PERBANDINGAN HUKUM PIDANA

PERBANDINGAN HUKUM PIDANA
Edisi Revisi
Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H.
A.                       Riwayat Perkembangan
Menurut Rene David Perbaandingan hukum merupakan ilmu yang setua ilmu hukum itu sendiri, namun perkembangannya sebagai ilmu pengetahuan baru pada abad-abad ini. Demikian pula Adof F. Schnitzer mengemukakan, bahwa baru pada abad ke-19 perbandingan hukum itu berkembang sebagai cabang khusus dari ilmu hukum.
   Perkembangan pada abad ke-19 itu terutama terjadi di Eropa (khususnya Jerman, Prancis, Inggris), Dan Amerika.
   Pada mulanya minat terhadap studi perbandingan hukum bersifat perseorangan, sepperti di lakukan oleh:
o Montesquieu (Prancis)
o Mansfield (Inggris) dan
o Von Feuerbach, Thibaut dan Gans (di Jerman).
kemudian berkembang dalam bentuk kelembagaan. Di Prancis misalnya:
o Tahun 1832 berdiri institut perbandingan hukum di college de france; dan
o Tahun 1846 berdiri institute perbandingan hukum di University of Paris.
Di Inggris pada 1846, sebuah panitia pendidikan hukum (di bawah pengawasan house of common) mengajukan rekomendasi agar perguruan-perguruan tinggi di Inggris di bentuk institut tentang perbandingan hukum. Usul ini sangat berhubungan erat dengan kerajaan Inggris yang menghadapi berbagai system hukum asing di negara-negara jajahan (misal hukum hindu di India). Usul tersebut baru terwujud pada 1869 dengan terbentuknya badan/lembaga historical and comparative jurisprudence di Oxford dengan ketuanya Sir Henry Maine.


B.                       Istilah dan Pengertian Perbandingan Hukum
Terdapat berbagai istilah asing mengenai perbandingaan hukum ini, antara lain: Comparative law, Comparative jurisprudence, Foreigen Law (istilah Inggris); Droit Compare (istilah Prancis); Rechtsvergelijking (istilah belanda); dan Rechtsvergeleichung atau Verleichende (istilah jerman).
Ada pendapat ang membedakan antara Comparative law dengan Foreeign Law yaitu:
o Comparative law:
Mempelajari berbagai system hukum asing dengan maksud untuk membandingkannya,
o Foreign Law:
Mempelajari hukum asing dengan maksud semata-mata mengetahui sistem hukum asing itu sendiri dengan tidak secara nyata bermaksud untuk membandingkannya dengan system hokum yang lain.
Didalam black’s law dictionary dikemukakan, bahwa comparative juriispudence ialah suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan melakukan perbandingan berbagai macam system hukum (the study of pprinciples of legal science by the comparison of various system of law).
   W. EWALD (dalam esin orucu, critical comparative law) mengemukakan, bahwa pperbandingaan hukum pada hakikatnya mrupakan kegiatan yang bersifat filosofis (comparative law is an essentially philosophical activity). Perbandingan hukum adalah suatu setudi atau kajian perbandingan mengenai konsepsi intelektual yang ada di balik institusi/lembaga hukum yang pokok dari satu atau beberapa system hukum asing.

