dalam bentuk kas dan ternak babi.
Contoh Hukum Adat di Bali
Contoh hukum adat di Bali yang
dapat diuraikan disini adalah yang berkaitan dengan waris. Dalam sistem
pewarisan di Bali, anak laki-laki merupakan ahli waris dalam keluarga sedangkan
anak perempuan hanya mempunyai hak untuk menikmati harta yang ditinggalkan
orang tua atau suami. Hal ini disebabkan karena anak laki-laki dianggap
memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keluarga sedangkan anak perempuan
harus dan memiliki tanggung jawab yang lebih besar di lingkungan keluarga
suami.
Pada tahun 2010, telah ada
perubahan terhadap ketentuan hukum adat ini. Dimana perempuan juga dianggap
berhak untuk menerima setengah dari hak waris purusa setelah dipotong sepertiga
bagian untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian. Namun ketentuan tidak
berlaku bagi perempuan Bali yang pindah ke agama lain. Hal ini didasarkan pada
Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali (MUDP) Bali No. 01/KEP/PSM-3/MDP
Bali/X/2010, tertanggal 15 Oktober 2010, tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung
III MUDP Bali.
Hukum Adat Aceh
Dalam hukum adat semua jenis
pelanggaran memiliki jenjang penyelesaian yang selalu dipakai dan ditaati
masyarakat. Hukum dalam adat Aceh tidak langsung diberikan begitu saja meskipun
dalam hukum adat juga mengenal istilah denda. Dalam hukum adat jenis
penyelesaian masalah dan sanksi dapat dilakukan terlebih dahulu dengan
menasihati. Tahap kedua teguran, lalu pernyataan maaf oleh yang bersalah di
hadapan orang banyak biasanya di meunasah/ mesjid), kemudian baru dijatuhkan
denda. Artinya, tidak langsung pada denda sekian rupiah. Jenjang penyelesaian
ini berlaku pada siapa pun, juga perangkat adat sekalipun.
Salah satu contoh kokohnya
masyarakat dengan peranan lembaga adat seperti terlihat di Gampông Barô.
Kampung yang dulunya berada di pinggir pantai, namun tsunami menelan kampung
mereka. Berkat kepercayaan masyarakat kepada pemangku-pemangku adat di
kampungnya, masyarakat Gampông Barô sekarang sudah memiliki perkampungan yang
baru, yaitu di kaki bukit desa Durung, Aceh Besar.
Tak pernah terjadi kericuhan
dalam masyarakatnya, sebab segala macam kejadian, sampai pada pembagian bantuan
pun masyarakat percaya penuh kepada lembaga adat yang sudah terbentuk. Nilai
musyawarah dalam masyarakat adat memegang peranan tertinggi dalam pengambilan
keputusan.
Sebuah kasus pernah terjadi di
tahun 1979. Ketika itu desa Lam Pu’uk selisih paham dengan desa Lam Lhom.
Kasus itu terhitung rumit karena membawa nama desa, namun masalah dapat diselesaikan
secara adat oleh Imum Mukim. Ini merupakan bukti kokohnya masyarakat yang
menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku. Mereka tidak memerlukan polisi
dalam menyelesaikan masalah sehingga segala macam bentuk masalah dapat
diselesaikan dengan damai tanpa dibesar-besarkan oleh pihak luar.
Hukum Adat Dayak
Penjelasan mengenai hukum adat
Dayak Jalai berikut ini hanya sebuah wacana yang dimaksudkan sebagai ilustrasi
tentang adat istiadat yang berlaku, bukan sebagai pedoman tertulis atau dokumen
resmi. Artinya, dalam pelaksanaan di lapangan, hukum adat yang berlaku dapat
berbeda sesuai dengan prinsip “tanggul balik haragaq asing“ yang mengandung
pengertian bahwa keputusan mengenai suatu perkara termasuk yang menyangkut
denda adat ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang menyangkut
aspek-aspek yang mempengaruhi terjadinya perkara tersebut. Dengan kata lain,
hukum adat, meskipun telah memiliki jenis-jenis sanksi yang ditentukan
berdasarkan adat istiadat secara turun temurun, namun pelaksanaannya tergantung
dari unsur-unsur spesifik masing-masing perkara sehingga tidak ada sanksi adat
yang berlaku mutlak.
Hal ini tidak berarti bahwa
aturan-aturan dalam hukum adat merupakan “pasal-pasal karet” yang dapat
ditafsirkan sesuka hati oleh yang menafsirkan, melainkan justru menunjukkan
keunggulan hukum adat sebagai panduan moral yang lebih mengutamakan aspek
moralitas daripada materi.
