PEMBUKTIAN TERBALIK
PEMBUKTIAN
TERBALIK
A.
TUJUAN PERKULIAHAN
Setelah proses
perkuliahan diharapkan Mahasiswa dapat memahami arti pembuktian terbalk
B.
DESKRIPSI MATERI
Pembuktian
terbalik menurut UU RI no 20. Tahun 2001 .
Sistem Pembuktian Terbalik sebagaimana disebutkan dalam
penjelasan UU No. 31 tahun 1999 ialah terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan
tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isterinya atau suami, anak, dan
setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Beban pembuktian terbalik ini bersifat terbatas dan berimbang. Kata-kata
bersifat terbatas dapat diartikan bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan
dalilnya ia tidak melakukan korupsi tidak berarti terdakwa tidak terbukti
melakukan korupsi sebab penuntut umum masih berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya.
Sistem pembuktian terbalik berimbang bahwa seorang terdakwa
wajib membuktikan kekayaan yang dimilikinya adalah bukan dari hasil korupsi.
Dan jika terdakwa dapat membuktikan bahwa kekayaannya diperoleh bukan dari
hasil korupsi, dan hakim berdasarkan bukti-bukti yang ada membenarkannya, maka
terdakwa wajib dibebaskan dari segala dakwaan. Jika yang terjadi adalah
sebaliknya, maka terdakwa terbukti bersalah dan dijatuhi pidana.
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 memuat delik
mengenai adanya sistem pembuktian terbalik. Sistem pembuktian terbalik yaitu
sistem dimana beban pembuktian berada pada terdakwa dan proses pembuktian ini
hanya berlaku pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan dengan dimungkinkannya
dilakukan pemeriksaan tambahan atau khusus jika dalam pemeriksaan persidangan
diketemukan harta benda milik terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana
korupsi namun hal tersebut belum didakwakan, bahkan jika putusan pengadilan
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi diketahui masih terdapat harta benda
milik terpidana yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi, maka negara
dapat melakukan gugatan terhadap terpidana atau ahli warisnya.
Di dalam undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Pembuktian
Terbalik (Pembalikan Beban Pembuktian) merupakan ketentuan yang bersifat
premium remidium dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap
pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 angka 2 atau terhadap
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 undang-undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Penerapan Sistem pembuktian terbalik dalam Gratifikasi,
perluasan terhadap alat bukti atau bukti petunjuk perlu dilakukan sehingga akan
lebih efektif, artinya si terdakwa berkewajiban untuk memberikan keterangan
tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri, suami, anak, dan harta
benda setiap orang atau korporasi yang diduga oleh Jaksa Penuntut Umum
mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Dalam hal dugaan dimaksud
adalah diadakan penegasan perihal bukti permulaan yang cukup, yang akan
berdampak pada perluasan terhadap aiat bukti petunjuk.
Apabila dalam Gratifikasi si terdakwa berhasil membuktikan
bahwa pemberian yang didapat tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi, maka
Pembalikan Beban Pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai suatu
dasar bagi hakim memutus perkara tersebut bahwa dakwaan tidak terbukti. Dalam
Pembalikan Beban Pembuktian tersebut juga harus dilakukan keseimbangan
pembuktian oleh Jaksa Penuntut Umum, sehingga hakim memiliki alasan yang cukup
dan menyakinkan untuk memutuskan perkara tersebut.
Di samping itu juga Pembalikan Beban Pembuktian dalam
Gratifikasi bukan berarti mengabaikan asas peradilan yang fair dan tidak
memihak (impartial). Penerapan Sistem Pembuktian terbalik dalam Gratifikasi
juga harus didukung oleh aparat penegak hukum yang bersih dan berwibawa, sistem
pengawasan terhadap lembaga atau badan-badan peradilan yang efektif. Pengawasan
yang dimaksud adalah pengawasan internal atau eksternal. Mekanisme pengawasan
eksternal maupun internal harus memiiiki daya dukung yang kuat serta partisifatif
dalam kerangka social control terhadap badan peradiian, hai ini dimaksudkan
agar hakim tidak sewenang-wenang dalam menjatuhkan putusan.