C.                       Perbandingaan Hukum Sebagai Suatu Metode Penelitian/Keilmuan
Rudolf D. Schlessinger dalam bukunya (comparative law, 1959) mengemukakan antara lain:
o Comparative law merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu.
o Comparative law bukanlah suatu perangkat peraturan dan asas-asas hukum (bukan suatu cabang hukum)
o Comparative law adalah teknik ataau cara menggarap unsur hukum asing yang actual dalam suatu masalah hokum.
Bertolak dari pengertian tersebut, maka tepatlah digunakan istilah “perbandingan hukum dan bukan hokum perbandingan.
Menurut van Apeldoorn:
“Objek ilmu hukum adalah hukum sebagai gejala kemasyaraakatan. Ilmu hukum tidak hanya menjelaskan apa yang menjadi ruang lingkup hukum itu sendiri, tetapi juga menjelaskan hubungan gejala hukum dengan gejala sosia lainnya. Untuk mencapai tujuan itu maka digunakan metode sosiologis, sejarah, dan perbandigan hokum.
o Metode sosiologis dimaksudkan untuk meneliti hubungan antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya.
o Metode sejarah, untuk meneliti peerkembangaan hokum, dan
o Metode perbandingan hukum untuk membandingkan berbagai tertib hukum dari bermacam-macam msyarakat.
Sehubungan dengan yang di kemukakan Apeldoorn di atas, Prof. Dr. Soerjono Soekanto mengemukakan ketida metode tersebut saling berkaitan dan hanya dapat di bedakan tetapi tidak bias di pisahkan.
Selanjutnya dikemukakan pula oleh Soejono Soekanto bahwa dengan demikian ketiga metode tersebut saling mengisi dalam menghubungkan penelitian hukum. Seoran ilmuan dibidang hokum yang berhasil menerapkan ketiga metode tersebut, melakkukuan penelitian ang sangat perguna dan mendekati ke lapangan.
Sehubungan dengan yang dikemukakan oleh Soejono Soekanto dapat lebih di tegaskan bahwa metode atau pendekatan yuridis normatif juga memerlukan pendekatann empiris (sosiologis), historis, dan komparatif. Keempat metode atau pendekatan itu sangat penting karena kecenderungan penelitian hokum masa kini tidak lagi dapat mengunakan hanya satu metode atau satu pendekataan saja. Ditegaskan ole Dr. Sunaryati Hartono, bahwa untukk meneliti satu fenomena social sering kali di butuhkan kombinasi berbagai metode penelitian, walaupun selalu bertitik tolak dan di dominasi oleh satu disiplin ilmu.
Eratnya hubungan antara perbandingan hokum dengan sejarah hokum dan sosiologi hukum, terlihat pula dari para sarjana berikut ini.
1.                        Van der Velden
Perbaandingan hukum sulit dibedakan dari sejarah hokum. Membedakan perbandingan hokum dari sosiologi hokum lebih sulit lagi.
2.                        Sir Frederic Pollock (193)
Tidak ada perbedaan antara ilmu sejarah hokum dan ilmu perbandingan hukum kedua-duanya berarti sejarah umum dari hokum.
3.                        Joseph Kuhler
Istilah “sejarah hokum universal” (universale rechtsgeschichte) sama dengan “perbandingan hokum” (verglrichende rechtwissen schaft)
4.                        Max Rheinstein
Dalam bukunya yang berjudul Einfuhrung in die Rechtsvergleichung (pengantar perbandingan hukum) ia mengemukakan, bahwa bukunya ituu bias juga digunakan sebaga pengantar sosiologi hukum.
Ditegaskan olehnya, bahwa apabila perbandingan hukum itu tidak hanya berusaha atau bermaksud untuk lebih memahami hukumnya sendiri. Melainkan mencari kejelasan tentang fungsi social dari hukum pada umumnya, maka ituu sebenarnya sosiologi hukum. Perbandingan hukum yang bersifat empiris ini terutama menggunakan metode fungsional dan mencari hukum-hukum (menurut statisstik) sehubungan dengan asal mula, pertumbuhan, jatuhnya, maksud, bentuk dan perwujudan hukum sebagai gejala social budaya.
   Adanya pendaapat seperti dikemukakan diatas adalah wajar, karena memang pada hakikatnya perbanndingan hukum, sejarah hokum, dan sosiologi hukum merupakan bagian dari ilmu hukum, khususnya ilmu tentang kenyataan hukum yang merupakan bagian dari ilmu pengetahuan social. Oleh karena itu wajar apabila Hessel E. Yntema menyatakan:
   “Perbandingan hokum hanyalah nama lain untuk ilmu hukum dan bagian integral dari bidang yang lebih luas dari ilmu pengetahuan sosial. Sebab, seperti cabang ilmu pengetahuan lain ia mempunyai pandangan kemanusiaan yang universal, ia memaandan meskipun tekniknya berbeda bahwa masalah keadilan pada dasarnya ama menurut waktu dan tempat di seluruh dunia.”
Akhirnya perlu di kemukakan, bahwa walaupun sama-sama bagian dari ilmu hukum namun ada pendapat, bahwa perbandingan hokum tidak sama dengan sosiologi hukum. Pendpat ini antara lain dikemukakan oleh G.J. Sauveplaanne:
“metode fungsional menammbah pada perbandingan hukum sama dengan sosiologi hokum. Perbaandingan hukum tidak hanya bergerak di bidang penelitian empiris, akan tetapi juga berusaha untuk mencapai tujuan dibidang sendiri, yang menuju kepada perbandingan dan penilaian kritis bahan yang di temukan.”
   Dari pendapat ppara sarjana yang dikemukakan diaatas, dperoleh gambaran bahwa:
a.      Perbandingan hukum bukan suatu cabang hukum, bukan suatu perangkat peaturan;
b.      Perbandingan hukum merupakan cabang ilmu hukum; dan
c.       Perbaandingan hukum meruapakan metode penelitian.
Mengenai perbandingan hokum sebagai metode penelitian, Prof. Dr. Soerjono Soekanto menegaskan, bahwa “dalam penelitian hukum normative perbandingan hukum merupakan suatu metode.”
Dijelaskan selanjutnya:
o   Di dalam ilmu hukum dan praktik hukum metode perbandingan sering di terapkan. Namun, dalam penelitian yang dilakukan oleh ahli-ahli hukum yyang tidak mempelajari ilmu-ilmu social lainnnya, metode peerbandingan dilakukan tanpa sistematik atau pola tertentu.
o   Oleh karena itu, penelitian-penelitaan hukum yang menggunakan metode perbandingan bisanya merupakan penelitian sosiologi hukum, antopologi hukum, pesikologii hukum dan sebagainya yang merupakan penelitian hukum empiris.
o   Walaupun belum ada kesepakatan, namun ada beberapa model atau pradigma tentu mengenai penerapan metode perbandingan hukum antara lain:

Ø      Constantinesco
Ia mempelajari proses perbandingaan hukum dalam tiga fase.
a.                        Fase pertama:
-   Mempelajari kkonsep-konsep (yang diperbandingkan) dan menerangkannya menurut sumber aslinya (stadying the concepts and examining them at their original source);
-   Mempelajari konsep-konsep itu didalam kompleksitas dan teorilitas dan sumber-sumber hukum dengan pertimbangaan yang sungguh-sungguh, yaitu dengan melihat hirarki sumber hukum itu dan menafsirkannya dengan menggunakan metode yang tepat atau sesuai dengan taata hukum yang bersangkutan.

b.                        Fase kedua:
-   Memahami konsep-konsep yang diperbandingkan, yang berarti mengintegrasikan konsep konsep itu kedalam tata hukum mereka sendiri, dengan memahami pengaruh-pengaruh yang dilakukan terhadap konsep-konsep itu dengan menentukan unsur-unsur dar system dan factor diluar hukum, serta mempelajari sumber-sumber social dari hukum positif.
c.Fase ketiga:
-   Melakukan penjajaran (mennempaatkan secara berdampingan) konsep-konsep itu untuk di perbandingkan.
-   Fase ketiga ini merupakan fase yang agak rumit dimana metode-metode perbandingan hukum yang sesungguhnya digunaakan. Metode-metode inilah melakukkan deskripsi, analisis dan eksplanasi yang membuat generalisasi dan harus cukup luas meliputi pengidentifikasian hubungan-hubungan dan sebab-sebab dari hubungan-hubungan itu.

Ø      Kamba
Dengan menekankan, bahwa penjelasan mengenai perbedaan dan persamaan merupakan suatu yang seharusnya ada pada perbandingan hukum, ia juga membicarakan tiga fase: deskripsi, analisis, dan eksplanasi. Ia juga menekankan pendekatang fungsional dan pendekatan pemecahan masalah sebagai sesuatu yang sangat di perlukan bagi perbandingan lintas-budaya (cross-cultural comparison). Ialah membandingkan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda.

Ø      Schmidlin
Ia mengemukakan tiga pendekatan yaitu:
a.                        Analisis menurut hokum (legal analysis);
b.                        Analisis menurut morfologi-struktural;
c.Analisis yang bersifat evolusi-hisstoris dan fungsional.