Demikianlah penjelasan di
bawah ini juga bukan dimaksudkan sebagai usaha kodifikasi hukum adat Dayak
Jalai atau bagian dari usaha ke arah itu. hukum adat adalah hukum yang tidak
tertulis dan ia harus dipertahankan sebagai hukum adat hukum yang tidak
tertulis. Setiap usaha yang dilakukan untuk membuat hukum adat menjadi
Tertulis adalah usaha yang harus ditentang dan dicegah karena usaha semacam
itu melecehkan kemurnian dan keistimewaan hukum adat sebagai landasan moral
masyarakat adat Dayak Jalai khususnya dan masyarakat adat Dayak pada umumnya.
Keberadaan hukum yang tidak
tertulis sebagai bagian dari kebudayaan Dayak yang khas tidak boleh dipaksakan
agar sama dan serupa dengan hukum negara. Penafsiran terhadap setiap iota yang
berlaku dalam hukum adat harus diserahkan sepenuhnya kepada komunitas yang
bersangkutan sebagai pemilik hukum adat tersebut serta sebagai pihak yang
paling memahami latar belakang setiap hukum yang diterapkan. Pihak manapun,
termasuk pemerintah dan aparat penegak hukum tidak berhak menafsirkan hukum
adat atas persepsinya sendiri.
Sebelum mengutarakan lebih
lanjut tentang hukum adat yang berlaku dalam masyarakat adat Dayak Jalai,
terlebih dahulu akan disampaikan jenis-jenis denda adat yang berlaku.
5.
Tentang pelaksanaaan hukum adat di Indonesia
Dalam pelaksanaan saat ini,
hukum adat telah mengalami proses perubahan. Karena sesuai sifat hukum adat itu
sendiri yang dinamis, berubah ke arah yang lebih baik. Semisal dalam pemberian
sanksi adatnya.
Jika dahulu untuk menghukum
adat pelanggar atau pelaku perselingkuhan bisa dengan hukum rejam atau
ditombak, maka saat ini tidak berlaku lagi. Kebiasaan seperti itu sudah lama
ditinggalkan dan tidak boleh dilaksanakan. Begitu pula dengan hukuman mati yang
dahulu berlaku, kini sudah ditinggalkan.
Adanya perubahan sanksi hukum
adat itu, menurutnya karana masuknya agama yang mengubah pola pikir masyarakat
adat.
6.
Perbedaan sistem hukum pidana dan sistem hukum adat delik
Van Vollenhoven melukiskan perbedan
pokok aliran antara sistem hukum pidana menurut KUHP dan sistem hukum delik
adat HDA sebagai berikut:
a. Yang Dapat dipidana
1. KUHP
Yang dapat dipidana hanya badan pribadi
(person) yang berupa manusia /orang.
2. HDA
Sering terjadi bahwa sipenjahat melakukan
delik yang dilakukan disuatu tempat atau kampung, hukuman yang dikenakan adalah
wajib membayar denda atau ganti rugi kepada golangan krabat korban.
b. Dolus Dan Culpa
1. KUHP
Seorang hanya dapat dipidana apabila
perbuatan dilakukan dengan sengaja(opzet,dolus) ataupun dalam kelalaian,
kekilafan,(culpa)
2. HDA
Dilapangan hukum adat lebih banyak
terdapat kejadian-kejadian yang tidak memerlukan Pembuktian tetang adanya
kesengajaan ataupun kelalaian dari
kejahatan dilapangan.
c. Kepentingan Yang Dilanggar
1. KUHP
Tiap delik menatang kepentingan negara,
sehingga setiap delik adalah persoalan negara, bukanlah persoalan perseorangan
atau pribadi yang terkena.
2. HDA
Ada delik terutama menjadi persoalan
orang yang terkena, sekali juga menjadi persoalan golongan krabat orang terkena
dan pula mengenai kepentingan desa.
d. Pertanggung jawaban
1. KUHP
Orang yang dapat dipidana dapat
bertanggung jawab atas perbuatanya.
2. HDA
Didalam leteratur Hukum adat terdapat
pemberintaan dari wilayah minang kabau bahwa disana upaya pertahanan masyarakat
terhadap oarang gila yang membunuh orang adalah sama dengan upaya terhadap
orang normal yang melakukan tindakan yang serupa.
e. Posisi Sosial
1. KUHP
Hukum pidana barat memperlakukan orang
yang satu sma dengan yang lain, tampa diskriminasi.