Di Indonesia Pembalikan Beban Pembuktian (Reversing The
Burden of Proof) sudah diterapkan dalam Undang-undang No. 8 tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, dimana dalam Pasal 22 menegaskan bahwa pembuktian
terhadap unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (4), Pasal 20 dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha
tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian. Dalam
penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk
menerapkan sistem pembuktian terbalik. Akan tetapi yang tercantum dalam UU No.
8 Tahun 1999 tersebut lebih pada apa yang dinamakan strict liability (liability
without fault), dimana terdakwa (atau tergugat dalam kasus perdata) bebas dari
pertanggungjawaban kesalahan, apabila ia dapat membuktikan bahwa kerugian yang
timbul adalah akibat kesalahan korban/penggugat.
Hal senada juga diatur daiam Pasal 35 UU No. 23 Tahun 1997
tentang Pencemaran Lingkungan Hidup. Hal ini tidak merupakan "Lex
Specialis" dari Pasal 163 HIR dan 1365 BW (kasus perdata) yang antara lain
berbunyi........ " Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau yang
mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk
menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hal atau peristiwa itu.
Kalau dikatakan "Lex Specialis", maka semestinya tidak terbatas pada
masalah kesalahan, tetapi terhadap keseluruhan peristiwa, misalnya hubungan
kausalitas. Dalam studi perbandingan hukum tidak dikenal Pembalikan Beban
Pembuktian dalam arti luas dalam arti : (a) tanpa adanya dugaan adanya tindak
pidana KKN, seorang harus membuktikan asal-usul kekayaannya; (b) tanpa adanya
status tersangka atau terdakwa seseorang harus membuktikan asal usul
kekayaannya. Hal ini penting untuk diperhatikan, sebab fungsi kekuasaan
disamping harus mengendalikan kejahatan juga tetap harus melindungi hak-hak
individu. Dalam hal ini terkait asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocence) sebagai lawan praduga bersalah (presumption of guilt).
Sistem Pembuktian terbalik sudah lama diterapkan oleh
beberapa Negara di antaranya Malaysia, Hongkong dan Singapura. Di Malaysia
dalam Anti Corruption
Act (ACA) pada Pasal 42 menyatakan bahwa semua
Gratification kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap
kecuali dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa.
Maksud ketentuan ini, jaksa penuntut umum hanya membuktikan
satu bagian inti delik yaitu adanya pemberian (Gratification), selebihnya
dianggap ada dengan sendirinya kecuali dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa,
yaitu pertama pemberian itu berkaitan dengan Jabatannya (in zijn bediening),
kedua adalah berlawanan dengan kewajibannya (in strijd met zijn pliecth). Ini
sama dengan Pasal 42 terutama ayat (2) Anti Corruption Act (ACA) Malaysia yang
mengatakan unsur selebihnya dalam Pasal 161, 162, 163 atau 164 Penal Code (KUHP
Malaysia)...... it is proved that such person has accpeted or agreed to accept,
or obtained or accepted to obtain any gratification, such person shall be
presumed to have done so as a motive or reward for the matters set out in the
particulars of the offence, unless the contrary is prooved." Dari kata-kata...."as
a motive or reward for the matters set out in the particulars of the
offence...." merupakan bagian inti (bestanddelen) atau unsur yang harus
dibuktikan sebaliknya oleh si penerima. Artinya si penerima harus dapat
membuktikan, bahwa pemberian (Gratiftcation) itu bukan motif atau imbaian
mengenai hal-hal yang disebut dalam rumusan.
Selanjutnya dalam The Statutes of Prevention Of Corruption
Act (1961) juga diatur mengenai Presumption of Corruption in Certain Cases yang
bunyinya sebagai berikut : Where in any proceeding against a person for an
offence under section 3 or 4 it is proved that any gratification has been paid
or given fo or received by a person in the employment of any public body, the
gratification shall be deemed to have been paid or given and received corruptly
as an inducement or reward as herein before mentioned, unless the contrary is
proved. The Statutes of Prevention Of Corruption (1961) juga mengemukakan bahwa
Gratifikasi yang diterima oleh seseorang atau badan publik karena jabatannya
dapat dianggap korupsi sampai dibuktikan sebaliknya.