Ø      Soerjono Soekanto
Perbandingan hukum mungkin diterapkan dengan memakai unsur-unsur sistem hukum sebagi titik tolak perbandingan sistem hukum mencakup tiga unsur pokok, yakni:
a.                        Struktur hukum yang mencakup lembaga-lembaga hukum,
b.                        Substansi hukum yang mncakup perangkat kaaidah atau perilaku teratur, dan
c.Budaya hukum yang mencakup perangkat nilai-nilai yang di anut.

Menurut Soerjono Soekanto, perbandingan dapat dilakukan terhadap masing-masing unsur atau secara komulatif terhadap semuanya. Dengan metode perbandingaan hukum dapat dilakukan penelitian terhadap berbagai subsistem hukum yang berlaku di suatu masyaaraakat tertentu atau secara linas sektoral terhadaap sistem-sistem hukum berbagai masyarakat yang berbeda-beda.


D.                       Metode Perbandingan Hukum: Metode Fungsional
Menurut Kontrad Zweigert dan Kurt Siehr, perbandingan hukum modern menggunakan metode yang kritis, realistik, dan tidak dogmatis:
-   Kritis, karena para komparatist (sarjana perbandiingaan hukum) sekarang tidak mementingkan perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan dari berbagai tata hukum semata maataa sebagai fakta, tetapi yang di pentingkan ialah “apakah penyelesaian secara hukum atas sesuatu masalah itu cocok dapat di praktikan, adil, dan mengapa penyelesaiannya itu demikian”.
-   Realistis, karena perbandingan hukum bukan saja meneliti perundang-undangan, keputusan peradilan dan doktrin tetapi juga semua motif yang nyata yang menguasai dunia, yaitu yang bersifat etis, pesikologis, ekonomis, dan motif-motif dari kebijakan legislatif.
-   Tidak dogmatis, karena perbandingan hukum tidak hendak berkembang dalam kekakuan dogma seperti sering terjadi pada setiap tata hukum. Meskkipun dogma mempunyai fungsi sistematisasi, akan tetapi dogma ddapat mengaburkan dan menyerongkan (distort) pandangan dalam menemukan “penyelesaian hukum yang lebih baik.”

Jadi perbandingan hukum menggunakan pendekatan fungsional. Dijelaskan oleh Zweigert:
“Seorang ssarjana perbandingaan hhukum tentu terutama tertarik pada “hakikat sesuatu. Ia pertama harus menentukan hakikat problema yang dihadapi, sebab dengan cara demikian ia menemukan kaidah hukum yang tepat. Ia tidak dapat memulai pekerjaannya sebelum ia menetaapkan konsep-konsepnya, atau dengan kata lain menetapkan kategori-kategori fungsi dan bukan kategori-kategori norma. Misalnya tiap system hukum perdata harus memecahkan problema yang menyangkut “penggantian kerugian atau pembelian kekayaan yang diperoleh secara tidak sah”, tetapi setiap sistem mempunyai cara sendiri untuk memecahkan problema itu.”
Akhirnya patut dikemukakan pendapat H.U. Jessurun d’Oliveira (1980) yyang mengemukakan:
“Penggunaan istilah perbandingan hukum menimbulkan kesan keliru, bahwa yang dipelajari hanya norma-norma hukum dan bukannya norma-norma dan gejala-gejala sosial lainnya. Perbandingaan hukum secaara prinsipil hanya berhenti mempelajri norma-norma hukum akan melupakan ilmu pengetahuan yang perlu di kasihani, sebab ia membuat dirinya tidak mampu untuk memberi jawaban secara penuh atas persoalan-persoalan hukum.”
   Dengan demikian, melakukan perbanddingaan hukum bukanlah hal yang mudah. Menurut Rene David dan Brierley, kesulitan itu antara lain di sebabkan:
-   Perbedaan Bahasa dan perbenddaharaan (language and vocabulary);
Di tegaskan oleh mereka:
“tidak adanya persesuaian yang tepaat mengenai konsep-konsep dan kategori-kategori hukum diantara sistem-sistem hukum yang berbeda, merupakan salahsatu kesulitan terbesar yang dijumpai/dihadapi dalam penganalisisan perbandingan hukum.”
-   Tidak ada pendidikan persiapan yang khusus di dalamm bidang perbandingaan hokum.
Disamiping keulitan yang di kemukakaan di atas, yang jalas sulit adalah mengetahui sistim nilai yang melatarblakangi sistem hukum yang ingin diperbandingkan itu.



