Dasar Hukum Pelaksanaan Birokrasi birokrasi di indonesia maftuh mahfudz
Dasar
Hukum Pelaksanaan Birokrasi
- PERPRES
Nomor: 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 2025
- PERMENPAN
RB Nomor: 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010 2014.
- PERMENPAN
RB tentang:
Gambaran
Umum Kondisi Birokrasi Di Indonesia
Di negara-negara berkembang, tipe birokrasi yang di
idealkan oleh Max Weber nampak belum dapat berkembang dan berjalan dengan baik.
Sebagai salah satu Negara yang berkembang Indonesia tidak terlepas dari realita
di atas. Meski sudah mengenal birokrasi yang modern, namun jauh sebelum itu,
masyarakat Indonesia sudah mengenal dan menerapkan sejenis “ birokrasi kerajaan
” yang feudal-aristokratik. Sehingga dalam upaya penerapan birokrasi
modern,yang terjadi hanyalah bentuk luarnya saja, belum tata nilainya.
Sebagaimana yang diteapkan di Indonesia lebih mendekati pengertian Weber
mengenai “ dominasi patrimonial”, dimana jabatan dan perilaku di dalam hirarki
lebih di dasarkan pada hubungan pribadi.
Dalam model Max Weber, tentang dominasi birokrasi
patrimonial individu-individu dan golongan yang berkuasa mengontrol kekuasaan
dan otoritas jabatan untuk kepentingan ekonomi politik mereka. Ciri-ciri
dominasi birokrasi patrimonial ala Max Weber yang hampir secara keseluruhan
terjadi di Indonesia antara lain:
1. Pejabat-pejabat disaring atas kinerja pribadi
2. Jabatan di pandang sebagai sumber kekuasaan atau
kekayaan
3. Pejabat-pejabat mengontrol,baik fungsi politik ataupun
administrative
4. Setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan
politik
5. Penampilan Birokrasi Pemerintah Indonesia
Tidak mudah mengindentifikasi
penampilan birokrasi Indonesia. Namun perlu dikemukakan lagi, bahwa organisasi
pada prinsipnya berintikan rasionalitas dengan kriteria-kriteria umum, seperti
efektivitas, efisiensi, dan pelayanan yang sama kepada masyarakat. Ada beberapa
aspek pada penampilan birokrasi di Indonesia,antara lain:
1. Sentralisasi yang cukup kuat
Sentralisasi sebenarnya merupakan salah satu cirri umum
yang melekat pada birokrasi yang rasional. Di Indonesia, kecenderungan
sentralisasi yang amat kuat merupakan salah satu aspek yang menonjol dalam
penampilan birokrasi pemerintah. Hal ini disebabkan karena birokrasi pemerintah
bekerja dan berkembang dalam lingkungan yang kondusif terhadap hidup dan
berkembangya nilai-nilai sentralistik tersebut.
2. Menilai tinggi keseragaman dan struktur birokrasi
Sama seperti sentralisasi, keseragaman dalam struktur juga
merupakan salah satu ciri umum yang sering melekat pada setiap organisasi
birokrasi. Di Indonesia, keseragaman atau kesamaan bentuk susunan, jumlah unit,
dan nama tiap unit birokrasi demikian menonjol dalam stuktur birokrasi
pemerintah.
3. Pendelegasian wewenang yang kabur
Dalam birokrasi Indonesia, nampaknya pendelegasian wewenang
masih menjadi masalah. Meskipun struktur birokrasi pada pemerintah Indonesia
sudah hirarkis, dalam praktek perincian wewenang menurut jenjang sangat sulit
dilaksanankan. Dalam kenyataanya, segala keputusan sangat bergantung pada
pimpinan tertinggi dalam birokrasi. Sementara hubungan antar jenjang dalam
birokrasi diwarnai oleh pola hubungan pribadi.
4. Kesulitan menyusun uraian tugas dan analisis jabatan
Meskipun perumusan uraian tugas dalam birokrasi merupakan
kebutuhan yang sangat nyata, jarang sekali birokrasi kita memilikinya secara
lengkap. Kalaupun ada sering tidak dijalankan secara konsisten. Di samping
hambatan yang berkaitan dengan keterampilan teknis dalam penyusunannya,
hambatan yang dirasakan adalah adanya keengganan merumuskannya dengan tuntas.