Di dalam Prevention of Corruption Act (PCA) di Singapura
diatur mengenai sistem pembuktian terbalik, akan tetapi terdapat perbedaan
antara Singapura dan Malaysia. Pada Anfi Corruptson Act (ACA) Malaysia
mencantumkan Sistem pembuktian terbalik pada bagian acara (pembuktian)
sedangkan Prevention of Corruption Act Singapura menjadikan sistem pembuktian
terbaiik bagian dari rumusan delik yang dimuat dalam Pasal 8 Prevention of
Corruption Act (PCA) yang berbunyi':
" Where in any proceeding against a person for an
offence under section 5 or 6 it is proved that any gratification has been paid
or given to or received by a person in the employment of the government or any
departement thereof or a public body by or from a person or agent of a person
who has or seeks to have any dealing with the goverment or any departement
thereof or any public body, that gratification shall be deemed to have been
paid or given and received corruptly as an inducement or reward as herein
before mentioned unless the contrary is proved.
Pasal ini menyatakan apabila pemberian seseorang atau badan
swasta kepada Pejabat pemerintah yang melakukan atau mencari kontak dan
melakukan perjanjian dengan Pemerintah atau Departemen atau Badan Publik,
tindakan tersebut dianggap suap sampai dibuktikan sebaliknya.
Selanjutnya agar Sistem pembuktian terbalik dapat tercapai
secara efektif dalam rangka memberantas Tindak Pidana Korupsi maka diperlukan
adanya beberapa prinsip umum peradilan yang harus dijadikan jiwa dan dasar
acuan dalam pelaksanaannya, yaitu:
1. Independensi
dan Tidak Memihak (Imparsial)
Prinsip independensi dan tidak memihak merupakan salah satu
prinsip utama yang dikenal berbagai ketentuan hukum internasional. Prinsip ini menghendaki
lembaga peradilan yang terbebas dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik
langsung maupun tidak langsung dari kekuasaan lembaga lain. Rekan kerja atau
atasan, serta pihak-pihak lain di luar pengadilan sehingga mempengaruhi
keputusan hakim. Sedang prinsip tidak memihak pada intinya menghendaki bahwa
Hakim dalam mengambil keputusan bersifat tidak membeda-bedakan dan menghargai
secara adil dan seimbang hak-hak para pihak serta bebas dari benturan
kepentingan (conflict of interest) dan bias.
2. Kompeten
Prinsip kompeten adalah prinsip yang menjamin bahwa Hakim
yang memiliki kemampuan (kompeten) yang dapat menjadi Hakim Pengadilan Korupsi,
sehingga putusan yang diambil adalah putusan yang berkualitas.
3. Akuntabilitas
Prinsip ini menghendaki setiap pelaksanaan kekuasaan,
apakah itu dalam penentuan kebijakan, pengambilan keputusan dan sebagainya,
harus dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini penting untuk rnenghindari adanya
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
4. Partisipatif
Partisipasi masyarakat merupakan hal yang esensial dalam
negara demokratis. Partisipasi paling tidak dapat dibedaksn menjadi dua yaitu
partisipasi dalam membentuk keputusan (agar keputusannya lebih berkualttas dan
aspiratif) dan dalam melakukan kontrol (untuk meminimalisir penyalahgunaan
kekuasaan)
5. Transparansi
Transparansi atau keterbukaan menjadi penting untuk
meminimalisir penyalahgunaan kekuasaan, termasuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Di samping itu, agar prinsip akuntabilitas dan partisipatif dapat berjalan
efektif, diperlukan adanya transparansi dalam keseluruhan proses peradilan,
selama tidak merugikan/menganggu upaya penegakan hukum.
6. Kepastian
Hukum
Untuk menjamin keadilan karena menempatkan suatu pihak
dalam posisi tidak pasti, tentunya merupakan bentuk ketidakadilan tersendiri.
7. Waktu
Yang Memadai untuk Pembelaan
Hak atas waktu dan fasilitas yang memadai untuk menyiapkan
satu pembelaan adalah hak yang penting untuk menjamin persidangan yang adil
(fair trial). Hal ini perlu dijamin pada semua tahapan dari persidangan. Yang
termasuk waktu yang memadai akan tergantung atas sifat dari acara persidangsn
dan keadaan yang sesungguhhnya dari kasus korupsi. Fakta yang perlu
dipertimbangkan adalah kompleksitas dari suatu kasus korupsi, akses terdakwa
atas barang bukti dan sebagainya.