E.                        Keluarga Hukum atau Famili Hukum
Untuk melakukaan perbaandingan hukum, perlu terlebih dahulu mempelajari sistem hukum dari negara asing. Setiap negara mempunyai hukumnya sendiri-sendiri

F.                        Kegunaan atau Manfaat Perbandingan hukum
Mamfaat atau Kegunaan Perbandingan Hukum
Para ahli yg berpendapat antara lain:
Prof. Sudarto, Kene David, Binery, Soerjono Soekanto dan Tahir Nungrah.
Mamfaat perbandingan hukum tersebut adalah:
1.      Pembaharuan hukum Nasional Misalnya dari HIR menjadi KUHAP
2.      Untuk menghargai/menghormati hukum bangsa-bangsa Asing.
3.      Menghindari rasa/sifat Kolonialisme terhadap hukum sendiri.
Didalam perbandingan hukum yg diperbanding adalah Persamaan atau perbedaan-perbedaan dengan system hukum yg lain dan untuk mengetahui bagaimana fungsinya aturan-aturan hukum yg diperbandingkan itu.

Contoh : Indonesia memiliki Undang-Undang tentang Narkotika dg ancaman yg bersufat elastis artinya boleh memilih dari salah satu hukuman yg telah ditentukan dlm pasal 10 KUHP.
Malaysia juga memiliki Undang-undang tentang Narkotika, namun apabila telah sampai waktu tertentu terdakwa akan di hokum mati.
Dalam Perbandingan Hukum yg diperbandingkan juga Yaitu:
Faktor-faktorr yuridis, Faktor-faktor politis, Faktor-faktor ekonomis dan Faktor-fakktor budaya.
Sejarah singkat Perbandingan Hukum

1. Kene David.
Menurut Kene David perbandinga hukum sudah berkembang sejak ada ilmu hukum itu sendiri tapi perkembangannya baru dilihat pada ahir abad ke 19.

2. Rudolf F. Schinitzer
Meunurut dia Mula-mula perbandingan hukum ini hanya dipelajari secara perorangan.

3. Perancis (Montesque)
Secara kelembagaan di Perancis tahun 1832 yaitu “Institut Perbandingan” (College de France). Kemudian di Universitas Paris pd tahun 1846.

Menurut sejarah Montesque itulah yg menjadi bapak perbandinga hukum karena beliau yang pertama kali menyatakan bahwa “The rule of law” tidak dipandang sesuatu yang bersifat abstrak tapi harus dipandang sebagai suatu latar belakang historis dari lingkungan dimana hukum itu berfungsi.
4. Inggris (Mansfield)

Di Inggris tahun 1846 didirikan atau dibuat panitia pendidikan hukum dibawah pengawasan Hose Common dan direkomendasikan agar setiap Universitas di Inggris diajarkan mata kuliah perbandingan hukum. Kemudian pada tahun 1869 didirikan lagi “Institut Historical, Comparative, Jurisprudence” maksud dari Inggris supaya Universitas di belajarkan perbandingan hukum untuk mempelajari hokum-hukum yg berkembang di Negara-negara jajahannya.
Misalnya: Malaysia.
Kemudian pada abad ke 20 perbandingan hukum berkembang pesat dengan adanya Konferensi Den Hac menghasilkan traktat dilapangan transportasi, kereta api, hak cipta, hak milik industri dan sebagainya.
Kedudukan Perbandingan Hukum

