DATA PENELITIAN DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA serta Teknik Wawancara



DATA PENELITIAN DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai data penelitian dan teknik pengumpulan data, Anda harus mampu:
1.1 Memahami dan menjelaskan apa itu wawancara dalam suatu penelitian
1.2 Memahami dan menjelaskan observasi dalam suatu penelitian

B. URAIAN MATERI

Tujuan Pembelajaran 1.1:
DATA PENELITIAN DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA
“WAWANCARA”

A. Terminologi dan Teknik Wawancara

Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi dangan bertanya langsung pada yang diwawancarai. Wawancara merupakan suatu proses informasi dan komunikasi hasil wawancara ditntukan oleh beberapa faktor yang berinteraksi dan memengaruhi arus informasi. Faktor-faktor tersebut adalah: (1) pewawancara; (2) yang diwawancara; (3) topik penelitian yang tertuang dalam pertanyaan; dan (3) situasi wawancara.
Pewawancara menyampaikan pertanyaan-pertanyaan kepada yang diwawancarai untuk dapat menjawab, menggai jawaban lebih dalam, dan mencatat jawaban dari yang diwawancarai. Syarat untuk menjadi pewawancara yang baik adalah memiliki keterampilan mewawancarai, memiliki motivasi yang tinggi, dan memiiki rasa agar tidak ragu-ragu dan takut menyampaikat pertanyaan.
Pihak yang diwawancari menyampaikan jawaban-jawaban dari pertanyaan yang disampaikan pewawancara sehingga mutu jawaban yang diberikan tergantung pada apakah ia dapat menanggapi isi pertanyaan dengan tepat serta bersedia menjawab dengan baik. Topik penilitian atau hal-hal yang ditanyakan dapat memengaruhi kelancaran dan hasil wawancara karena kesediaan yang diwawancarai unuk menjawab tergantung pada apakah ia tertari pada masalah itu atau tidak.
Sementara situasi wawancara ialah situasi yang timbul karena faktor-faktor waktu, tempat, ada tidaknya orang ketiga, dan sikap masyarakat pada umumnya.
Sebelum wawancara dimulai, pewawancara harus berusaha menciptakan hubungan bauk dengan yang diwawancarai. Usaha demikian ini disebut dengan mengadakan rapport. Rapport ialah suatu situasi psikologis yang menunjukan bahwa yang diwawancarai bersedia bekerjasama, bersedia memberikan jawaban dan informasi yang benar. Hubungan bak dalam wawancara ini terjadi apabila yang diwawancarai merasa bebas untuk memberikan informasi tanpa adanya tekanan-tekanan, bahkan terangsang untuk berbicara. Dalam melaksanakan tugas mwlakukan waawncara, pewawancara harus sadar bahwa pewawancara membutuhkan yang diwawancarai dan bukan sebaliknya.
Untuk mencapai tujuan wawancara, pewawancara perlu memperhatikan hal-hal di antaranya: (a) berpakaian sederhana dan rapi; (b) bersikap rendah hati; (c) bersifat hormat pada yang diwawancara; (d) bersikap ramah dalam sikap dan ucapan tetapi efisien tanpa banyak basa-basi; (e) bersikap penuh pengertian terhadap yang diwawancarai; (f) bersifat netral dan adil terhadap semua yang diwawancarai; dan (g) bersikap sebagai pendengar yang baik pada waktu yang diwawancarai memberikan jawaban.
Kunjungan ke tempat tinggal atau ketempat kerja yang diwawancarai diusahakan secara terencana supaya hasilnya dapat dicapai semaksimal mungkin. Perlu diutamakan kunjungan yang diwawancarai yang bertempat tinggal berdekatan. Perlu dipilih waktu yang tepat untuk berkunjung dengan memperhatikan jenis dan jadwal pekerjaan yang diwawancarai. Sebaiknya yang diwawancarai-lah yang menentukan waktunya. Kunjungan pewawancara sebaiknya dilakukan seorang diri dan pada waktu wawancara hanya seorang diri pula.
Wawancara itu sendiri pada dasarnya memerlukan beberapa syarat :
a.      Sebelum wawancara dilakukan pewawancara sudah harus tahu hal-hal yang nantinya akan ditanyakan dan tidak boleh mengarang – ngarang pertanyaan.
b.      Sebagai pendahuluan dari wawancara yang sebenarnya pewawancara harus terlebih dahulu menciptakan hubungan yang baik (rapport). Hal ini penting untuk menghikangan kecemasan orang yang diwawancarai, memberikan jaminan padanya bahwa jawaban-jawabanya tidak akan menimbulkan konsekuensi yang merugikan dirinya dan membangkitkan keinginan untuk bekerjasama.