2. HDA
Besar kecilnya kepentingan hukuman
seseorang sebagai individu bergntung pada kedudukan/fungsinya didalam masyarakat.
f. Menghakimi sendiri
1. KUHP
Orang dilarang bertindak sendiri untuk
menegakan hukum yang dilanggar, larangan ini berdasarkan prinsip bahwa delik
adalah persolan negara, bukan persoalan orang persorangan (pribadi).
2. HDA
Didalam sitem hukum adat terdapat keadan
yang mengizinkan kan orang terkena untuk bertindak sebagai hakim sendiri,
misalnya bila seseorang melarikan gadis, bezina, mencuri dan perbuatan itu
tertangkap tangan sedangkan pelaku di pegang oleh pihak yang terkena, pada saat
itu boleh malukan Hakim sendiri.
g. Penilaian Barang
1. KUHP
Didalam Hukum Pidana barat tidak ada perbedaan barang anatara satu
dengan yang lain, sehingga mencuri setangkai bunga sama berat hukmannya dengan mencuri sebutir
Mutiara.
2. HDA
Mencuri, Menggelapkan atau
merusak barang asal dari nenek moyang adalah lebih berat dari pada tindakan
serupa dari barang duniawi biasa
Ima Sudiyat Hukum Adat, Sketsa
Asas,penerbit Leberti, Yogyakarta,hal 174-182
7.
Cara penyelesaian hukum perkara adat
1. Penyelesaian Perkara Secara Damai
Menyelesaikan suatu perkara atau
perselisihan di dalam masyarakat adat secara damai sudah lumrah adanya atau
merupakan budaya hukum (adat) bangsa Indonesia yang tergolong tradisional. Pada
zaman Hindia Belanda penyelesaian perkara secara damai ini seringkali disebut
“Peradilan Desa” (Dorpjustitie), sebagaimana diatur dalam pasal 3 a RO,
yang sampai sekarang tidak pernah dicabut. Menurut pasal tersebut dikatakan :
(a) Semua
perkara yang menurut hukum adat termasuk kekuasaan hakim dari masyarakat hukum
kecil-kecil (hakim desa) tetap diadili oleh para hakim tersebut.
(b) Ketentuan pada
ayat dimuka tidak mengurangi sedikitpun hak yang berperkara untuk setiap waktu
mengajukan perkaranya kepada hakim-hakim yang dimaksud pasal 1, 2 dan 3 (hakim
yang lebih tinggi).
(c) Hakim-hakim
yang dimaksud dalam ayat 1 mengadili perkara menurut hukum adat, mereka tidak
boleh menjatuhkan hukuman.
Kemudian menurut penjelasan UU No.
14 tahun 1970 dikatakan bahwa semua peradilan diseluruh wilayah Indonesia
adalah peradilan negara, hal mana untuk menutup semua kemungkinan adanya atau
akan adanya lagi peradilan-peradilan swapraja atau peradilan adat yang
dilakukan oleh bukan badan peradilan negara. Ketentuan ini sekali-kali tidak
bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis, melainkan hanya akan mengalihkan
perkembangan dan penerapan hukum itu kepada peradilan-peradilan yang dilakukan
oleh bukan badan peradilan negara. Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas
dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrage) tetap diperbolehkan.
Dengan demikian
yang kita sebut peradilan adat disini adalah penyelesaian perkara secara damai,
bukan peradilan adat yang dahulu disebut “Peradilan Pribumi” atau “Peradilan
Swapraja”.
2. Penyelesaian Perkara di Muka
Peradilan
Dasar hukum perundangan yang lama
tentang pelaksanaan peradilan adat di muka Pengadilan Negara adalah pasal 75 RR
lama yang menyatakan, bahwa apabila Gubernur Jendral tidak memperlakukan
perundang-undangan golongan eropa bagi golongan bumiputera dan golong
bumiputera tidak menyatakan dengan sukarela tunduk pada hukumn perdata eropa,
maka untuk golongan Bumiputera, hakim harus melakukan hukum ( perdata ) adat,
apabila hukum adat itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar keadilan yang umum
dipakai. Tetapi jika aturan hukum adat itu bertentangan dengan dasar-dasar
keadilan atau jika terhadap perkara bersangkutan tidak ada aturan hukum
adatnya, maka hakim harus memakai dasar-dasar umum hukum perdata dan hukum
dagang eropa sebagai pedoman. (Hilman Hadikusuma 1981:152)
Jelaslah bahwa dasr hukum
perundangan pasal 75 RR lama tesebut mewarisi pasal 11 AB yang juga tidak
terlepas dari pengaruh ketentuan lama dari masa Deandles dan Raffles bahaw
hukum adat itu dapat berlaku dalam peradilan sepanjang ia tidak bertentangan
dengan asas-asas keadilan dan kepatutan yang diakui umum, atau menurut istilah
Raffles asal saja tidak bertentangan dengan “the universal adn acknowledged
priciples of natural justice” (soepomo, 1967 : 34).