1. Guiten de Borgonisennotun.
Bahwa perbandingan hukum bukan ilmu hokum tapi hanya suatu metode studi untuk menyelidiki tentang hukum yakni dengan cara perbandingan.
2. Prof. Hartono.
Bahwa perbandingan hukum bukan cabang dari ilmu hukum tapi hanya sekedar sebagai metode penelitian hukum saja. Oleh karena perbandingan hukum tidak melahirkan nama-nama hukum atau asas-asas hukum. Makanya tidak dikenal ada namanya perbandingan hukum pidana atau perdata.
G.                        Sumber Hukum Pidana Inggris
1.                        Common Law
Yaitu bagian dari hukum Inggris yang bersumber pada kebiasaan atau adat istiadat masyarakat yang dikembangkan berdasarkan keputusan pengadilan. Jadi bersumber dari hukum tidak tertulis dalam memecahkan masalah atau kasus-kasus tertentu yang dikembangkan dan unifikasikan dalam keputusan-keputusan pengadilan sehingga merupakan suatu precedent. Oleh karena itu common law ini sering juga disebut Case law atau juga disebut Hukum Preseden.
Common law yang dikembangkan dalam keputusan-keputusan pengadilan ini mempunyai kedudukan yang sangat kuat, karena di Inggris berlaku asas state decisis atau asas the binding force of precedents. Asas ini mewajibkan hakim untuk mengikuti keputusan hakim yang ada sebelumnya. Pada asasnya kekuatan mengikat ini berlaku bagi keputusan pengadilan yang lebih tinggi, namun dapat juga berlaku untuk keputusan pengadilan yang setingkat, asal tidak ada preseden yang saling bertentangan dan preseden itu tidak terjadi secara per incuriam, artinya tidak terjadi karena kekeliruan dalam hukum
Kekuatan mengikat dari hukum preseden ini terletak pada bagian putusan yang disebut ratio decidendi, yaitu semua bagian putusan atau pertimbangan hukum yang menjadi dasar dari putusan dalam kasus konkret. Hal-hal lain yang berupa penyebutan fakta-fakta yang tidak ada relevansinya secara langsung dengan perkaranya, yang disebut obiter dicta tidak mempunyai kekuatan mengikat dalam prakteknya sistem preseden itu tidak seketat yang dibayangkan, sebab hakim dapat menghindari kekuatan mengikat dari ratio decidendi itu apabila ia dapat menunjukkan bahwa perkara yang sedang dihadapi itu ada perbedaan dengan perkara yang diputus terdahulu. Hakim atau advokat dapat menggunakan distinction (pembedaan) seperti itu untuk melumpuhkan kekuatan mengikat dari preseden.
2.                        Statute law
Ialah hukum yang berasal dari perundang-undangan. Seperti halnya dengan common law, statute law ini pun mempunyai binding authority (kekuatan mengikat). Hukum Undang-undang (statute law) di Inggris hanya memuat perumusan tindak pidana (kejahatan) tertentu, misalnya:
a.             Undang-Undang mengenai tindak pidana terhadap orang (Offences against the Person Act) tahun 1861.
b.             Undang-Undang Sumpah Palsu (Perjury Act) tahun 1911.
c.              Undang-Undang tindak Pidana Seksual (Sexual Offecens Act) 1956.
d.             Undang-Undang mengenai pembunuhan (Homicide Act) 1957.
e.             Undang-Undang mengenai pembunuhan anak (Infanticide Act) 1922, yang telah diubah dengan UU tahun 1938.
f.               Undang-Undang mengenai pembunuhan berencana atau UU mengenai penghapusan pidana mati (Murder/Abolition of death Penalty Act) tahun 1965.
g.             Undang-Undang mengenai abortus (Abortion Act) tahun 1967.
h.             Undang-Undang mengenai pencurian (Theft Act) tahun 1968.
i.               Undang-Undang mengenai obat-obatan berbahaya (The Dangerous Drugs Act) tahun 1965.
j.               Undang-Undang mengenai pembajakan pesawat udara (Hijacking Act) 1971.
Dari contoh Undang-undang di atas terlihat, bahwa perumusan tindak pidana di Inggris tidak dikodifikasikan dalam satu kitab undang-undang secara tunggal, tetapi tersebar dalam beberapa undang-undang tersendiri. Di damping kedua sumber hukum tersebut (Common law dan Statute law), ada pula beberapa textbook yang memuat pendapat atau ajaran/doktrin dari para penulis terkenal. Textbook atau pendapat para penulis ini tidak mempunyai binding authority (kekuatan mengikat), tetapi beberapa diantaranya mempunyai kekuatan persuasif, artinya yang bersifat memberikan keyakinan/dorongan kuat.