Kesulitan lain yang dihadapi birokrasi di Indonesia adalah kesulitan dalam
merumuskan jabatan fungsional. Secara mendasar, jabatan fungsional akan
berkembang dengan baik jika di dukung oleh rumusan tugas yang jelas serta
spesialisasi dalam tugas dan pekerjaan yang telah dirumuskan secara jelaas
pula. Selain itu, masih banyak lagi aspek-aspek lain yang menonjol dalam
birokrasi di Indonesia, diantaranya adalah perimbangan dalam pembagian
penghasilan, yaitu selisih yang amat besar antara penghasilan pegawai pada
jenjang tertinggi dan terendah.
Kelemahan
Birokrasi Di Indonesia
Keluhan tentang birokrasi Indonesia umumnya bermuara pada
penilaian bahwa birokrasi di Indonesia tidak netral. Kenyataan tersebut tidak
dapat dipungkiri, apalagi melihat praktek sehari-hari dimana birokrasi terkait
dengan lembaga lainnya. Oleh karena itu, birokrasi pemerintah tidak mungkin
dipandang sebagai lembaga yang berdiri sendiri, terlepas dari lembaga-lembaga
lainnya.
Dalam realitanya, yang menggejala di Indonesia saat ini
adalah praktek buruk yang menyimpang dari teori idealismenya Weber. Dalam
prakteknya, muncul kesan yang menunjukkan seakan-akan para pejabat dibiarkan
menggunakan kedudukannya di birokrasi untuk kepentingan diri dan kelompok. Ini
dapat dibuktikan dengan hadirnya bentuk praktek birokrasi yang tidak efisien
dan bertele-tele.
Harapan Model Birokrasi Masa Depan
Kebutuhan yang nyata saat ini dalam praktek birokrasi
adalah bagaimana memenuhi kebutuhan konkret dari masyarakat. Kebutuhan akan
peningkatan kualitas kehidupan politik menjadi suatu tuntutan yang tak
terhindarkan. Kondisi birokrasi Indonesia yang masih bercorak patrimonial,
adalah merupakan benang sejarah yang perlu diperhatikan dengan seksama. Dalam
perkembangan kearah modernisasi menuntut adanya peningkatan kualitas administrasi
dan manajemen.
Selain itu, dalam menghadapi kondisi saat ini dan menjawab
tantangan masa sekarang, birokrasi Indonesia diharapkan mempunyai
kharakteristik yang mampu bersifat netral, berorientasi pada masyarakat, dan
mengurangi budaya patrimonial di dalam birokrasi tersebut.
Pengertian Good
Governance
Dari segi administrasi pembangunan, good
governance didefinisikan sebagai berikut:
Kerangka kelembagaan
secara keseluruhan dalam Wich warganya diperbolehkan untuk berinteraksi dan
bertransaksi secara bebas , pada tingkat perbedaan , untuk memenuhi apirations
politik , ekonomi dan sosial . Pada dasarnya , pemerintahan yang baik memiliki
tiga aspek :
( I) kemampuan warga untuk
mengekspresikan pandangan dan acces pengambilan keputusan secara bebas ;
( Ii ) Kapasitas lembaga
pemerintah ( baik politik dan birokrasi ) untuk menerjemahkan
pandangan-pandangan ini ke dalam rencana yang realistis dan menerapkannya biaya
efektif ; dan
( Iii ) Kemampuan warga
negara dan lembaga untuk membandingkan apa yang telah meminta dengan apa yang
telah direncanakan , dan membandingkan apa yang telah direncanakan dengan apa
yang telah dilaksanakan " .
Sedangkan dari segi teori pembangunan, good
governance diartikan sebagai berikut:
kerangka plitical dan
birokrasi yang menyediakan lingkungan Macra - ekonomi yang
memungkinkan untuk investasi dan pertumbuhan , yang mengejar kebijakan
distribusi dan ekuitas terkait ; yang membuat intervensi kewirausahaan kapan
dan di mana diperlukan dan yang praktek prinsip-prinsip manajemen yang jujur
dan afficient . Sebuah kepemimpinan politik berkomitmen dan imajinatif
disertai dengan birokrasi yang efisien dan akuntabel tampaknya menjadi kunci
untuk pembentukan pemerintahan yang baik di sebuah negara . "
2. Latar
Belakang Good Governance
Jika ditarik lebih jauh, lahirnya wacana good governance
berakar dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada praktik pemerintahan,
seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Penyelenggaraan urusan publik yang
bersifat sentralistis, non-partisipatif serta tidak akomodatif terhadap
kepentingan publik, telah menumbuhkan rasa tidak percaya dan bahkan antipati
kepada rezim pemerintahan yang ada. Masyarakat tidak puas dengan kinerja
pemerintah yng selama ini dipercaya sebagai penyelenggara urusan publik.