c.       Selama wawancara berlangsung pewawancara harus waspada dalam menghadapi saat – saat krisis , yaitu ketika yang diwawancarai mulai mengalami kesukaran untuk tetap memberikan jawaban yang sebenarnya. Kesulitan ini dapat timbul karena pertanyaan yang diberikan terasa menyangkut segi kehidupan yang sangat mendalam atau jawaban yang jujur dirasakan oleh yang bersangkutan sebagai hal yang mengancam harga dirinya. Dalam hal demikian ini, pewawancara harus mampu memelihara situasi yang baik dengan berbagai cara. Misalnya, dengan mengalihkan pembicaraan ke topik yang lain dan baru kemudian mengulang kembali pertanyaan yang menimbulkan saat krisis tadi dalam menghadapi jawaban yang tidak jujur, pewawancara harus siap dengan pertanyaan desakan (probe question), yaitu pertanyaan-pertanyaan yang menjebak jawaban yang benar. Dalam melakukan desakan ini, harus dijaga agar yang diwawancarai tidak merasa dipojokkan dan kemudian merasa tidak senang kepada pewawancara. Ketidak senangan yang diwawancarai akan merusak suasana kerja sama.
d.      Penutup wawancara hendaknya merupakan usaha agar yang tidak diwawancarai tidak merasa (habis manis sepah di buang).
Selanjutnya, berdasarkan pada peran wawancara, dapat dibedakan tipetipe wawancara, yaitu:
a.       Wawancara tidak terarah;
b.      Wawancara terarah;
c.       Wawancara yang difokuskan;
d.      Wawancara mendalam; dan
e.       Wawancara yang diulang-ulang.
Ciri utama wawancara tidak terarah (non-directive intervieuw) adalah seluruh wawancara yang tidak didasarkan pada suatu sistem atau daftar pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu. Pewawancara tidak memberikan pengarahan yang tajam, tetapi diserahkan pada yang diwawancara untuk memberikan penjelasan menurut kemauan sendiri. wawancara demikian ini juga disebut (free flowing interview). Keuntungan penggunaan wawancara tipe ini antara lain :
a.       Mendekati keadaan yang sebenarnya karena didasarkan pada spontanitas yang diwawancarai;
b.      Lebih mudah untuk mengidentifikasikan masalah yang diajukan oleh pewawancara; dan
c.       Lebih banyak kemungkinan untuk menjelajahi bebagai aspek dari masalah yang diajukan.
Kelemahan penggunaan wawancara tipe ini antara lain adalah:
a.       Sukar untuk membandingkan hasil wawancara yang satu dengan yang lain;
b.      Sering terjadih tumpang tindih dalam pengumpulan data;
c.       Sukar untuk mengolah data dan mengadakan klasifikasi, sehingga harus disediakan banyak waktu dan tenaga yang sebenarnya tidak perlu.
Pada wawancara terarah (directive interview), terdapat pengarahan atau struktur tertentu, yaitu:
a.       Ada rencana pelaksaan wawancara;
b.      Mengatur daftar pertanyaan serta membatasi jawaban-jawaban;
c.       Memerhatikan karakteristik pewawancara maupun yang diwawancarai;
d.      Membatasi aspek-aspek masalah yang diperiksa;
e.       Mempergunakan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan.
Wawancara yang difokuskan (focused interview) wawancara dimana yang diwawancarai mempunyai pengalaman melakukan tingkah laku-tingkah laku bersama-sama dengan pelaku utama yang menjadi objek penelitian. Wawancara dilakukan untuk mengetahui akibat-akibat dari pengalamanpengalaman itu terhadap para pelaku peserta dengan cara menyoroti akibatakibat aktual dari pengalaman-pengalaman sebagaimana yang digambarkan oleh para pelaku peserta. Penggunaan wawancara yang difokuskan didasarkan pada asumsi bahwa dengan menggunakan teknik tersebut akan diungkapkan reaksi-reaksi pribadi, perasaan-perasaan, dan faktor-faktor mentalitas. Untuk itu, diperlukan persiapan dari pihak pewawancara berupa kepekaan terhadap situasi yang dihadapi.
Wawancara mendalam (deph interview) merupakan prosedur yang dirancang untuk membangkitkan pernyataan-pernyataan secara bebas yang dikemukakan bersungguh-sungguh secara terus terang. Apabila dilakukan dengan berhati-hati dan dengan keahlian yang tinggi, wawancara yang dalam dapat mengungkapkan aspek-aspek penting dari suatu situasi psikologis yang tidak mungkin diketahui untuk memahami tingkah laku-tingkah laku yang diamati serta pendapat-pendapat dan sikap-sikap yang dilaporkan. Dalam penerapanya, wawancara mendalam memerlukan memerlukan suatu keahlian dan keterampilan tersebut tidak dimiliki, sebaiknya tidak dipergunakan wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data penelitian. Kadangkadang diterapkan dengan cara agresif dengan tidak diberikan waktu kepada yang mewawancarai untuk berhenti sebentar dalam memberikan jawaban. Cara demikian ini disebut “rapid fire question”.
Wawancara yang diulang-ulang (reapeted interview) adalah wawancara yang berguna untuk menelusuri perkembangan proses-proses sosial ataupun psikologis tertentu agar diketahui segi-segi dinamis dari aksi-aksi manusia serta faktor-faktor yang memengaruhi pola-pola tingkah laku tertentu dalam situasi tertentu. Wawancara demikian ini memerlukan waktu yang lama, biaya yang tinggi dan membutuhkan banyak tenaga yang memengaruhi pembentukan pola-pola tingkah laku. Datanya dapat dtabulasikan dan dainalisis secara kuantitatif, sehingga dapat ditarik generalisasi secara statistik.