Prinsip-Prinsip Umum Hukum Pidana di Inggris
1.                        Asas Legalitas
Walaupun asas ini tidak pernah secara formal dirumuskan dalam perundang-undangan, namun asas ini menjiwai putusan-putusan pengadilan. Karena bersumber pada case law, pada mulanya pengadilan di Inggris merasa dirinya berhak menciptakan delik. Namun dalam perkembangannya tahun 1972 House of Lords menolak secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan delik-delik baru atau memperluas delik yang ada. Jadi nampaknya ada pergeseran dari asas legalitas dalam pengertian materiil ke asas legalitas dalam pengertian formal. Artinya suatu perbuatan pada mulanya dapat ditetapkan sebagai suatu delik oleh hakim berdasarkan common law (hukum kebiasaan yang dikembangkan lewat putusan pengadilan), namun dalam perkembangannya hanya dapat ditetapkan berdasarkan undang-undang (statute law).

2.                        Asas Mens Rea
Berdasarkan asas ini, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk seseorang dapat dipidana, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang (artus reus) dan ada sikap batin jahat/tercela(mens rea).  Artus reus tidak hanya menunjuk pada suatu perbuatan (an act) dalam arti yang biasa, tetapi mengandung arti yang lebih luas, yaitu meliputi:
a.                        Perbuatan dari si terdakwa
b.                        Hasil atau akibat dari perbuatannya itu.
c.Keadaan-keadaan yang tercantum/terkandung dalam perumusan tindak pidana, misalnya dalam perumusan delik pencurian disebut barang milik orang lain.

3.                        Strict Liability
Walaupun pada prinsipnya berlaku asas Mens Rea, namun di Inggris ada delik-delik yang tidak mensyaratkan adanya mens rea. Si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Di sini berlaku apa yang disebut dengan Strict Liability yang sering diartikan secara singkat pertanggungjawaban tanpa kesalahan.
Menurut common law, Strict Liability berlaku terhadap tiga macam delik, yaitu:
a. Public nuisance (gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan raya, mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan).
b. Criminal libel (fitnah, pencemaran nama).
c. Contempt of court (pelanggaran tata tertib pengadilan)

4.                        Vicarious Liability
Vicarious Liability sering diartikan dengan pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Secara singkat sering diartikan pertanggungjawaban pengganti.
Dalam hal-hal bagaimanakah seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan orang lain?
a)                       Ketentuan umum yang berlaku menurut Common law ialah bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara Vicarious untuk tindak pidana yang dilakukan oleh pelayan/buruhnya. Jadi, seorang majikan tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan (tindak pidana) yang dilakukan oleh pelayannya.
b)                       Menurut Undang-undang (Statute law)  Vicarious Liability dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
1.                        Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah mendelegaikan kewenangannya menurut undang-undang kepada orang lain itu. Jadi, harus ada prinsip pendelegasian (the delegation principle).
2.                        Seorang majikan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik/jasmaniah dilakukan oleh buruh/pekerjanya apabila menurut hukum perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan majikan. Jadi, apabila si pekerja sebagai pembuat materi/fisik dan majikan sebagai pembuat intelektual.

5.                        Pertanggungjawaban Korporasi
Pertanggungjawaban pidana yang disebut Vicarious Liability dapat dihubungkan dengan pertanggungjawaban dari korporasi. Korporasi berbuat dengan perantaraan orang. Apabila orang ini melanggar suatu ketentuan undang-undang, maka menjadi pertanyaan apakah korporasi yang dipertanggungjawabkan. Atas pelanggaran terhadap suatu kewajiban hukum oleh occupier dari pabrik dan atau perbuatan dari pelayan, korporasi dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini korporasi hanya bertanggungjawab atas sejumlah kecil delik, pada dasarnya delik undang-undang yang cukup dengan adanya strict liability.

6.                        Penyertaan (Participation in a crime)
Ada empat kategori participation, yaitu:
a.    A principal in the first degree (pelaku tingkat pertama; pelaku utama atau pembuat materiil/ actual offender).
b.    A principal in the second degree (pelaku tingkat kedua; yaitu pembantu/ aider abettor).
c.    An accessory before the fact (pembantu sebelum tindak pidana).
d.   An accessory after the fact (pembantu setelah tindak pidana).