8. Jaminan
Dari Upaya Yang Bertentangan Dengan Hukum
Setiap orang berhak untuk dilindungi atas adanya tindakan-tindakan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan yang bertentangan dengan
hukum. Hal ini memberikan jaminan bahwa pemasungan kebebasan hak asasi manusia
oleh hukum, demi kepentingan penegakan hukum, tetap harus dilakukan sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku. Prinsip ini penting untuk menghindari
adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum.
9. Mudah
Diakses dan Cepat.
Keadilan harus menjadi milik semua orang. Oleh karena itu
proses memperoleh keadilan, melalui pengadilan, harus dibuat sedemikian rupa
sehingga tidak menghalangi hak setiap orang untuk memperoleh keadilan (atau
access to justice). Prinsip mudah diakses meliputi kemudahan dari aspek
finansial (biaya yang murah), geografis (lokasi pengadilan yang terjangkau),
prosedural (prosedur beracara yang sederhana) dan lain-lain. Sedangkan yang
dimaksud dengan prinsip cepat adalah proses yang harus ditempuh oleh pencari
keadilan untuk memperoleh keadilan, tidak memakan waktu yang lama.
10. Hak
Untuk Banding.
Prinsip ini mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk
banding ke pengadilan yang lebih tinggi bila yang bersangkutan tidak puas
dengan putusan pengadilan di suatu tingkat. Prinsip ini biasa dikenal dengan
right to apple. Prinsip ini sejalan dengan bentuk akuntabilitas Hakim dalam
memutus perkara.
Pembuktian terbalik terbatas
Kata-kata
“bersifat terbatas” didalam memori atas pasal 37 dikatakan, bahwa apabila
terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa “terdakwa tidak melakukan tindak
pidana korupsi” hal itu tidak berarti bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan
korupsi, sebab Penuntut Umum, masih tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya.
Pembuktian terbalik berimbang
Kata-kata “berimbang” dilukiskan
sebagai penghasilan terdakwa ataupun sumber penambahan harta benda terdakwa,
sebagai income terdakwa dan perolehan harta benda, sebagai output. Antara
income sebagai input yang tidak seimbang dengan output atau dengan kata lain
input lebih kecil dari output. Dengan demikian diasumsikan bahwa perolehan
barang-barang sebagai output tersebut ( misalnya rumah-rumah, mobil-mobil, saham-saham,
simpanan dolar dalam rekening bank, dan lain-lainnya) adalah hasil perolehan
dari tidak pidana korupsi yang didakwakan
LATIHAN
1.
Apa pengertian dari
pembuktian terbalik terbatas
2.
dalam rangka memberantas Tindak Pidana Korupsi
maka diperlukan adanya beberapa prinsip umum peradilan, apa yang harus
dijadikan jiwa dan dasar acuan dalam pelaksanaannya?
3.
Jelaskanlah bagaimana
pembuktian terbalik menurut UU RI no 20. Tahun 2001 .
4.
Pembalikan beban pembuktian sudahkah
dilaksanakan di Indonesia? Jelaskan!
DAFTAR PUSTAKA
1. Adami Chazawi (I), 2011, Hukum Pembuktian Tindak Pidana
Korupsi, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang.
2. , (II), 2005, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di
Indonesia (Cetakan Kedua), Penerbit Bayumedia Pulishing, Malang.
3. Andi Hamzah, 2011, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit
Sinar Grafika, Jakarta.
4. Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik
dalam Delik Korupsi, Mandar Maju, Jakarta, 2001
5. Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar dan Syarif Fadillah, 2008,
Strategi Pencegahan dan Penegakan Tindak Pidana Korupsi, PT Refika Aditama,
Bandung.
6. Evi Hartanti,.,2007, Tindak Pidana Korupsi,Sinar
Grafika,Jakarta
Syaiful Bahkri,2009,Hukum Pembuktian Dalam
Praktek Pidana,Total Media,
Yogyakarta
Comments
Post a Comment