Tujuan Pembelajaran 1.2:
DATA PENELITIAN DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA
“OBSERVASI”

B. Pengamatan atau Obervasi


Pengamatan atau observasi adalah kegiatan pengumpulan data penelitian dengan cara melihat langsung objek penelitain yang menjadi fokus penelitian. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengamatan merupakan pengamatan ilmiah adalah sebagai berikut:
a.       Pengamatan harus didasarkan pada suatu kerangka penelitian ilmiah
b.      Pengamatan harus dilakukan secara sistematis, metodologis dan konsisten
c.       Pencatatan data hasil pengamatan juga harus dilakukan secara sistematis, metodologis, dan konsisten
d.      Dapat diuji kebenaranya secara empiris
Ruang lingkup dan ciri-ciri pokok pengamatan ilmiah adalah:
a.       Mencangkup seluruh konteks sosial dimana tingkah laku yang diamati terjadi;
b.      Mengidentifikasi semua peristiwa penting yang memengaruhi hubungan antara orang-orang yang diamati;
c.       Mengidentifikasi apa yang sungguh-sungguh merupakan kenyataan;
d.      Mengidentifikasi keteraturan-keteraturan dengan cara mengadakan perbandingan dengan situasi-situasi sosial lain.
Bentuk-bentuk pengamatan terdiri dari :
a.       Pengamatan sistematis dan pengamatan tidak sistematis
Pengamatan tidak sistematis merupakan cara pengamatan yang terikat pada syarat-syarat seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Sementara itu, pengamatan tidak sistematis dilakukan dengan tidak sengaja dan untuk maksud-maksud yang kurang jelas bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Pengamatan sistematis juga disebut pengamatan yang berstruktur karena terikat oleh suatu struktur tertentu sebagai suatu kegiatan.
b.      Pengamatan terlibat (participan observation)dan pengamatan tidak terlibat (nonparticipan observation).
Pada pengamatan terlibat pengamatan menjadi bagian dari konteks sosial yang sedang diamati. Selama kehadiran pengamatan tidak mengubah situasi sosial yang ada, pengamatan terlibat merupakan teknik yang ideal. Akan tetapi, mungkin timbul faktor-faktor yang mengurangi kebenaran hasil pengamatan tersebut. Misalnya pengamatan terlibat secara emosianal. Selain itu, ada situasi tertentu yang membuat peneliti sukar sekali untuk menjadi pengamat terlibat. Misalnya pengamatan terhadap pelangaran-pelangaran hukum, seperti pembunuh, perampok, pencuri pelacur, penjudi, dan lain sebagainya. Sementara itu pengamatan tidak terlibat, pengamatan tidak beralih menjadi anggota kelompok yang diamati. Hal ini sering kali menimbulkan kesulitan bagi pengamat karena hubungan antara pengamat dengan yang diamati menjadi formal dan kaku, dan memungkinkan memunculkan kecurigaan-kecurigaan pada pihak yang diamati. Pengamat harus memiliki keterampilan tertentu agar sikap curiga dan prasangka dapat dihilangkan.
Dalam memilih pengamatan sebagai teknik untuk mengumpulkan data, peneliti mempertimbangkan hal-hal antara lain: (a) masalah yang diteliti; (b) keterampilan dan ciri-ciri pengamat; dan (c) ciri-ciri yang diamati. Apabila data yang harus dikumpulkan menyangkut beberapa aspek kehidupan seharihari, tidak ada pilihan lain selain mengadakan pengamatan pada saat itu juga. Kerangka teoritis tertentu mansyaratkan pengumpulan data dengan mempergunakan teknik pengamatan, misalnya yang menyangkut etnometodologi, fenomenologi, interaksionisme. Dalam penelitian-penelitain seperti itu, pengamatan dipergunakan sebagai teknik pengumpulan data yang utama.