7.                        Inchoate offences (tindak pidana yang tidak lengkap atau baru taraf permulaan)
Terjadi suatu tindak pidana sering melibatkan atau didahului oleh berbagai aktivitas perbuatan yang sangat erat hubungannya dengan tindak pidana pokok. Berbagai perbuatan yang mendahului terjadinya tindak pidana pokok yang sebenarnya beru merupakan taraf permulaan, dapat dilihat sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri (independent offence) dan oleh karena itu dapat disebut sebagai preliminary crimes (kejahatan pada taraf persiapan/permulaan/pendahuluan). Preliminary crimes inilah yang dalam kepustakaan Inggris dikenal dengan istilah inchoate offences, yang meliputi:
a.      Incitement (Penganjuran).
b.      Conspiracy (Permufakatan jahat).
c.       Attempt (Percobaan).

8.                        Alasan penghapusan pidana (exemptions from liability)
Seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana, dapat mengajukan alasan pembelaan atau alasan penghapusan pidana. Seperti: mistake (kesesatan), compulsion (paksaan), intoxication (keracunan/mabuk alkohol), automatism (gerak refleks), insanity (kegilaan/ketidakwarasan), infancy (anak di bawah umur), dan consent of the victim (persetujuan korban).

Tindak Pidana di Inggris
Ada beberapa tindak pidana tertentu di Inggris, antara lain:
1.      Homicide, Murder dan Manslaughter.
2.      Contempt of Court
o Homicide
Ialah pembunuhan manusia oleh manusia, yang dibedakan menjadi:
1.                        Lawful homicide (pembunuhan ynag tidak melawan hukum), misalnya:
a.       Pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang.
b.      Kematian yang timbul dalam usaha menegakkan/mendahulukan keadilan.
c.       Kematian yang timbul dari perbuatan seseorang yang melakukan pembelaan diri atau harta bendanya.
d.      Kematian yang timbul karena kecelakaan
2.                        Unlawful homicide (pembunuhan yang melawan hukum), seperti murder, manslaughter dan infanticide.
o Murder
Ialah pembunuhan melawan hukum dengan maksud jahat yang dipikirkan sebelumnya atau disebut pembunuhan berencana. Adapun tindak pidana murder ini berdasarkan Homicide Act 1957, yaitu semua orang yang melakukan murder dikenakan pidana mati. Dengan keluarnya The Murder Act 1965, pidana mati untuk murder itu telah dihapuskan dan diganti dengan pidana penjara seumur hidup.
o Manslaughter
Ialah suatu pembunuhan melawan hukum yang dilakukan tidak dengan maksud jahat yang dipikirkan sebelumnya atau bisa disebut pembunuhan biasa (tidak berencana).
o Contempt of Court
Contempt of Court merupakan istilah umum untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan (tidak melakukan perbuatan) yang apda hakikatnya ingin mencampuri atau menganggu proses peradilan atau melarang anggota masyarakat memanfaatkan sistem peradilan dalam menyelesaikan perselisihan mereka. Contempt of Court dapat dibagi dua, yaitu:
1.      Civil contempt, yaitu ketidakpatuhan terhadap putusan atau perintah pengadilan, jadi merupakan perlawanan terhadap pelaksanaan hukum. Misal: menolak untuk mematuhi perintah pengadilan (dalam perkara perdata) untuk menghentikan gangguan, untuk membayar kerugian dan sebagainya. Sanksi terhadap Civil contempt ini bersifat paksaan.
2.      Criminal contempt, yaitu perbuatan-perbuatan yang bertujuan menganggu atau merintangi penyelenggaraan peradilan pidana. Jadi, merupakan bentuk perlawanan terhadap penyelenggaraan peradilan. Sanksi terhadap criminal contempt ini bersifat pidana. Misal:
a)        Gangguan di muka atau di ruang pengadilan.
b)        Perbuatan-perbuatan untuk mempengaruhi proses peradilan yang tidak memihak.
c)         Perbuatan-perbuatan yang memalukan atau menimbulkan skandal bagi pengadilan.
d)        Menganggu pejabat pengadilan di luar sidang pengadilan.
e)        Pelanggaran kewajiban oleh pejabat pengadilan.
f)          Pembalasan terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan selama proses pengadilan berjalan.

Comments

Popular posts from this blog

proposal sound system majelis syifaul qolbi

MENYUSUN MATRIKS PENELITIAN HUKUM

SUSUNAN MASYARAKAT HUKUM ADAT maftuh mahfudz