Beragam kekecewaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan tersebut pada akhirnya
melahirkan tuntutan untuk mengembalikan fungsi-fungsi pemerintahan yang ideal.
Good governance tampil sebagai upaya untuk memuaskan dahaga publik atas kinerja
birokrasi yang sesungguhnya.
3. Prinsip-Prinsip Good Governance
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas
prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan
tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai
bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance.
Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu
persatu sebagaimana tertera di bawah ini:
1. Partisipasi Masyarakat
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan
keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah
yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun
berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas
untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2. Tegaknya Supremasi Hukum
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang
bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
3. Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas.
Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses
oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai
agar dapat dimengerti dan dipantau.
4. Peduli pada Stakeholder
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus
berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
5. Berorientasi pada Konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani
kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus
menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan
bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
6. Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki
atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
7. Efektifitas dan Efisiensi
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan
hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber
daya yang ada seoptimal mungkin.
8. Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan
organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat
maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban
tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang
bersangkutan.
9. Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas
dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia,
serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan
tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas
kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
4. Pilar-pilar Good Governance
Good Governance hanya bermakna bila keberadaannya ditopang
oleh lembaga yang melibatkan kepentingan publik. Jenis lembaga tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Negara
- Menciptakan
kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil
- Membuat
peraturan yang efektif dan berkeadilan
- Menyediakan
public service yang efektif dan accountable
- Menegakkan
HAM
- Melindungi
lingkungan hidup
- Mengurus
standar kesehatan dan standar keselamatan public
2. Sektor Swasta
- Menjalankan
industri
- Menciptakan
lapangan kerja
- Menyediakan
insentif bagi karyawan
- Meningkatkan
standar hidup masyarakat
- Memelihara
lingkungan hidup
- Menaati
peraturan
- Transfer
ilmu pengetahuan dan tehnologi kepada masyarakat
- Menyediakan
kredit bagi pengembangan UKM
3. Masyarakat Madani
- Menjaga
agar hak-hak masyarakat terlindungi
- Mempengaruhi
kebijakan publik
- Sebagai
sarana cheks and balances pemerintah
- Mengawasi
penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah
- Mengembangkan
SDM
- Sarana
berkomunikasi antar anggota masyarakat
5.
Pemberantasan KKN
Salah satu program good governance adalah pemberantasan
korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi menurut klitgoard ditimbulkan karena ada
monopoli, kekuasaan, dan diskresi yang begitu besar. Selama masih ada
sentralisasi kekuasaan dan aturan-aturan yang tidak jelas dan tidak ada
pertanggung jawaban public maka akan menimbulkan peluang korupsi. Di Indonesia
dapat kita lihat peluang korupsi begitu besar, birokrasi begitu panjang gaji
pegawai negeri yang kecil, tidak adanya system public complain dan hamper semua
partai politik mencari uang untuk membesarkan partainya.
Korupsi itu bukan merupakan kejahatan kalkulasi, dan bukan
kejahatan orang bodoh, karena korupsi merupakan kejahatan rasional, orang akan
melakukan korupsi jika keuntungan banyak dan resikonya kecil. Di Indonesia
peluang ini terbuka lebar, tidak ada hukuman yang jelas, tidak ada ancaman
untuk dikucilkan,dicemohkan. Ancaman hukuman menjadi tidak jelas karena
pengadilan sudah dikuasai oleh para mafia,hukum selalu dan diperjual belikan,
putusan pengadilan selalu dimenangkan oleh penawar yang lebih tinggii.
Sejak era reformasi bergulir,dipertengahan tahun 1998,
masalah korupsi menjadi salah satu kajian menarik untuk dibicarakan dan
diangkat kepermukaan. Usaha-usaha pemberantasan korupsi di Indonesia secara
yuridis sudah dimulai sejak tahun 1957 dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemberantasan Korupsi; Peraturan Penguasa Militer Angkatan Darat dan Laut Nomor
Prt/PM/06/1957 dan Peraturan Penguasa, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi.