Dengan demikian apabila dalam
pemeriksaan perkara hakim menganggap hukum adat yang digunakan itu bertentangan
dengan dasar-dasar keadilan yang umum, maka berdasarkan pasal 75 RR
ayat 3 jo 6 RR lama, maka hukum adat tersebut dapat di kesmapingkan.
Sebagaimana dikatakan soepomo, hakim menurut fungsinya berwenang bahkan wajib
mempertimbangkan apakah peraturan hukum adat yang telah ada yang mengenai soal
yang dihadapi, masih selaras atau sudah bertentangan dengan kenyataan sosial (sociale
werklijkheid) baru berhubungan dengan pertumbuhan situasi baru di dalam
masyarakat.
3. Pertimbangan Dalam Pemeriksaan
Perkara
Fungsi hakim dalam memeriksa dan
mempertimbangkan perkara menurut hukum adat, tidak dibatasi undang-undang.,
hakim tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan tentang pembuktian menurut
Reglement Indonesia yang baru (RIB) S. 1941 No. 44. Bagi hakim yang penting
adalah memperhatikan apakah hukum adat itu masih hidup dan dipertahankan
masyarakat adat bersangkutan, dan apakah hukum adat itu masih patut untuk
dipakai sebagai bahan pertimbangan, ataukah hukum adat itu sudah tidak sesuai
lagi dengan perasaan dan kesadaran hukum masyarakat yang umum, apakah hukum
adat itu masih mempunyai kekuatan material, ataukah malahan bertentangan dengan
tujuan pembangunan nasional.
Untuk dapat mengatur sejauh mana
aturan-aturan hukum adat itu masih mempunyai kekuatan material, dapat
diperhatikan dari hal-hal sebagai berikut :
- Apakah struktur masyarakat adatnya
masih tetap dipertahankan ataukah sudah beruba.
- Apakah kepala adat dan perangkat
hukum adatnya masih tetap berperan sebagai petugas hukum adat.
- Apakah masih sering terjadi
penyelesaian perkara dengan keputusan-keputusan yang serupa.
- Apakah akidah-akidah hukum adat yang
formal masih dipertahankan ataukah sudah bergeser atau berubah.
- Apakah hukum adat itu tidak
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar serta politik hukum
Nasional.
Jadi, agar pertimbangan hakim dalam
pemeriksaan perkara tidak sia-sia, maka kita kembali kepada pendapat van
Vollenhoven yang menyatakan “
“ jika
dari atas telah diputuskan untuk mempertahankan hukum adat padahal hukum itu sudah
mati, maka peraturan-peraturan itu sia-sia belaka. Sebaliknya jika dari atas
diputuskan bahwa hukum adat itu harus diganti, padahal didusun-dusun,
didesa-desa dan pasar-pasar hukum adat itu masih kokoh dan kuat, maka hakim
akan sia-sia belaka” ( Van vollenhoven)
KESIMPULAN
Dengan Mempelajari susunan hukum
adat yang ada di indonesia maka kita akan mudah memahami bukan saja hukum
adatnya tetapi bagaimana struktur atau susunan hukum adat itu bisa terbentuk
dan menjadi suatu tatanan hukum yang dapat dijalankan oleh seluruh masyarakat
yang terdapat dalam daerah adat tersebut. karena sesungguhnya hukum adat
dibentuk melalui kebiasaan-kebiasaan yang sudah berlangsung lama sejak nenek
moyang dulu. Dan walaupun hukum adat itu sendiri kebanyakan tidak dikodifikasikan
atau tidak tertulis, tapi hukum adat ini bisa membuat kerukunan dan ketertiban
yang sama seperti hukum-hukum nasional yang tertulis.
Daftar
Pustaka
Muhammad Bushar, Asas
Asas Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1984
Abdurrahman,
Kedudukan Hukum Adat Dalam Rangka
Pembangunan Nasional, Bandung: Alumni, 1978.
Comments
Post a Comment