PAJAK PENGHASILAN PPH PASAL 26 - maftuh mahfudz


PAJAK PENGHASILAN PPH PASAL 26


A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai :
1.1. Subjek dan Objek PPh Pasal 26 
1.2. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 
1.3. Tarif Pajak dan Penerapannya 
1.4. Sifat Pemotongan/Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak penghasilan Pasal 26 



B. URAIAN MATERI

Tujuan Pembelajaran:
Pajak Penghasilan PPh Pasal 26 


Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah penerapan dari azas sumber yang dianut dalam ketentuan Pajak Penghasilan di Indonesia. Ya, berdasarkan azas sumber, penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dinikmati oleh orang atau badan di luar Indonesia, bisa dikenakan pajak di Indonesia. Bentuk pemajakannya adalah dengan sistem witholding tax yang bersifat final yang diatur dalam Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
Dalam ketentuan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, terdapat empat jenis PPh Pasal 26 yaitu PPh Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 26 ayat (2a) dan Pasal 26 ayat (4). Masing-masing jenis PPh Pasal 26 ini memiliki ruang lingkupnya sendiri.
PPh Pasal 26 ayat (1) adalah PPh Pasal 26 pada umumnya yaitu pemotongan PPh terhadap Wajib Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Bentuk penghasilan yang dipotong pada umumnya sama dengan objek pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Bedanya, penerima penghasilan PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak luar negeri. Tulisan ini dibuat untuk menjelaskan PPh Pasal 26 ayat (1) ini sedangkan tulisan tentang PPh Pasal 26 ayat (2), ayat (2a) dan ayat (4) sudah saya buat di tautan berikut ini :
       PPh Pasal 26 Premi Asuransi (berdasarkan Pasal 26 ayat (2))
       PPh Pasal 26 Penghasilan Penjualan Saham (berdasarkan Pasal 26 ayat
(2))
       PPh Pasal 26 Penghasilan Penjualan Harta (berdasarkan Pasal 26 ayat (2))
       PPh Pasal 26 Penghasilan Penjualan Saham Antara (berdasarkan Pasal 26 ayat (2a)), dan
       PPh Pasal 26 Penghasilan Kena Pajak BUT (berdasarkan Pasal 26 ayat
(4))
Istilah PPh Pasal 26 dalam tulisan ini dimaksudkan sebenarnya pada ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu jenis PPh Pasal 26 yang pertama selain yang sudah saya tuliskan dalam tautan di atas.

Pemotong PPh Pasal 26

Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-undang Pajak Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 ayat (1)  adalah :
a.         Badan Pemerintah
Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya.
b.        Subjek Pajak Badan dalam negeri
Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia.
Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 adalah  sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
c.         Penyelenggara kegiatan
Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar dan lain-lain.
d.        Bentuk Usaha Tetap (BUT)
BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri.
Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel dan lain-lain.
e.         Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah RepresentativeOffice (RO) dari perusahaan-perusahaan asing.

Fihak Yang Dipotong PPh Pasal 26

Beda dengan pemotongan jenis pajak lain, pemotongan PPh Pasal 26 dikenakan terhadap Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap.
Pengertian Wajib Pajak luar negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Pada ketentuan ini Subjek Pajak (juga Wajib Pajak) luar negeri selain BUT adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Jadi, Wajib Pajak luar negeri seperti ini mendapatkan penghasilan dari Indonesia tanpa perlu melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga negara Singapura yang memiliki saham PT Indosat yang menerima penghasilan berupa dividen dari PT Indosat.
Di sisi lain, pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak BUT adalah hampir sama dengan Wajib Pajak dalam negeri melalui sistem self assesmentpelaporan SPT Tahunan.

Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 26

Jenis-jenis penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan adalah :
1.      dividen;
2.      bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
3.      royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan hartai;
4.      imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
5.      hadiah dan penghargaan;
6.      pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
7.      premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
8.      keuntungan karena pembebasan utang
Perhatikan bahwa objek PPh Pasal 26 ayat (1) ini adalah mirip dengan objek pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Yang membedakannya dengan PPh Pasal 26 adalah bahwa penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah
Wajib Pajak luar negeri, sedangkan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri.

Tarif dan Dasar Pengenaan

Tarif PPh Pasal 26 adalah tarif tunggal 20% dengan dasar pengenaan pajak nya adalah jumlah bruto yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri. Misalkan PT ABC di Indonesia membayarkan dividen kepada Tuan X di negara Y sebesar Rp100 Juta, maka PPh Pasal 26 yang harus dipotong adalah 20% x Rp100 Juta = Rp20 Juta.
Pengenaan PPh Pasal 26 juga tergantung kepada perjanjian perpajakan (P3B) dengan negara lain. Biasanya dalam P3B ditentukan tarif yang lebih rendah untuk pemotongan PPh Pasal 26 atas dividen, bunga, royalti dan/atau penghasilan lainnya. Apabila ada P3B, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan P3B bukan ketentuan domestik berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia.



C. DAFTAR PUSTAKA


1.      Undang Undang No. 16 tahun 2009 sebagai hasil penyempurnaan atas UndangUndang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 
2.      Undang Undang No. 36 tahun 2008 sebagai hasil penyempurnaan atas
UndangUndang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan 
3.      Undang Undang No. 42 tahun 2009 sebagai hasil penyempurnaan atas Undang Undang No. 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai. 
4.      Undang Undang No. 42 tahun 2009 sebagai hasil penyempurnaan atas Undang Undang No. 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai.
5.      Undang Undang No. 20 tahun 2000 sebagai hasil penyempurnaan atas Undang Undang No. 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 
6.      Undang Undang No. 12 tahun 1994 sebagai hasil penyempurnaan atas Undang Undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bngunan
7.      Undang Undang No. 13 tahun 1985 tentang Bea Materai 
8.      Mardiasmo, Perpajakan, Edisi revisi 2011, Penerbit Andi, Jakarta, 2011 
9.      Diaz Priantara, Perpajakan Indonesia Edisi 2 , Penerbit Mitra Wacana Media, Jakarta, 2012 
4.      Waluyo, Perpajakan Indonesia, Edisi 10, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2011 
5.      Siti Resmi, Perpajakan “Teori dan Kasus”, Edisi 6, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2012 
6.      Referensi dan buku-buku lain yang berkaitan dengan materi yang dibahas.



















Comments

Popular posts from this blog

proposal sound system majelis syifaul qolbi

MENYUSUN MATRIKS PENELITIAN HUKUM

SUSUNAN MASYARAKAT HUKUM ADAT maftuh mahfudz