Kemudian dilanjutkan dengan usaha-usaha pemberantasan
korupsi oleh pemerintah sejak awal 1970-an yaitu dengan dikeluarkannya
Keputusan Presiden No, 228/1976 Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) hingga lahirnya
UU No. 3/1971 tentang Tindak Pidana Korupsi. Begitu juga dengan pembinaan upay
pembinaan pejabat-pejabat telah ditingkatkan melalui pengawasan yang ketat,
baik yang dilakukan oleh intern departemen dan lembaga maupun secara ekstern
oleh Mentri Aparatur Negara. Namun seiring dengan pesatnya pembangunan, terasa
pula semakin menigkatnya kebocoran dalam pembangunan, terbukti dengan
kasus-kasus korupsi yang menyangkut kerugian Negara milyaran hingga triliyunan
rupiah.
Seiring dalam upaya pencegahan dan pemberantasan KKN, serta
peran masyarakat untuk mencegah dan memberantasnya,maka pemerintah Indonesia
telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain; UU No.
3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU No. 11/1980 tentang
Pemberantasan tindak Pidana suap; UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih dan Bebas dari Koripsi, Kolusi dan Nepotisme; UU No. 31/1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU No. 20/2001 tentang Perubahan
atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU No. 30/2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; PP No. 30/1980 tentang
Disiplin Pegawai Negeri sipil; PP No. 71/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegah dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Instruksi Presiden No. 5 /2004
tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Lalu dibentuk pula Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK) berdasarkan UU No. 30/2002, maka Komisi Pemeriksaan Kekayaan
Penyelenggara Negara (KPKPN) sebagaimana diatur dalam UU No. 28/1999 menjadi
bagian Komisi Pemberantasan Korupsi.
Definisi korupsi Indonesia banyak sekali, dalam arti luas,
korupsi berarti menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi. Jabatan adalah
kedudukan kepercayaan. Seseorang diberi wewenang atau kekuasaan untuk bertindak
atas nama lembaga. Lembaga itu bisa lembaga swasta, lembaga pemerintah, atau
lembaga nirlaba.
Korupsi berarti memungut uang bagi layanan yang sudah
seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang
tidak sah. Korupsi adalah tidak melaksanakan tugas karena lalai atau sengaja.
Korupsi juga bisa dinyatakan sebagai suatu pemberian, dalam
prakteknya korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungan dengan
jabatan tanpa ada catatan administrasinya. Secara hukum pengertian korupsi
adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang tindakpidana korupsi. Untuk tulisan
ini pengertian korupsi lebih ditekankan pada perbuatan yang merugikan
kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi atau
golongan.
Namun dalam praktek ternyata masalah pemberantasan korupsi
tidak cukup hanya dilaksanakan dengan pendekatan hukum semata-mata, karena
penyakit ini sudah menyebar luas ke seluruh tatanan sosial dan pemerintahan
hampir di semua negara. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan tidak hanya
semata-mata bersifat represif, tetapi seharusnya juga bersifat preventif dan
rehabilitatif.
Pendekatan preventif yang ampuh antara lain dengan
menciptakan iklim kerja yang sehat dalam lingkup tugas pemerintahan, baik
ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. Tanpa langkah preventif dimaksud, maka
pemberantasan korupsi hanya akan berhasil mengatasi gejalanya saja dan bukan
menghancurkan akar penyebab dan sumber penyakit korupsi yang justru tumbuh
subur di kalangan masyarakat.
Langkah preventif berdaya guna harus juga diarahkan pada
upaya untuk memberdayakan seluruh komponen dalam masyarakat, baik tua maupun
muda, serta melalui lembaga-lembaga peradilan agar semua lapisan masyarakat
memiliki semangat untuk membenci korupsi. Langkah ini diharapkan dapat
menciptakan budaya anti korupsi di kalangan masyarakat luas.