Penyelengaraan pengamatan akan berjalan lancar apabila tidak timbul halangan-halangan yang berasal dari pihak pengamat maupun yang berasal dari pihak yang diamati. Untuk itu, ada beberapa ciri-ciri pihak yang diamati perlu diperhatikan oleh peneliti. Ciri-ciri tersebut antara lain menyangkut faktor-faktor: pekerjaan; ekonomi; politik dan hukum; Kebudayaan khusus (sub-culture); dan sifat normatif.
Berkaitan dengan faktor pekerjaan, kadang-kadang proses pengamatan terkait pada situsi birokrasi dan profesi, dimana pengamat harus tunduk pada izin dan persyaratan yang ditentukan untuk mengadakan pengamatan. Misalnya pada ruang lingkup tertentu saja, dengan menggunakan alat-alat yang ditentukan. Berkaitan dengan faktor ekonomi, pengalaman para pengamat di negara-negara lain menunjukan bahwa lebih mudah mengadakan pengamatan terhadap orang-orang dengan status ekonomi rendah dari pada terhadap orang-orang dengan status ekonomi tinggi. Berkaitan dengan faktor politik dan hukum, ada golongan-golongan tertentu yang secara politis tidak boleh diganggu dengan pengamatan-pengamatan. Misalnya mereka yangmenduduki jabatan tinggi. Keadaan demikian ini disahkan oleh hukum, baik hukum tertulis maupun tidak tertulis. Berkaitan dengan faktor kebudayaan khusus, dalam masyarakat kadang-kadang terdapat kebudayaan khusus yang berlawanan (counter culture) dengan kebudayaan umum. Kebudayaan yang khusus ini sering kali menolak pengamatan-pengamatan terhadap mereka. Berkaitan dengan faktor normatif, pengamat perlu sekali mempertimbangkan norma hukum, norma kesusilaan, norma kesopanan, norma kepercayaan yang berlaku di masyarakat yang menjadi objek pengamatan.

C.DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Amiruddin    dan     Zainal    Asikin,    Pengantar    Metode    Penelitian    Hukum,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
Bruggink, J.J.H, Refleksi tentang Hukum, Alih Bahasa: Arief Sidartha, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
E. Saefullah Wiradipradja, Penuntun Praktis Metode Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah Hukum, Keni Media, Jakarta, 2015.
Ibrahim, J., Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2007.
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Kencana, Jakarta, 2014.
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.
Prasetya Irawan, Logika dan Prosedur Penelitian: Pengantar Teori dan Panduan Praktis Penelitian Sosial bagi Mahasiswa dan Peneliti Pemula, STIA-LAN Press, Jakarta, 2000.
Roni Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013.
Soetandyo    Wignjosoebroto,            Hukum             Paradigma,     Metode            dan      Dinamika Masalahnya, Huma, Jakarta, 2002.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI, Jakarta, 1986.
------------------------ dan Sri Mamuji, Metode Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010.
Sri Mamudji dkk., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.
Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), Alfabeta, Bandung, 2013.
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Alumni, Bandung, 1994.


Comments

Popular posts from this blog

proposal sound system majelis syifaul qolbi

MENYUSUN MATRIKS PENELITIAN HUKUM

SUSUNAN MASYARAKAT HUKUM ADAT maftuh mahfudz