Dalam hal ini maka kultur masyarakat Indonesia yang
bersifat paternalistik tidak boleh dilihat sebagai penghambat untuk
melaksanakan upaya preventif dan upaya represif tersebut di atas, melainkan
harus dilihat sebagai hal yang potensial yang memiliki daya guna yang tinggi
untuk memberantas korupsi. Caranya adalah dengan menumbuhkan kebiasaan baik
untuk tidak menerima atau meminta upeti dan harus selalu memelihara konsistensi
antara sikap dan ucapan. Sumber penyebab meminta upeti dikalangan pejabat
pemerintah ialah karena mereka memiliki keserakahan atau dalam bahasa agamais,
karena mereka termasuk orang yang kurang atau tidak bersyukur atas banyaknya
nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan Yang maha Esa kepada mereka. Berlainan
halnya dengan perbuatan mencuri yang dilakukan oleh mereka yang berada
dilapisan bawah dan sering dilakukan dalam keadaan terpaksa, karena hanya untuk
sekedar mempertahankan diri agar tetap hidup.
Masalah korupsi di daerah saat ini juga semakin rumit jika
dilihat pada sektor swasta yang tumbuh dan berkembang di daerah, apalagi dengan
dibukanya arus penanaman modal asing untuk langsung masuk ke daerah melalui
prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, maka sudah tentu jika tidak
diatur secara ketat akan menimbulkan efek negatif di lingkungan pergaulan
internasional. Pencegahan yang efektif untuk mencari solusi yang tepat ialah
dengan melakukan pembinaan terhadap potensi daerah, terutama para tenaga ahli
dan tenaga profesional dalam bidang masing-masing dengan mengikutsertakan
lembaga-lembaga pendidikan yang kompoten untuk iktu bekerja sama dalam
membangun daerahnya masing-masing.
Oleh karena itu untuk adanya keharmonisan antara
pemerintahan pusat dan daerah perlu diatur dalam satu perangkat
perundang-undangan yang memadai baik tingkat tingkat pusat maupun tingkat
daerah yang mendorong terjadinya kemajuan pesat dalam konteks pengembangan
potensi dan kewenangan daerah dan terciptanya ’good governance” di daerah.
Prinsip Good Governance atau asas umum pemerintahan yang
baik merupakan salah satu solusi yang baik dalam pencegahan korupsi pada
lembaga pemerintahan, jika hal ini telah banyak diterapkan oleh beberapa negara
maka Indonesia baru mengemuka sejak era reformasi.
Prinsip good governance sebenarnya merupakan prinsip yang
mengetengahkan keseimbangan antara masyarakat dengan negara serta negara dengan
pribadi-pribadi. Artinya, setiap kebijakan public (public policy) harus
melibatkan berbagai pihak baik pemerintah, masyarakat maupun sektor swasta
dengan aturan main yang jelas. Ciri good governance di sini adalah keputusan
tersebut diambil secara demokratis, transparan, akuntabilitas, dan benar.
Upaya mewujudkan good governance merupaka suatu prioritas
dalam rangka menciptakan suatu tatanan masyarakat, bangsa, dan negara yang
lebih sejahtera, jauh dari korupi, kolusi, dan nepotisme. Perjuangan dalam
menciptakan pemerintahn yang bersih tidak boleh berhenti, harus tetap
dilanjutkan dan diupayakan semaksimal mungkin hingga suatu saat akan dirasakan
begitu bermatabatnya bangsa yang memiliki komitmen, tanggung jawab, dan harga
diri.
Dari segi hukum, peraturan yang ada dapat dikatakan
memadai, karena sudah diberlakukn sejumlah peraturan perundang-undangan yang
sifatnya anti korupsi. Namun dalam prakteknya masalah pemberantasan korupsi
tidak cukup hanya dilaksanakan dengan pendekatan hukum semata-mata, karena
korupsi sudah menyebar luas ke seluruh tatanan sosial dan pemerintahan hampir
di semua negara. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan tidak hanya bersifat
represif, tetapi juga preventif dan rehabilitatif dan mengedepankan
prinsip-prinsip yang ada didalam Good governace.
Dengan mengedepankan dan mulai menerapkan prinsip-prinsip
good governance secara utuh dan keseluruhan dalam tatanan pengelolaan
pemerintahan maka apa yang kita idamkan bersama yakni pemerintahan yang bersih
dari KKN, pemerintahan yang mengutamakan kepentingan umum, masyarakat, bangsa
dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan, pemerintah yang memang
bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya akan dapat tercapai
serta terwujud.
6. Good
Governance dalam Kerangka Otonomi Daerah
Upaya pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, UU No 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah salu instrumen yang
merefleksikan keinginan Pemerintah unluk melaksanakan tata pemerintahan yang
baik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari
indikator upaya penegakan hukum, transparansi dan penciptaan partisipasi. Dalam
hal penegakan hukum, UU No. 32 Tahun 2004 telah mengatur secara tegas upaya
hukum bagi para penyelenggara pemerintahan daerah yang diindikasikan melakukan
penyimpangan.
Dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sekurang-kurangnya
terdapat 7 elemen penyelenggaraan pemerintahan yang saling mendukung tergantung
dari bersinergi satu sarna lainnya, yaitu :
1. Urusan Pemerintahan;
2. Kelembagaan;
3 Personil;
4. Keuangan;
5. Perwakilan;
6. Pelayanan Publik dari
7. Pengawasan.
Ketujuh elemen di atas merupakan elemen dasar yang akan
ditata dari dikembangkan serta direvitalisasi dalam koridor UU No. 32 Tahun
2004. Namun disamping penataan terhadap tujuan elemen dasar diatas, terdapat
juga hal-hal yang bersifat kondisional yang akan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari grand strategi yang merupakan kebutuhan nyata dalam rangka
penataan otonomi daerah di Indonesia secara keseluruhan yaitu penataan Otonomi
Khusus NAD
dari Papua, penataan daerah dari wilayah perbatasan , serta
pemberdayaan masyarakat.
Setiap elemen tersebut disusun penataannya dengan
langkah-langkah menyusun target ideal yang harus dicapai, memotret kondisi
senyatanya dari mengidentifikasi gap yang ada antara target yang ingin dicapai
dibandingkan kondisi rill yang ada saat ini.
Meskipun dalam pencapaian Good Governance rakyat sangat
berperan, dalam pembentukan peraturan rakyat mempunyai hak untuk menyampaikan
aspirasi, namun peran negara sebagai organisasi yang bertujuan mensejahterakan
rakyat tetap menjadi prioritas. Untuk menghindari kesenjangan didalam
masyarakat pemerinah mempunyai peran yang sangat penting. Kebijakan publik
banyak dibuat dengan menafikan faktor rakyat yang menjadi dasar absahnya
sebuahnegara. UU no 32 tahun 2004 yang memberikan hak otonami kepada daerah
juga menjadi salah satu bentuk bahwa rakyat diberi kewenangan untuk mengatur
dan menentukan arah perkembangan daerahnya sendiri. Dari pemilihan kepala
daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah (UU no 25 tahun 1999). Peraturan
daerah pun telah masuk dalam Tata urutan peraturan perundang - undangan
nasional (UU no 10 tahun 2004), Pengawasan oleh masyarakat.
Sementara itu dalam upaya mewujudkan transparansi dalam
penyelenggaran pemerintahan diatur dalam Pasa127 ayat (2), yang menegaskan
bahwa sistem akuntabilitas dilaksanakan dengan kewajiban Kepala Daerah untuk
memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintahan, dan
memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta
menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Sistem akuntabilitas semacam ini maka terdapat keuntungan
yang dapat diperoleh yakni, akuntabilitas lebih dapat terukur tidak hanya
dilihat dari sudut pandang politis semata. Hal ini merupakan antitesis sistem
akuntabilitas dalam UU No. 22 Tahun 1999 dimana penilaian terhadap laporan
pertanggungjawaban kepala daerah oleh DPRD seringkali tidak berdasarkan pada
indikator-indikator yang tidak jelas. Karena akuntabilitas didasarkan pada
indikator kinerja yang terukur,maka laporan keterangan penyelenggaraan
pemerintahan daerah tidak mempunyai
dampak politis ditolak atau diterima. Dengan demikian maka
stabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat lebih terjaga.
Masyarakat memiliki hak untuk melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pelaksanaan pengawasan oleh masyarakat
dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai perorangan, kelompok maupun organisasi
dengan cara: Pemberian informasi adanya indikasi terjadinya korupsi, kolusi
atau nepotisme di lingkungan pemerintah daerah maupun DPRD. Penyampaian
pendapat dan saran mengenai perbaikan, penyempurnaan baik preventif maupun
represif atas masalah.
Informasi dan pendapat tersebut disampaikan kepada pejabat
yang berwenang dan atau instansi yang terkait. Menurut Pasal 16 Keppres No. 74
Tahun 2001, masyarakat berhak memperoleh informasi perkembangan penyelesaian
masalah yang diadukan kepada pejabat yang berwenang. Pasal tersebut berusaha
untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat dalam menjalankan pengawasan.
Comments
Post a Comment